(lanjutan)
Digambarkan dalam al-Qur’an bahwa yang dianggap kehidupan sesungguhnya adalah permainan, senda gurau, kemegahan, perlombaan memperkaya diri sendiri dan memperbanyak keturunan.1 Di tempat lain. al-Qur’an menggambarkan bahwa manusia tertarik untuk mencintai segala yang menggiurkan, di antaranya adalah perempuan-perempuan, putra-putri, emas dan perak yang bertumpuk-tumpuk, kuda-kuda (kendaraan pilihan), ternak dan sawah ladang.2 Semua itu adalah kenyataan-kenyataan yang sudah dikenal oleh manusia dan sebagian di antara mereka sudah merasakan nikmatnya. Pandangan seperti ini terkadang mendorong manusia untuk bertindak semena-mena dalam menyikapi kehidupan dunia.
Pada dasarnya hal-hal tersebut bukanlah sesuatu yang terlarang bagi manusia karena semua itu adalah bagian dari nikmat karunia yang diberikan Yang Maha Pencipta. Namun begitu, tidak berarti bahwa manusia boleh bertindak sekehendak hatinya, mengikuti kecenderungannya mereguk kenikmatan duniawi tanpa batas. Sebab sesuai dengan sifat kehidupan duniawi, semua itu ada batasnya. Dalam kaitan ini, Allah SWT telah mengingatkan agar manusia tidak boleh berlebih-lebihan,3 bahkan mengutuk orang yang memiliki kecenderungan hidup berlebihan (menumpuk harta kekayaan) mengikuti nafsu keserakahnya.4
Yang demikian itu, para pemboros dikategorikan Allah SWT sebagai saudara syaitan.5
Selain kehidupan alam dunia, juga ada jenis kehidupan lain. Kehidupan lain yang diperkenalkan oleh ajaran Islam adalah kehidupan ukhrawi di ‘alam al-ghaib. Kehidupan ini mutunya lebih tinggi, karena tidak terbatas dan kekal sifatnya. Segala kenikmatan yang ada di dalamnya lebih sempurna. Kedua kehidupan itu sekalipun tampak terpisah, namun sesungguhnya tidak berdiri sendiri-sendiri. Kehidupan ukhrawi pada dasarnya adalah tempat dan perwujudan dari perhitungan akhir dan penentuan nilai tetap bagi setiap manusia saat menjalani kehidupan dunia. Kehidupan akhirat bukan lagi tempat dan waktu untuk bekerja dan berbuat, tetapi semata-mata tempat dan waktu untuk menerima hasil kerja dan perbuatan yang dilakukan di alam dunia untuk memenuhi keadilan yang mutlak dan rahmat yang sempurna dari Yang Maha Pencipta.
Dengan demikian, jelaslah bahwa makna kehidupan dunia sangat penting. Kesempatan bekerja dan berbuat hanyalah ada di dalam kehidupan dunia. Kehidupan duniawi merupakan modal bagi ma-nusia dalam upayanya memperoleh ridha Allah SWT di alam akhirat kelak. Ruang dan waktu yang terbatas bagi setiap manusia adalah batu ujian untuk menciptakan prestasi kerja yang bermutu dan bernilai tinggi dalam arti sesuai dengan kehendak atau mengikuti jalan yang telah ditentukan Yang Maha Pencipta. Konsekuensi dari prestasi ini akan ia nikmati secara terus menerus dan sempurna di dalam kehidupan akhirat kelak. Inilah yang diungkapkan al-Qur’an dalam surat al-Mulk.6
3. Produksi dan konsumsi harus sesuai dengan standar kebutuhan layak manusia (hadd al-kifayah). Melampaui batas standar kebutuhan layak manusia dilarang.
Ajaran tashawwuf (mistisisme dalam Islam) memperkenalkan suatu tingkat mujahadah (per-juangan) yang disebut zuhd. Ajaran ini seringkali disalahartikan sebagai ajaran “membenci dunia atau kehidupan dunia.” Karena itu, ajaran zuhd dianggap tidak sesuai dengan kenyataan kehidupan dunia.
Dalam hubungan ini, Imam Ibn Qudamah menjelaskan bahwa zuhd adalah suatu formulasi mengenai sikap memalingkan keinginan/kesukaan akan sesuatu kepada yang lain yang lebih baik. Syaratnya adalah bahwa yang ditinggalkan itu haruslah sesuatu yang bernilai. Jika yang ditinggalkan itu tidak memiliki nilai sama sekali, maka sikap meninggalkannya dan berpaling daripadanya tidak dapat lagi dinamakan zuhd. Orang yang membuang sebongkah tanah (yang tidak berharga, tentunya) tidak dapat dinamal zahid.
Dengan pengertian tersebut, maka berpaling meninggalkan harta benda tidak termasuk dalam katagori zuhd. Zuhd sesungguhnya adalah berpaling meninggalkan kesenangan dunia, dalam arti tidak menjadikannya sebagai tujuan hidup.
Hasrat untuk memperoleh dan memenuhi tujuh macam kebutuhan pokok dalam kehidupan duniawi-yakni makanan, pakaian, tempat tinggal, perabotan rumah tangga, keluarga dan kedudukan- dengan demikian, tidak bertentangan dengan ajaran zuhd.7 Bahkan pemenuhan tujuh macam kebutuhan pokok itu bisa menjadi wajib demi melindungi jiwa-raganya (hifdh al-nafs). Baru bisa disebut bertentangan dengan zuhd jika hal itu melampaui takaran kebutuhan (hadd al-kifayah). Melampaui takaran di sini berarti mengambil lebih dari yang semestinya, atau dalam bahasa lain mengeksploitasi secara berlebihan dan tidak wajar.
Jika hal ini terjadi, yakni eksploitasi sumber daya berlebihan, berarti melambangkan kecintaan yang berlebihan terhadap kehidupan dunia, ketamakan, kerakusan, keserakahan, dan itulah yang akan mendatangkan bencana di muka bumi ini yang mengakibatkan rusaknya keseimbangan ekosistem.
Mengambil lebih dari kebutuhan manusia yang semestinya, dalam kaitan dengan sifat terbatas sumber daya alam ini, pada dasarnya hanya akan mendatangkan berbagai akibat buruk bagi manusia sendiri. Kecenderungan untuk memperoleh atau mengambil lebih dari yang semestinya mendorong adanya eksploitasi terhadap alam. Isi perut bumi dikuras dan tanah (permukaan bumi) dipaksa untuk berproduksi melampaui ambang batas kewajarannya, atau penggundulan hutan untuk keperluan industri. Semua itu menyebabkan rusaknya fungsi-fungsi peyangga bagi keseimbangan dan kelanjutan kehidupan alam semesta. Gejala seperti inilah yang kita alami dalam beberapa tahun terakhir ini, suhu bumi semakin memanas, permukaan air laut semakin naik, dan udara yang kita hirup tidak lagi sehat.
Kecenderungan seperti ini juga menyebabkan ketimpangan dalam masyarakat dunia. Adanya pihak atau golongan atau negara (yang memiliki kekuatan/kekuasaan, pengetahuan, teknologi dan kesempatan) mendominasi pemanfaatan sumber daya alam, atau mengambil lebih dari yang semestinya dapat menyebabkan sebagian besar dari penduduk bumi ini berada dalam kondisi krisis kehidupan (jauh di bawah standar kehidupan yang layak atau hadd al-kifayah). Pembagian sumber daya tampak tidak merata dan tidak adil. Kondisi semacam ini selain sangat rawan, juga memungkinkan timbulnya gejolak dalam masyarakat itu sendiri. Perang pun, yang juga turut serta merusak lingkungan hidup, pada dasarnya terjadi karena adanya ketidakadilan konsumsi dan akses terhadap sumber daya. Sesungguhnya kehidupan seperti ini tercela menurut al-Qur’an, akibatnya hanya akan mendatangkan kerusakan di muka bumi ini.8
Apa yang diuraikan oleh Imam Ibn Qudamah di atas pada dasarnya bersumber dari suatu nilai dasar yang ada dalam al-Qur’an tentang apa yang harus dituju dalam hidup ini dan bagaimana mengelola apa yang ada dalam alam ini untuk dapat dinikmati dengan sewajarnya sesuai dengan kehendak sang Pencipta tanpa menimbulkan kerusakan.
4. Keselarasan dan keseimbangan alam (ekosistem) mutlak ditegakkan. Mengganggu dan merusak ekosistem sama dengan meghancurkan kehidupan seluruhnya.
Kehidupan alam dalam pandangan Islam berjalan di atas prinsip keselarasan dan keseimbangan. Alam semesta berjalan atas dasar pengaturan yang serasi dan dengan perhitungan yang tepat,9 Sekalipun …
(bersambung)
اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَهُوَ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرُ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرُ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ، ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرْنَهُ مُصْفَرًا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا برج وَفِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ
“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada adzab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.“
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللَّهُ عِندَهُ حُسْنُ الْمَثَابِ
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).“
وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِن صَوْتِكَ إِنَّ أَنكَرَ الأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ
“Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunak-kanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara talah suara keledai.“
وَتَأْكُلُونَ التُّرَاثَ أَكْلًا لَّمَا : وَتُحِبُّونَ الْمَالَ حُبًّا جَمَا
“Dan kamu memakan harta pusaka dengan cara mencampur baurkan (yang halal dan yang batil), dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan.“
إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا
“Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan, dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.“
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.“
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebab-kan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
(7)الشَّمْسُ وَالْقَمَرُ بِحُسْبَانٍ (5) وَالنَّجْمُ وَالشَّجَرُ يَسْجُدَانِ(6) وَالسَّمَاءَ رَفَعَهَا وَوَضَعَ الْمِيزَانَ
“Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan. Dan tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohonan kedua-duanya tunduk kepada-Nya. Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan).“