(lanjutan)
Alam semesta berjalan atas dasar pengaturan yang serasi dan dengan perhitungan yang tepat. Sekalipun di dalam alam ini tampak seperti unit-unit (wahdat) yang berbeda, semuanya berada dalam satu sistem kerja yang saling mendukung, saling terkait, dan saling tergantung satu sama lain. Artinya, apabila ada satu unit atau bagian yang rusak pasti menyebabkan unit atau bagian lain menjadi rusak pula. Prinsip keteraturan yang serasi dan perhitungan yang tepat semacam ini seharusnya menjadi pegangan atau landasan berpijak bagi manusia dalam menjalani kehidupannya di muka bumi ini. Dengan demikian, segenap tindakan manusia harus didasarkan atas perhitungan-perhitungan cermat yang diharapkan dapat mendukung prinsip keteraturan dan keseimbangan tersebut. Prinsip ini akan mengantarkan penciptaan alam kepada tujuan yang dikehendaki sang Pencipta. Sebab, alam ini diciptakan tidak sia-sia. Dalam al-Qur’an, Allah SWT menegaskan, “Kami tidak menciptakan langit dan bumi serta (benda-benda) apa yang ada di antaranya kecuali dengan tujuan yang hak dan dalam waktu yang ditentukan.”1
Dengan kata lain, manusia diingatkan agar tidak hanya berpikir dan bertindak untuk kepentingan dirinya sendiri, kelompoknya, bangsanya. atau etnisnya saja, tetapi diajak untuk memikirkan dan bertindak untuk kemaslahatan semua pihak, seluruh manusia yang berpijak di muka bumi ini, yakni masyarakat dunia. Manusia tidak hanya memikirkan dan bertindak untuk masa kini, tetapi juga untuk masa yang akan datang. Sebab, semua itu (termasuk manusia) berada dalam satu sistem kerjasama yang saling mendukung. saling terkait, dan saling tergantung, berjalan di atas prinsip keselarasan dan perhitungan yang tepat, menuju kepada satu tujuan tertentu (yang benar). Oleh karena itu, manusia tidak boleh berlaku sewenang-wenang, bersikap angkuh, dan bercita-cita untuk menguasai atau menaklukkan alam semesta untuk kepentingan sendiri. Dalam pandangan Islam, hanyalah Allah SWT yang berhak menaklukkan alam semesta, sebaliknya manusia harus memperlakukan alam dengan segenap kehidupan yang ada di dalamnya secara akrab, dan menjadikan alam menjadi bagian dari hidupnya.
Dalam kaitan ini, umat manusia seharusnya meneladani atau mengikuti jejak Nabi Muhammad SAW sebagai pembawa rahmat bagi seluruh alam, 2
Dalam kaitan ini pula, manusia-dengan segenap kelebihan dan kelengkapan yang dianugerahkan Allah SWT kepadanya-telah ditunjuk sebagai khalifah di muka bumi ini. 3 Khalifah mengandung arti sebagai pemelihara (raa’i) atau tegasnya manusia telah ditunjuk dan diberi mandat sebagai pemegang amanat Allah SWT untuk menjaga, memelihara, dan memberdayakan alam semesta; bukan menaklukkan dan mengeksploitasi.
Dalam kekhalifahan manusia terkandung unsur-unsur saling terkait secara erat. Selain Allah SWT sebagai pemberi tugas dan wewenang kepada manusia, unsur-unsur utama lainnya adalah manusia dan alam. Kekhalifahan menuntut adanya interaksi harmonis dan kokoh sesuai dengan prinsip kehidupan alam, antara manusia dengan sesamanya dan antara manusia dengan alam. Semakin harmonis dan kokoh hubungan antara unsur-unsur tersebut, maka semakin menjamin terwujudnya kehidupan yang harmonis, yang pada akhirnya akan memberi jaminan kepada manusia sendiri untuk memperoleh kehidupan yang layak, baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Sebaliknya jika hubungan antara unsur-unsur tersebut renggang dan rapuh, maka kondisi kehidupan akan memburuk. Dalam kondisi di mana hubungan antar unsur-unsur tersebut tidak sehat, maka yang mungkin terjadi adalah pelanggaran hak, penindasan manusia atas manusia, dan eksploitasi manusia terhadap alam secara tak terkendali, yang semua ini akan membawa kepada kehancuran alam dan pada akhirnya kehancuran kehidupan manusia sendiri.
Karena kealpaan manusia dalam menjaga hubungannya dengan lingkungan hidup, banyak bangsa yang kemudian mengalami bencana alam secara dahsyat. Ambruknya Kerajaan Mesopotamia, misalnya, menurut sebagian ahli disebabkan oleh salinasi yakni naiknya kadar garam dalam tanah karena pengairan. 4 Melalui sejarah, kita dapat mengetahui kehancuran kota Sodom dan Gomorah (pada masa Nabi Luth) juga karena kurang harmonisnya hubungan antar manusia dan antara manusia dengan lingkungan hidupnya.
Hubungan harmonis itulah yang sesungguhnya hendak ditata dalam ilmu fiqh melalui pendekatan mashlahah.
Dalam memaknai fiqh sebagai sumber etika sosial dan kemaslahatan, Imam al-Syathiby membagi kemaslahatan dalam tiga tingkatan. Pertama, kemaslahatan yang bersifat primer (al-dharuriyat). yaitu kemaslahatan yang mesti menjadi acuan utama bagi implementasi syariat Islam. Sebab jika tidak, maka akan terjadi ketimpangan dan ketidakadilan yang mengakibatkan ambruknya tatanan sosial.
Kemaslahatan dalam kategori ini menjadi penyeimbang dan mediasi antara kecenderungan ukhrawi dan duniawi. Titik temunya terletak pada upaya pembumian nilai-nilai yang diidealkan Tuhan untuk kemanusiaan universal.
Yang dimaksud dengan kemaslahatan primer yaitu perlunya melindungi jiwa (hifdh al-nafs), me-lindungi akal (hifdh al-‘aql), melindungi harta (hifdh al-mal, melindungi keturunan (hifdh al-nasb) 5 dan melindungi agama (hifdh al-din). Setiap manusia mesti menghargai jiwa, menghargai kebe-basan berpikir dan berpendapat, menjaga ketu-runan (hak reproduksi) serta menghargai kepemilikan harta setiap orang menghargai dan keberagamaan orang lain. Imam al-Syathiby menegaskan bahwa kemaslahatan yang bersifat primer merupakan acuan ajaran agama.
Kedua, kemaslahatan yang bersifat sekunder (al-hajiyat), yaitu kemaslahatan yang tidak menyebabkan ambruknya tatanan sosial dan hukum, melainkan sebagai upaya untuk meringankan bagi pelaksanaan sebuah hukum. Misalnya dalam hal ibadat, bahwa dalam praktik peribadatan diberikan dispensasi (al-rukhshah al-mukhaffifah) apabila dalam pelaksanaannya terdapat kesulitan. Bagi mereka yang melakukan perjalanan jauh, sakit dan orang tua renta diberikan keringanan yang diatur dalam fiqh. Kemaslahatan sekunder ingin memberikan pesan, bahwa dalam pelaksanaan peribadatan pun diberikan beberapa keringanan dalam rangka memberikan kemaslahatan dan kenyamanan bagi pemeluknya, sehingga beragama dan beribadah tidak merasa adanya keberatan dan keterpaksaan.
(bersambung)
مَا خَلَقْنَا السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا إِلَّا بِالْحَقِّ وَأَجَلٍ مُسَمًّى …
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ )
“Dan Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui“.