Mengevaluasi Nafsu – Tutur Penerang Hati – Ibn ‘Atha’illah (2/2)

Terapi Ma‘rifat
 
Tutur Penerang Hati

Oleh: Ibnu ‘Athā’illāh as-Sakandarī
Judul Asli: Bahjat-un-Nufūs
 
 
Penerjemah: Fauzi Faishal Bahreisy
Penerbit: Zaman

Rangkaian Pos: Mengevaluasi Nafsu - Tutur Penerang Hati - Ibn 'Atha'illah

Wahai saudaraku, janganlah tertipu dengan menyerahkan qalbu pada nafsu sehingga qalbu tersebut mengikutinya dan membawamu pada kebinasaan. Qalbu yang mengikuti nafsu tak ubahnya seperti manusia yang menggantungkan diri pada orang yang tenggelam di lautan. Akhirnya, keduanya sama-sama tenggelam. Sedangkan menyerahkan nafsu kepada qalbu seperti manusia yang menyerahkan dirinya pada perenang mahir. Ia pun bisa berenang bersamanya hingga selamat sampai daratan.

Wahai saudaraku, janganlah termasuk orang yang menyerahkan qalbunya pada nafsu. Bagaimana menurutmu kalau seseorang bisa melihat, tetapi minta dituntun oleh orang yang buta? Wahai hamba Allah, kalau orang memercayakan sesuatu kepada seorang wakil, tetapi ia mengetahui kalau wakilnya berkhianat, pasti ia akan menarik kepercayaannya. Begitu pulalah kondisi nafsumu. Engkau sudah mengetahui kalau ia berkhianat. Oleh karena itu, putuskan hubungan dengannya dan musuhilah ia. Hadapilah dengan sikap tegas agar ia berhenti menyeleweng.

 

Qalbu yang mengikuti nafsu tak ubahnya seperti manusia yang menggantungkan diri pada orang yang tenggelam di lautan. Akhirnya, keduanya sama-sama tenggelam. Sedangkan menyerahkan nafsu kepada qalbu seperti manusia yang menyerahkan dirinya pada perenang mahir. Ia pun bisa berenang bersamanya hingga selamat sampai daratan.

 

Bila engkau melihat istrimu mengkhianati kehormatanmu pastilah engkau marah dan mengusirnya dari rumah. Demikian pula dengan nafsu, ia telah mengkhianati umurmu sebagai harta yang paling berharga. Ia hanya disia-siakan untuk maksiat. Mereka yang berakal sepakat bahwa bila seorang istri berkhianat, sang suami tak boleh membiarkan, tapi harus diceraikan. Oleh karena itu, usirlah nafsumu dan ucapkan talak tiga padanya agar ia tak bisa kembali lagi. Musuhilah ia secara tegas tanpa ada damai. Suatu ketika Rasūlullāh s.a.w. ditanya: “Apa yang paling banyak memasukkan orang ke dalam surga?” Nabi menjawab: “Taqwā kepada Allah dan akhlāq mulia” Lalu beliau kembali ditanya: “Apa yang paling banyak memasukkan orang ke dalam neraka?” Jawab Nabi: “Dua rongga: mulut dan kemaluan.

Kenalilah nafsu-nafsumu yang tersembunyi, carilah sebabnya, serta berjagalah darinya. Jangan sekali-kali engkau memercayainya. Bila ia berkata: “Bohongilah si Fulan!” Engkau harus tenang dan berpikir dulu, mengapa ia meminta hal tersebut. Bisa jadi ia akan membuatmu terjerumus ke api yang menyala dan melemparkanmu ke dalamnya secara sengaja.

Ketahuilah bahwa pangkal setiap maksiat dan kelalaian adalah ridha dan mematuhi nafsu. Sedangkan pangkal ketaatan dan kesadaran adalah membangkang dan menentangnya.

Manusia seringkali memujimu karena prasangka baik mereka terhadapmu. Tetapi, hendaknya kau cela dirimu karena mengetahui kondisi yang sebenarnya. Orang yang paling bodoh adalah yang melepaskan sesuatu yang diyakininya karena prasangka manusia.

Orang yang tidak bisa mengontrol nafsu, ia akan dikontrol nafsu. Dan orang yang tak bisa menuntut nafsu, ia akan dituntut nafsu. Oleh karena itulah, seandainya engkau menyibukkan nafsumu dengan ketaatan, ia tak akan mengajakmu pada maksiat dan memikirkannya. Apakah engkau pernah menyaksikan orang-orang saleh bergembira di hari raya? Orang yang menyibukkan diri dengan hal-hal yang mubāḥ dan begadang, pasti ia tidak bisa shalat malam. Dikatakan padanya: “Nafsumu telah membuatmu lalai dari Kami. Maka, Kami pun membuatmu lalai dari ibadah.”

Hari raya hanya milik orang yang telah mengalahkan milik orang yang mempunyai akhlāq mulia, mengenal Tuhan, dan membinasakan nafsunya.

Ada beberapa orang yang melewati kediaman seorang pendeta. Kemudian mereka bertanya: “Wahai pendeta, kapankah hari raya kaum tersebut?” Maksudnya orang-orang yang ahli ibadah. Sang pendeta menjawab: “Di hari ketika mereka diampuni.”

Suatu ketika Ḥasan al-Bashrī melewati seorang pemuda yang sedang tertawa gembira bersama teman-temannya. Ia lalu bertanya: “Wahai anak muda, apakah kamu sudah pernah meniti ash-shirāth?” Jawab pemuda itu: “Belum”. Ḥasan al-Bashrī kembali bertanya: “Apakah kamu mengetahui akan ke surga atau neraka?” Ia menjawab: “Tidak.” Kemudian Ḥasan al-Bashrī berkata: “Kalau begitu, mengapa kamu tertawa?!” Diceritakan bahwa setelah dialog tersebut pemuda tadi tak pernah terlihat tertawa kecuali setelah meninggal. Sebab, ia bertobat dan merasa menyesal. Ia terus bersedih sampai akhirnya menemui Tuhan dalam keadaan berīmān.

Engkau, wahai saudaraku, selalu tertawa terbahak-bahak, pergi ke diskotik-diskotik, dan tempat-tempat hiburan. Engkau saksikan teater dan sandiwara dengan senang, bahagia, bermain, dan berhura-hura seakan-akan pernah meniti ash-shirāth, menyeberangi neraka Jahannam, memperoleh ampunan Tuhan, dan selamat dari perhitungan. Syaikh Makīn-ud-Dīn al-Anshār (81) berkata: “Dulu aku biasa mengevaluasi diri di waktu petang. Aku selalu berujar: “Hari ini aku telah berbicara ini dan itu” Ku dapati ada tiga atau empat kata. Aku pun kemudian beristighfār dan bertobat kepada Allah.”

Catatan:

  1. 8). Ia memiliki kedudukan istimewa di Iskandariah di samping guru Ibn ‘Athā’illāh yang bernama Abul-‘Abbās al-Mursī.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *