Menjauhi Kelalaian – Tutur Penerang Hati – Ibn ‘Atha’illah

Terapi Ma‘rifat
 
Tutur Penerang Hati

Oleh: Ibnu ‘Athā’illāh as-Sakandarī
Judul Asli: Bahjat-un-Nufūs
 
 
Penerjemah: Fauzi Faishal Bahreisy
Penerbit: Zaman

11

Menjauhi Kelalaian

 

Wahai saudaraku, hindarilah perbuatan maksiat karena bisa menutup pintu rezekimu. Janganlah lalai dari ketaatan karena bisa membutakan mata batin dan memutuskan hubungan dengan Allah. Allah berfirman: “Sebutlah Tuhanmu dalam hati dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan tanpa mengeraskan suara, di waktu pagi maupun petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.” (al-A‘rāf [7]: 205).

Ketahuilah, siapa yang menghabiskan masa sehat dan masa mudanya dalam maksiat, ia seperti orang yang mendapat warisan seribu diniar dari orang tuanya. Lalu uang tersebut ia belikan ular, kalajengking, dan hama perusak. Semua binatang tersebut ia simpan di kamar tidurnya. Suatu kali ia digigit ular, kemudian pada kali yang lain disengat oleh kalajengking, selanjutnya disengat oleh hama. Demikian seterusnya. Apakah orang ini takkan mati walaupun sempat bertahan beberapa lama?

Demikian pula denganmu. Engkau habiskan waktumu yang panjang dalam menentang Allah dan mewujudkan keinginan setan. Engkau sia-siakan modalmu berupa masa muda dengan bermaksiat kepada Allah.

Jika demikian halnya, engkau sama seperti burung pemangsa yang sedang berkeliling mencari bangkai. Apabila sudah ditemukan, ia akan turun dan menyantapnya. Padahal, tubuhnya besar, sayapnya kuat, terbangnya tinggi, serta penglihatannya tajam. Tetapi, itu dilakukan karena perhatiannya di bawah dan seleranya rendah, sehingga ia pun jatuh ke sesuatu yang kotor dan hina.

Kerena itu, wahai saudaraku, jadilah seperti lebah. Tubuhnya kecil, sayapnya pendek, terbangnya sedikit, tetapi perhatiannya besar dan seleranya tinggi. Ia hanya hinggap di atas bunga, mengonsumsi yang baik saja, memproduksi madu yang lezat, serta mengerjakan sesuatu yang mulia.

Apabila nafsu ini besar
Penatlah tubuh memenuhi keinginannya.

Jadilah seperti lebah. Tubuhnya kecil, sayapnya pendek, terbangnya sedikit, tetapi perhatiannya besar dan seleranya tinggi. Ia hanya hinggap di atas bunga, mengonsumsi yang baik saja, memproduksi madu yang lezat, serta mengerjakan sesuatu yang mulia.

Wahai saudaraku, ketika engkau sering mendapat ujian, ditimpa berbagai musibah, diterpa berbagai kesulitan, itu maksudnya agar engkau sadar dari kelalaian, bangun dari kealpaan, kembali pada Tuhan, dan menyesali kesalahan. Sayangnya, itu semua tidak berguna bagimu. Orang yang sudah dimatikan oleh kelalaian, bencana dan nasihat takkan banyak bermanfaat. Lihat saja seorang ibu yang hilang akal. Biarpun anaknya disembelih dipangkuannya sendiri ia tetap makan dan tertawa tanpa merasa sedih dan kecewa.

Demikian pulalah keadaanmu. Engkau tak pernah melakukan shalat malam, tak pernah merasakan nikmatinya membaca al-Qur’ān, meremehkan kewajiban, dan semua anggota tubuhmu diliputi kelalaian. Tetapi, engkau tetap tidak merasa sedih, tidak merasa susah, dan tidak menyesal. Justru engkau malah asyik makan, tertawa, dan bergembira. Itu terjadi karena kelalaian telah membutakan mata batinmu, mematikan kepekaan hatimu, serta melenyapkan nikmatnya iman dalam dirimu. Akhirnya, engkau tak mampu membedakan mana yang berbahaya dan mana yang berguna.

Orang yang “hidup” akan merasa sakit jika tertusuk jarum dan merasa kaget tatkala tersentuh duri. Adapun orang yang “mati” walaupun disayat dengan pedang dan dipotong dengan gergaji, ia tetap tidak merasa apa-apa. Apabila engkau tidak bersedih ketika tak melaksanakan ketaatan dan tidak kecewa setelah terperosok ke dalam maksiat, berarti qalbumu telah mati dan jiwamu telah hilang. Engkau tak bisa membedakan antara kebaikan dan keburukan, antara kebahagiaan dan kesengsaraan, antara yang manfaat dan bahaya.

Wahai saudaraku, tangisilah dirimu serta berusahalah untuk membangkitkan dan mengembalikan qalbumu pada kehidupan. Duduklah dalam majelis-majelis ‘ilmu dan hikmah. Di dalamnya terdapat karunia dari surga yang bisa kau rasakan setelah majelis usai, di jalan, di rumah, di kedai atau warung, atau saat kau berada bersama keluarga. Jangan tinggalkan majelis ‘ilmu dan nasihat tersebut. Jangan pula sekali-kali berkata: “Apa manfaatnya menghadiri majelis kebajikan dan ketaatan, sementara aku masih terkubang dalam dosa dan tak mampu meninggalkan maksiat?”

Ini adalah bisikan dan rayuan syaithan terlaknat yang masuk ke dalam jiwa seorang mu’min agar ia tidak jadi mengerjakan kebaikan. Demikianlah, seorang pemburu harus terus berburu. Kalau hari ini ia tidak mendapatkan buruan, besok mungkin dapat. Sementara seorang pasien juga harus rajin meminum obat. Kalau hari ini belum sembuh barangkali esok ia sembuh. Yang penting janganlah berputus-asa dari rahmat Allah.

Allah berfirman: “Wahai para hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kalian berputus-asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah berkenan mengampuni semua dosa. Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (az-Zumar [39]: 53).

Wahai saudaraku, bila Allah menganugerahkan padamu tiga hal, berarti engkau telah dianugerahi nikmat yang paling besar dan istimewa melebihi nikmat-nikmat lainnya. Dengan itu, seolah-olah engkau telah memperoleh nasib baik dan impian tertinggi. Pertama, kemampuan memperhatikan aturan-aturan yang Allah tetapkan dengan mengerjakan semua ketaatan dan menegakkan kewajiban. Kedua, kemampuan memenuhi semua janji yang dibuat dengan Allah, yakni dengan menjauhi maksiat dan bertobat darinya. Ketiga, kemampuan menyaksikan kehadiran Allah dan sibuknya qalbu dengan dzikir sehingga melupakan yang lainnya.

Kalau engkau memandang aneh kondisi orang-orang ‘ārif, itu karena dirimu sudah terlalu jauh dari Allah, terlalu cinta pada dunia, asyik dengan maksiat, dan enggan berbuat taat. Andaikata engkau mengikuti cara hidup mereka, pasti engkau juga akan bisa menyerap kebaikan yang ada. Andaikata engkau ikut bangun di tengah malam seperti mereka, engkau juga akan meraih ketenangan dan kelapangan jiwa. Namun, yang menjauh tak mungkin mendapatkan.

Ada sebuah cerita tentang seorang istri yang sangat cinta dan pencemburu terhadap suaminya. Suatu hari, istri tersebut berkata: “Aku tak bisa jauh darimu, tak bisa berpisah denganmu, dan tak bisa menerima kalau engkau sibuk dengan wanita lain. Tetaplah bersamaku. Jangan kau tinggalkan aku, jangan engkau duduk bersama orang lain, dan jangan memikirkan selainku.”

Tiba-tiba sang suami mendengar bisikan dalam tidurnya: “Kalau istrimu yang bukan Tuhan saja berkeinginan agar engkau membulatkan hatimu padanya, bagaimana engkau tidak ingin membulatkan hatimu pada Tuhan?”

Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Tidak ada yang lebih menyenangi pujian daripada Allah. Karena itu, Dia memuji dirinya sendiri. Tak ada yang lebih cemburu daripada Allah. Karena itu, Dia melarang perbuatan keji. Tak ada yang lebih menyukai hujjah daripada Allah. Karena itu, Dia menurunkan Kitāb (al-Qur’ān) dan mengutus para rasūl.” (H.R. Muslim dalam Shaḥīḥ-nya).

Ketahuilah, orang yang lalai berarti telah menyia-nyiakan miliknya yang paling bernilai dan paling berharga di dunia ini. Harta seberapa pun banyaknya, sebetulnya sedikit jika tangan-tangan pencuri dan perampas masuk ke dalamnya. Demikian pula dengan usia atau umur orang lalai. Ia banyak terampas oleh maksiat dan dosa. Padahal, umur merupakan modal seorang mu’min. Jika modal tersebut lenyap, ia takkan bisa berbisnis dengan Allah dan keluar dari alam dunia dalam keadaan rugi.

Allah telah memerintahkan kita untuk menjauhi mereka yang lalai. Dia juga melarang kita untuk mematuhi, mendekati, dan mengikuti mereka. Allah berfirman: “Janganlah engkau mengikuti orang yang Kami lalaikan qalbunya dari peringatan Kami lalu ia mengikuti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (al-Kahf [18]: 28).

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *