Setelah Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī menjelasan bahwa rūḥ dan ‘ajb-udz-dzanab tidak akan rusak sedangkan al-Qur’ān menyebutkan bahwa segala sesuatu akan binasa, maka beliau berkata:
وَ كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ قَدْ خَصَّصُوْا | عُمُوْمَهُ فَاطْلُبْ لِمَا قَدْ لَخَّصُوْا. |
“Para ‘ulamā’ telah mengkhususkan ayat “kullu syai’in hālikun”, dari keumumannya. Maka, carilah apa-apa yang telah mereka ringkas!.”
Ayat al-Qur’ān yang menyebutkan bahwa segala sesuatu pasti binasa, di ayat yang demikian pasti ada sesuatu yang dikecualikan dari keumumannya oleh para ‘ulamā’, maksudnya pasti ada yang tidak binasa. Walaupun menggunakan lafazh “syai”, kalimat (كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ) tidak menghabiskan semua “syai”, maka ketahuilah sesuatu yang dikecualikan oleh para ‘ulama’.
Ayat (كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ) adalah lafazh ‘āmm-ul-makhshūsh (lafazh umum yang dikhususkan), maksudnya ayat yang umum yang telah dikhususkan atau keumumannya khusus selain sesuatu yang telah dikecualikan oleh para ‘ulamā’. Walaupun menggunakan lafazh “syai”, tapi tidak berarti berma‘na semua hal. Sebab, ada beberapa hadits Nabi yang menjelaskan adanya beberapa hal yang tidak akan rusak atau binasa, yaitu: (1581)
Semua hal itu tidak rusak walaupun termasuk “syai”. Ini menurut pendapat Ibnu ‘Abbās r.a.
‘Ulamā’ yang lain berpendapat bahwa ayat tersebut tidak mengandung adanya sesuatu yang dikecualikan, semuanya tercakup dalam “syai”. Ma‘na ayat tersebut menurut mereka adalah: “Segala sesuatu mungkin rusak” Dengan ma‘na ini, tidak membutuhkan pengecualian karena segala sesuatu memang mungkin rusak atau binasa kecuali Dzāt Allah. (1592).