Menjauhi Maksiat dan Dosa – Tutur Penerang Hati – Ibn ‘Atha’illah (2/2)

Terapi Ma‘rifat
 
Tutur Penerang Hati

Oleh: Ibnu ‘Athā’illāh as-Sakandarī
Judul Asli: Bahjat-un-Nufūs
 
 
Penerjemah: Fauzi Faishal Bahreisy
Penerbit: Zaman

Rangkaian Pos: Menjauhi Maksiat dan Dosa - Tutur Penerang Hati - Ibn 'Atha'illah

Maksiat dan Kehinaan Hamba.

Wahai manusia, engkau masih tetap mempunyai nilai di sisi Allah kecuali jika telah bermaksiat. Apabila berbuat maksiat, engkau sama sekali tak bernilai di sisi-Nya. Allah berfirman: “Siapa yang dihinakan Allah, tiada lagi yang bisa memuliakannya. Sungguh Allah berbuat apa yang Dia kehendaki.” (al-Ḥajj [22]: 18).

Kalau Allah telah memilihmu sebagai seorang hamba yang mengabdi pada rubūbiyyah-Nya, Allah takkan memutuskan hubungan tersebut dengan menjerumuskanmu pada maksiat. Sebab, ketaatan adalah hubungan, sedangkan maksiat adalah pemutusan.

Seandainya engkau bernilai di sisi Allah tentu Allah takkan mencampakkanmu pada dzāt selain-Nya. Misalnya saja buah. Engkau akan menjaga buah tersebut dalam keranjangmu. Tetapi, kalau engkau sudah memakannya, bijinya akan dibuang di jalan tanpa peduli di mana engkau membuangnya. Engkau menjaga buah tersebut karena ia bernilai bagimu, sedangkan bijinya kau buang karena dianggap tak bernilai. Demikian pula dengan orang yang melakukan maksiat. Ia tidak bernilai di sisi Allah. Adapun seorang hamba yang taat, Allah akan menjaga dan memeliharanya. Allah berfirman: “Hamba-hambaKu tak bisa engkau (syetan) kuasai. Cukuplah Tuhan menjadi Pembela mereka.” (al-Isrā’ [17]: 65).

Maksiat menyertakan kehinaan. Apakah engkau mengira bila berbuat maksiat engaku akan dimuliakan? Sama sekali tidak. Kemuliaan itu terkait dengan ketaatan, sementara kehinaan terkait dengan kemaksiatan. Taat kepada Allah akan menghasilkan cahaya, kemuliaan, kebahagiaan, ketersingkapan ḥijāb, dan petunjuk. Allah berfirman: “Mereka yang mengikuti petunjuk akan Allah beri tambahan petunjuk dan Allah beri ketaqwāan.” (Muḥammad [47]: 17).

Sebaliknya, maksiat membawa kegelapan, kemalangan, kesesatan, dan ketertutupan dari Allah. Yang menghalangi untuk menyaksikan dan mengetahui semua hakikat yang ada adalah karena engkau melanggar batas yang Allah tetapkan, sibuk dengan dunia, berpaling dari-Nya, enggan untuk mengabdi kepada-Nya, serta karena engkau meremehkan syarī‘at-Nya. Allah berfirman: “Siapa yang mengabaikan perintah-Ku sesungguhnya akan mendapat kehidupan yang sempit dan akan Kami kumpulkan ia pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (Thāhā [20]: 124).

Bahaya Meremehkan Dosa.

Ketahuilah saudaraku, yang paling dikhawatirkan atas dirimu adalah bila engkau sudah menganggap remeh dosa, memandang ringan dosa-dosa kecil, dan tidak segera bertobat setelah berbuat maksiat.

Barangkali engkau takut terhadap dosa-dosa besar sehingga mencemaskan balasannya, lalu menjauh darinya, serta segera bertobat ketika melakukannya. Selanjutnya engkau meremehkan dosa kecil dan tidak bertobat darinya karena dianggap sepele. Engkau tidak berusaha untuk menghindarinya dan terbiasa melakukannya.

Sikap inilah yang paling membahayakan agama seorang mukmin. Sebab, ia bisa berkata dalam hatinya: “Apa sih yang aku lakukan? Aku tidak membunuh, tidak berzina, dan tidak meminum minuman keras. Yang kulakukan cuma perbuatan sepele yang tak ada nilainya.”

Engkau seperti orang yang sedang diserang singa pemangsa, tapi kemudian diselamatkan oleh Allah. Namun, setelah itu sekitar lima puluh serigala membinasakannya atau sekitar ribuan tawon menyerangnya hingga mati. Allah berfirman: “Kalian menyangka hal itu sepele, padahal di sisi Allah sangat bernilai.” (an-Nūr [24]: 15).

Dosa besar terbilang kecil jika dibandingkan dengan kemurahan Allah. Namun, dosa kecil tersebut bila dilakukan terus-menerus bisa membesar. Racun, walaupun kecil dan sedikit, tetap saja ia bisa membunuh. Dosa kecil yang dilakukan secara terus-menerus tak ubahnya seperti percikan api. Bila percikan api itu diremehkan, ia bisa membakar seluruh kota. Namun, kalau cepat-cepat ditangani dan diperhatikan, ia akan cepat padam meskipun dengan segelas air saja. Ada sebuah pepatah yang berbunyi: “Sebagian besar api berasal dari percikan-percikannya.”

Wahai hamba Allah, bila hendak melakukan maksiat kepada Allah carilah tempat yang tak terlihat oleh-Nya. Carilah juga kekuatan selain Allah yang bisa membantumu. Hanya, sayang sekali engkau takkan menemukannya. Sebab segala sesuatu merupakan karunia-Nya dan segala sesuatu ada dalam kekuasaan-Nya: “Milik Allah segala yang di langit dan di bumi, yang berada di antara keduanya serta yang berada di bawah tanah.” (Thāhā [20]: 6).

Karena itu, sungguh aneh engkau wahai hamba Allah. Pantaskah engkau mengambil nikmat Allah lalu bermaksiat dengan nikmat itu? Pantaskah engkau tinggal di dalam kerajaan-Nya lalu menentang perintah-Nya? Bahkan, engkau melakukan pelanggaran yang bermacam-macam. Kadang membicarakan orang, kadang mencela orang, melihat yang bukan maḥramnya, memakan sesuatu yang ḥarām, dan seterusnya.

Bangunan yang kau dirikan selama tujuh puluh tahun kau hancurkan dalam sekejap saja. Wahai manusia yang menghancurkan ketaatan, wahai manusia yang menyia-nyiakan kebaikan, yang merusak kebajikan, yang menenggelamkan dirinya dalam kubangan syahwat dan membakar dirinya dalam api maksiat, sungguh tepat kalau saja kau pergunakan hal itu dalam hal yang mubah dan kau hidupkan dengan amal saleh. Tidakkah Dzāt yang kau perlakukan secara buruk – tapi Dia memperlakukan secara lembut – layak kau cintai? Tidakkah Dzāt yang kau perlakukan secara jahat – tapi Dia memperlakukanmu dengan kasih sayang dan kemurahan – patut ditaati? Tidakkah Dzāt yang secara terang-terangan kau musuhi – tapi Dia mengampuni dan memaafkanmu – patut dijadikan tempat kembali? Ketahuilah wahai manusia, kemiskinan dan kefakiran yang menimpamu sengaja diberikan agar engkau mau berdoa kepada-Nya. Juga, musibah yang menimpamu tidak lain dimaksudkan agar engkau memperhatikan keberadaan-Nya, serta memperbanyak dzikir, doa, dan munajat kepada-Nya.

Wahai saudaraku, bersikaplah kepada Allah layaknya anak kecil kepada ibunya. Bila sang ibu memukul dan menghinakannya, tetap saja anak itu kembali padanya. Bila ia terkena musibah atau sesuatu yang tak disenangi, ia merengek pada ibunya. Yang ia kenal hanyalah ibunya. Ia tak pernah meminta pertolongan pada kekuatan lain selain ibunya. Allah berfirman: “Siapa yang bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupinya. Sesungguhnya Allah berkuasa untuk melakukan kehendak-Nya dan Allah telah menetapkan ukuran atas segala sesuatu.” (ath-Thalāq [65]: 3).

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *