Mengevaluasi Nafsu – Tutur Penerang Hati – Ibn ‘Atha’illah (1/2)

Terapi Ma‘rifat
 
Tutur Penerang Hati

Oleh: Ibnu ‘Athā’illāh as-Sakandarī
Judul Asli: Bahjat-un-Nufūs
 
 
Penerjemah: Fauzi Faishal Bahreisy
Penerbit: Zaman

Rangkaian Pos: Mengevaluasi Nafsu - Tutur Penerang Hati - Ibn 'Atha'illah

16

Mengevaluasi Nafsu

 

Wahai saudaraku, ketahuilah bahwa nafsumu merupakan musuh paling hebat sebab bisa menghalangimu untuk berbuat taat dan memerintahkanmu untuk berbuat maksiat. Allah berfirman: “Aku tidak merasa bersih dari kesalahan. Sesungguhnya nafsu itu selalu memerintahkan kepada kejahatan, kecuali yang diberi rahmat oleh Tuhan. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Yūsuf [12]: 53).

Oleh karena itu, engkau harus terus mengontrol nafsumu setiap saat. Posisikanlah nafsu tersebut seperti binatang yang kau pakai sebagai kendaraan. Setiap kali ia menyimpang dari jalan yang benar, engkau akan memukul dan meluruskannya agar konsisten dan kembali ke jalurnya.

Seandainya engkau memperlakukan nafsu seperti baju, yakni setiap kali kotor dicuci dan setiap kali koyak ditambal, pasti engkau akan berbahagia. Bisa jadi ada orang yang janggutnya sudah memutih dan rambutnya sudah beruban, tetapi ia masih tidak duduk bersama Allah guna mengevaluasi nafsunya yang menyimpang.

Sayangnya engkau memperlakukan nafsumu seperti seorang suami yang mendapati istrinya di kedai minuman keras dalam keadaan sedang menari dan berdansa. Ia justru diberi pakaian bagus dan berbagai makanan yang lezat sebagai balasan baginya.

Demikianlah, ketika nafsumu meninggalkan shalat engkau rela saja. Atau ketika melakukan maksiat engkau malah memberinya daging serta berbagai makanan dan buah yang lezat, lalu ia dihiasai dengan pakaian yang indah dan mewah. Engkau tak pernah mencela perbuatannya.

Berusahalah untuk mencela dan melakukan kontrol yang keras terhadap nafsumu. Itulah jihād terbesar yang dikatakan oleh Rasūlullāh s.a.w. Beliau bersabda: “Kita kembali dari jihād kecil kepada jihād besar.”

Namun demikian, wahai saudaraku, apakah engkau akan berjihād melawan hawa nafsu, sementara sesudah itu engkau menuruti keinginan syahwat, memberi padanya makanan yang lezat, mewujudkan baginya semua keinginan, serta membiarkannya istirahat dari segala ibadah dan keluar dari garis taat.

Apabila engkau melakukan semua itu berarti engkau bodoh tentangnya, tidak mengetahui perihal kondisinya, serta tak bisa mengaturnya secara baik. Sebab, bila engkau memberi semua yang menjadi keinginan nafsu, engkau ibarat orang yang menemukan ular di rumahnya. Lalu ia beri makan ular tersebut setiap hari sehingga pada suatu saat ia menyerang dan membunuhnya.

Seandainya Allah hanya memberimu akal tanpa nafsu pastilah engkau taat dan tidak bermaksiat. Sebaliknya, seandainya engkau diberi nafsu tanpa akal pasti engkau terus bermaksiat tanpa mau taat. Oleh karena itu, Allah berikan untukmu qalbu, akal, nafsu, dan keinginan. Manusia tak ubahnnya seperti lebah yang memiliki sengat dan madu. Madu berasal dari penyerbukannya, sedangkan sengat berasal dari serangannya.

Oleh karena itu, Allah hendak mematahkan ajakan nafsu dengan qalbu, dan ajakan qalbu dengan nafsu. Kalau ada orang yang berteman denganmu selama sehari atau dua hari, tapi ia merasa tidak mendapatkan manfaat apa-apa darimu pasti ia akan pergi meninggalkanmu. Tapi anehnya, engkau berteman dengan nafsumu selama empat puluh tahun tanpa manfaat apa-apa, tetapi engkau tidak juga meninggalkannya.

Wahai saudara, tinggalkanlah nafsu dengan wajah kesal dan marah. Katakan padanya: “Kembalilah engkau wahai nafsu ke haribaan ridha Tuhanmu! Kalau aku selama ini sudah mengikuti keinginanmu, maka sekarang engkau harus membiarkanku melakukan ketaatan.” Sebagai implikasinya, engkau akan sibuk dengan berdzikir pada Allah dan mengabdi pada-Nya setelah sebelumnya lalai, engkau akan diam setelah sebelumnya berbicara kosong, engkau akan duduk berkhalwat setelah sebelumnya sibuk dengan orang, engkau akan merasa senang bersama Khāliq setelah sebelumnya senang bersama makhlūq, engkau akan suka mendengar dan membaca al-Qur’ān setelah sebelumnya menyukai asmara dan nyanyian, serta engkau akan bergaul bersama orang baik setelah sebelumnya bersahabat dengan teman jahat.

Wahai manusia, bila engkau ingin mengevaluasi dan melatih nafsu, ubahlah dirimu secepatnya. Gantilah begadang dalam maksiat dengan begadang dalam taat. Gantilah kesenangan bergaul bersama hamba dunia dengan berpaling dari mereka. Setelah sibuk mengabdi pada mereka, mengabdilah pada Allah. Setelah memerhatikan perkataan mereka, perhatikanlah perkataan Allah. Setelah menghabiskan waktu dengan ghibah dan membicarakan orang, sibuklah dengan tobat dan istighfār. Setelah makan banyak karena mengikuti syahwat, makanlah sedikit untuk membantu beribadah dan melaksanakn kewajiban. Sehingga engkau makan dalam rangka ibadah, bukan karena selera semata. Selain itu, engkau harus membicarakan nikmat Allah setelah tadinya berpakaian hanya untuk kebanggaan dan dikenal orang. Engkau harus menikahi seorang istri demi untuk mengekang nafsu dari melihat wanita. Terakhir, carilah ‘ilmu agar bermanfaat untuk dirimu kemudian ajarkan pada orang lain demi mencari ridha Allah. Ikhlaskan niatmu untuk Allah baik dalam haji, sedekah, ucapan maupun ‘amal perbuatan agar sesuatu yang tadinya hanya bersifat kebiasaan bernilai ibadah, serta agar engkau menjadi seorang rabbani dalam setiap ‘amal dan setiap keadaan. Allah berfirman: “Dan orang-orang yang berjihad untuk Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (al-‘Ankabūt [29]: 69).

Suatu hari saya berada di samping Syaikh Abul-Mursī dan berkata padanya: “Dalam nafsuku banyak hal yang tidak terwujud!” Mendengar hal itu, Syaikh pun berkomentar: “Jika nafsu itu milikmu kamu bisa memperlakukan sesukamu. Namun, kamu takkan bisa melakukannya. Nafsu seperti wanita. Kalau kamu banyak memusuhinya, ia juga akan sangat memusuhimu. Oleh karena itu, serahkanlah pada Tuhannya. Sebab, Tuhan bisa berbuat apa saja terhadapnya.” Barangkali engkau sudah terlalu lelah dalam mendidiknya sementara ia tetap tak mau mematuhimu karena sifatnya keras kepala. Seorang muslim adalah yang menyerahkan nafsunya kepada Dzāt Yang Menciptakannya. Allah berfirman: “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu’min, diri (nafsu) dan harta mereka dengan imbalan surga.” (at-Taubah [9]: 111).

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *