Bab: Mengusung Jenazah dan Memakamkannya.
- Keempat Imām madzhab (Mālik, Abū Ḥanīfah, Aḥmad bin Ḥanbal, dan asy-Syāfi‘ī) berbeda pendapat, apakah yang lebih utama berjalan di depan jenazah atau di belakangnya?
Abū Ḥanīfah berkata: “Lebih utama berjalan di belakangnya, baik naik kendaraan maupun jalan kaki.”
Mālik dan asy-Syāfi‘ī berkata: “Berjalan di depannya lebih utama dalam dua kondisi.”
Aḥmad berkata: “Apabila pengiringnya jalan kaki maka lebih utama berjalan di depannya, sedangkan bila dia naik kendaraan maka lebih utama berjalan di belakangnya.” (6941).
- Mereka sepakat bahwa memakamkan pada malam hari tidak makruh, tapi memakamkan pada siang hari lebih utama. (6952).
- Mereka sepakat bahwa memakamkan di dalam peti tidak disunnahkan, baik bagi mayat laki-laki maupun mayat perempuan. (6963).
- Mereka sepakat bahwa yang sunnah adalah Lahad, sedangkan Syaqq tidak disunnahkan.
Sifat Lahad adalah menggali tanah kuburan yang menghadap ke arah qiblat, agar mayat berada di bawah qiblat kuburan bila batu-batanya dipasang. Kecuali bila tanahnya lembek, maka boleh menyusun batu yang mirip dengan lahad dan tidak boleh digali agar makam tersebut tidak ambruk menimpa si mayat.
Sedangkan sifat Syaqq adalah menyusun batu-bata atau batu biasa di dua sisi makam dan si mayat dimasukkan ke tengah makam, karena bentuknya seperti peti, lalu ia ditinggikan sampai batas yang sekiranya mayat dimasukkan dan diberi atap di atasnya, atap tersebut tidak bersentuhan langsung dengan mayat. (6974).
Syaikh Abū Isḥāq berkata dalam at-Tanbīh: “Yang sunnah adalah Lahad. Bila tanahnya lunak maka Syaqq lebih utama.” (6985).
- Mereka berbeda pendapat, apakah yang sunnah membuat gundukan (seperti punuk onta) di atas kuburan atau meratakannya?
Abū Ḥanīfah, Mālik, dan Aḥmad berkata: “Yang sunnah adalah membuat gundukan (meninggikan dengan kadar sejengkal dari atas permukaan tanah dengan permukaan yang melengkung seperti punuk onta (Tasnīm).)”
Asy-Syāfi‘ī berkata: “Yang sunnah adalah meratakannya.”
Abū ‘Alī Ibnu Abī Hurairah, salah seorang fuqahā’ Syāfi‘iyyah, berkata: “Yang sunnah adalah membuat gundukan karena meratakan merupakan syi‘ar orang-orang Rāfidhah.” Demikianlah yang disebutkan oleh asy-Syāsyī dalam Ḥilyat-ul-‘Ulamā’. (6996).
- Mereka berbeda pendapat tentang wanita hamil yang wafat sementara masih ada janin yang hidup di dalam perut ibunya.
Abū Ḥanīfah dan asy-Syāfi‘ī berkata: “Perutnya harus dibedah agar janinnya dapat dikeluarkan.”
Aḥmad berkata: “Perutnya tidak boleh dibedah, tapi cukup memanggil dukun bayi agar mengeluarkannya.”
Menurut Mālik, dalam hal ini ada dua riwayat seperti dua madzhab di atas. (7007).
Aku (Ibnu Hubairah) mengatakan: “Menurutku, apabila dukun bayi tidak datang maka janin tersebut harus dikeluarkan dengan cara membedah perut mayat tersebut.” (7018).
- Mereka sepakat bahwa disunnahkan memasang batu-bata dan batang kayu di dalam makam (kuburan) dan makruh memasang batu-bata gembur dan kayu bakar di dalamnya.” (7029).
Catatan:
- 694). Lih. Bidāyat-ul-Mujtahid (1/425), al-Majmū‘ (5/240), Raḥmat-ul-Ummah (71), dan al-Mughnī (2/356).
- 695). Lih. al-Majmū‘ (5/271), al-Mughnī (2/417), Ḥāsyiyah Ibni ‘Ābidīn (2/266), dan al-Isyrāf (21/94).
- 696). Lih. Ḥāsyiyah Ibni ‘Ābidīn (2/254), dan Raḥmat-ul-Ummah (71).
- 697). Lih. al-Hidāyah (1/100), Ḥāsyiyah Ibni ‘Ābidīn (2/253), al-Muhadzdzab (1/253), dan al-Mughnī (2/275).
- 698). Lih. at-Tanbīh (36).
- 699). Lih. Raḥmat-ul-Ummah (71), al-Hidāyah (1/101), at-Tanbīh (37), dan at-Taḥqīq (4/267)
Pendapat Abū ‘Alī Ibnu Abī Hurairah juga disebutkan oleh asy-Syirāzī dalam al-Muhadzdzab (1/256). Redaksinya adalah: Abū ‘Alī ath-Thabarī berkata: “Menurut kami yang lebih utama di zaman sekarang (zamannya) adalah membuat gundukan, karena meratakan kuburan tersebut syi‘ar orang-orang Rāfidhah.”
- 700). Lih. al-Majmū‘ (5/270), at-Tanbīh (37), al-Muhallā (5/166), dan al-Mughnī (2/413).
- 701). Ini termasuk masalah yang ditarjih oleh Ibnu Hubairah. Dalam hal ini dia memilih madzhab Abū Ḥanīfah dan asy-Syāfi‘ī karena kondisinya darurat demi menjaga agar si janin tetap hidup.
- 702). Lih. al-Hidāyah (1/100), al-Mughnī (2/379), dan Raḥmat-ul-Ummah (72).