Menuntut Derajat Tinggi di Sisi Allah Dengan Sifat Hilm (Kehaliman) – Al-Hilm – Ibnu Abid-Dunya

MENJINAKKAN MARAH DAN BENCI
NASIHAT-NASIHAT TENTANG KESABARAN DAN MURAH HATI

 
Diterjemahkan dari al-Hilm
Karya Ibnu Abid-Dunya
 
Penerjemah: Nani Ratnasari
Penyunting: Toto Edidarmo
 
Penerbit: AL-BAYAN MIZAN

طلب الرفعة عند الله بالحلم

Menuntut Derajat Tinggi di Sisi Allah Dengan Sifat Ḥilm (Kehaliman)

4 – حدثني إدريس بن الحكم العيري، نا محمد بن عمر المدني، نا عبد الملك بن الحسن، عن عبد الله بن أبي سفيان، عن أبيه، عن أبي هريرة، عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: «ابتغوا الرفعة عند الله» قالوا: وما هي يا رسول الله؟ قال: «تصل من قطعك وتعطي من حرمك وتحلم عمن جهل عليك»

Idrīs ibn al-Ḥakam al-‘Īrī menceritakan dari Muḥammad ibn ‘Umar al-Madanī, dari ‘Abd-ul-Mālik ibn Ḥasan, dari ‘Abdullāh ibn Abī Sufyān, dari ayahnya, dari Abū Hurairah, Nabi s.a.w. bersabda: “Carilah kedudukan tinggi di sisi Allah.” (1) Mereka bertanya: “Dengan apa, ya Rasūlullāh?” Beliau menjawab: “Menjalin hubungan dengan orang yang telah memutuskannya denganmu, membagi kepada orang yang tidak pernah memberi kepadamu, dan sabar terhadap orang yang berbuat jahil kepadamu.” (2)

 

5 – حدثني إبراهيم بن سعيد الجوهري، نا موسى بن أيوب، عن ضمرة، عن رجاء بن أبي سلمة، قال: «الحلم خصلة (1) من خصال (2) العقل»
__________
(1) الخصلة: خلق في الإنسان يكون فضيلة أو رزيلة
(2) الخصال: جمع خصلة وهي خلق في الإنسان يكون فضيلة أو رزيلة

Ibrāhīm ibn Sa‘īd al-Jauharī menceritakan dari Mūsā ibn Ayyūb, dari Dhumrah, Rajā’ ibn Abī Salamah berkata: “Murah hati (ḥilm) adalah salah satu sifat orang cerdik.” (3)

 

6 – حدثني علي بن مسلم، نا ابن أبي فديك، عن عمر بن محمد الأسلمي، عن صالح بن عبد الله الخطي، عن أبيه، عن جده، قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «خمس من سنن المرسلين: الحياء، والحلم، والحجامة (1)، والسواك، والتعطر»
__________
(1) الحجامة: نوع من العلاج بتشريط موضع الألم وتسخينه لإخراج الدم الفاسد منه

‘Alī ibn Muslim meriwayatkan dari Ibn Abī Fudaik Aḥmad ibn ‘Umar ibn Muḥammad al-Aslamī, dari Shāliḥ ibn ‘Abdillāh al-Khaththī, dari ayah dan kakeknya berkata: Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Di antara lima sunnah para rasūl ialah: malu, murah hati (ḥilm), berbekam, bersiwak, dan memakai minyak wangi.” (4)

Penjelasan:

(1). Kedudukan tinggi tidak dilihat dari sudut pandang dunia, tetapi dari keteguhan hamba dalam mengikuti ajaran Allah s.w.t. Oleh karena itu, Allah berfirman: Barang siapa yang menginginkan kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan itu seluruhnya. (Fāthir [35]: 10).

Imām Ibn Katsīr berkata: “Siapa yang menginginkan kemuliaan di dunia dan di akhirat, hendaklah ia senantiasa taat kepada Allah karena hal itu akan mengabulkan keinginannya. Allah adalah pemilik dunia dan akhirat. Bagi-Nya seluruh kemuliaan (Tafsīr Ibn Katsīr, juz 3, h. 549)

(2). Hadits ini terdapat dalam as-Sādah, juz 8, h. 28; Kanz-ul-‘Ummāl, no. 5228; Iḥyā’u ‘Ulūm-id-Dīn, juz 3, h. 172; dan Jam‘-ul-Jawāmi‘, juz 1, h, 4. As-Suyūthī menisbatkan hadis ini kepada Ibn ‘Adī, sedangkan dalam al-Kāmil dinisbatkan kepada Ibn ‘Umar. Syaikh al-Albānī menyebut hadits ini Dha‘īf. Lihat as-Silsilat-ul-Dha‘īfah, no. 1575 dan Dha‘īf-ul-Jāmi‘, juz 1, h. 63, no. 32.

(3). Orang Mu’min yang bersikap sabar dan murah hati ketika menghadapi masalah yang membuat ia marah akan menunjukkan kecerdikannya. Ketika ia diusir karena kebenaran, sifat sabar dan murah hati (ḥilm) membuat ia cerdik dan tetap memegang kendali. Oleh karena itu, Ibn Hatim al-Basti berkata: “Murah hati (ḥilm) melahirkan sifat terpuji, yaitu menjauhkan diri dari perbuatan maksiat dan tempat-tempat kotor.” Dengan demikian, orang yang cerdas tidak akan memisahkan sifat ḥilm dari dirinya sepanjang hidupnya (Raudhat-ul-‘Uqalā’, h. 209). Marilah kita menempuh jalan para ḥulamā’ (orang-orang yang sabar dan murah hati) agar kita mendapatkan keberuntungan di hari kiamat.

(4). As-Suyūthī mengutip hadits ini dalam Jam‘-ul-Jawāmi‘ dan ia menisbatkan kepada al-Bukhārī, Abū Bakar ibn Khaitsamah, al-Ḥākim, al-Baghawī, ath-Thabrānī dalam al-Kabīr, al-Kharā’ithī dalam Makārim-ul-Akhlāq, Abū Nu‘aim dalam al-Ma‘rifah, al-Baihaqī dalam Syu‘ab-ul-Īmān dari Malīḥ ibn ‘Abdullāh al-Khaththī, dari ayahnya, dari kakeknya. Al-Baghawī berkata: “Aku hanya tahu jalur riwayat itu, dan jalur Aḥmad dari Ayyūb, ath-Thabrānī dalam al-Kabīr dari Ibn ‘Abbās.” Syaikh al-Albānī menyebut hadis tersebut Dha‘īf, lihat Irwa’-ul-Ghalīl, h. 74 dan Dha‘īf-ul-Jāmi‘, juz 3, h. 127, no. 2857

Saudaraku, sebagaimana disebutkan dalam kitab Busyrā-l-Ka’īb bahwa seseorang harus mengetahui kedudukan Shaḥīḥ atau Dha‘īf sebuah hadits. Menurut saya, hadits ini termasuk hadits yang boleh di‘amalkan sekalipun statusnya adalah Dha‘īf, jika dilihat dari segi perawinya. Oleh karena itu, Ibn Ḥajar al-‘Asqallanī menyebutkan bahwa syarat mengamalkan hadits Dha‘īf ada 3, yaitu:

  1. Status hadits tidak terlalu Dha‘īf, seperti hanya satu perawi yang pendusta, tertuduh dusta, atau banyak kekeliruan.
  2. Hadits tersebut memiliki jalur (sanad) yang tersambung dan tidak ada perawi yang terputus.
  3. Ketika meng‘amalkan, tidak disertai keyakinan tentang kebenaran hadits tersebut, agar tidak menisbatkan sesuatu kepada Nabi s.a.w. yang mungkin saja beliau tidak pernah mengatakannya (lihat Muqaddimatu Dha‘īf-il-Jāmi‘).

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *