Pada suatu ketika, Rasūlullāh s.a.w. sedang mengimami shalat dan mendengar suara tangisan anak kecil. Maka, beliau s.a.w. segera mempercepat shalatnya karena merasa kasihan kepada anak kecil itu, sebab ibunya sedang ma’mūm bersamanya. (1171)
Shahabat ‘Abdullāh bin Mas‘ūd menceritakan: “Rasūlullāh s.a.w. selalu menyelingi nasihatnya kepada mereka dengan hal-hal lain karena takut mereka akan bosan bila dilakukan terus-menerus. (1182)
Sehubungan dengan akhlāq Rasūlullāh s.a.w., khususnya dalam hal memenuhi janji, dalam berjanji, dan silaturahmi, ada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh ‘Abdullāh bin Abī al-Hamsā’, ia berkata: “Aku pernah berjual beli dengan Nabi s.a.w. sebelum beliau diutus (menjadi Nabi), dan masih ada sisa untuk beliau, lalu aku berjanji akan mengantarkannya ke tempat beliau, tapi aku lupa. Kemudian aku teringat setelah tiga hari lalu aku datang dan ternyata beliau berada di tempatnya, lalu beliau berkata: “Hai pemuda, engkau ini telah membuatku capai menunggu. Aku sudah di sini sejak tiga hari yang lalu.” (1193)
Apabila diberi hadiah, Rasūlullāh s.a.w. berkata: “Bawalah hadiah itu ke rumah si Fulānah karena ia adalah teman baik Khadījah; ia benar-benar mencintainya”. (1204)
Rasūlullāh s.a.w. selalu menyambung silaturahmi dengan semua kerabatnya tanpa pilih kasih.
Pada suatu hari, datang utusan menghadap Rasūlullāh s.a.w., dan beliau sendiri yang melayaninya, lalu para shahabat berkata: “Biarkanlah kami yang melayani mereka.” Rasūlullāh s.a.w. menjawab: “Sesungguhnya para utusan itu berlaku sangat hormat terhadap para shahabatku, maka aku bermaksud membalas budi mereka.”
Khadījah r.a. berkata: “Bergembiralah, demi Allah, selamanya Dia tidak akan mengecewakanmu karena engkau menyambung silaturahmi, menagggung kebutuhan (fakir, miskin, yatim), memberikan bantuan kepada yang tidak mampu, menghormati tamu, dan menolong orang-orang yang tertimpa bencana.” (1215)
Adapun sifat tawādhu‘, rendah hati Rasūlullāh s.a.w., sekalipun kedudukan dan martabat beliau yang sangat tinggi, beliau s.a.w. adalah orang yang paling tawādhu‘ dan orang yang paling tidak sombong. Kiranya cukup untuk dijadikan sebagai bukti bahwa pernah beliau disuruh memilih menjadi seorang Nabi dan raja atau seorang Nabi dan hamba biasa. Kala itu, Rasūlullāh s.a.w. memilih menjadi seorang Nabi dan hamba biasa. Pada suatu hari, Rasūlullāh s.a.w. keluar menemui para shahabatnya seraya bertopang dengan tongkat.
Ketika para shahabat melihat kedatangan beliau, mereka segera berdiri sebagai penghormatan kepada beliau, tetapi beliau s.a.w. berkata kepada mereka: “Janganlah kalian berdiri sebagaimana orang-orang ‘ajam berdiri karena menghormat sesama mereka.” Lalu beliau meneruskan: “Sesungguhnya aku hanyalah seorang hamba Allah. Aku makan sebagaimana seorang hamba Allah makan, dan aku duduk sebagaimana seorang hamba Allah duduk.” (1226)
Apabila menaiki kendaraannya, Rasūlullāh s.a.w. sering membonceng seseorang di belakangnya. Selain itu, beliau s.a.w. sering berkunjung kepada kaum fakir-miskin dan bergaul dengan mereka, atau memenuhi undangan seorang hamba sahaya. Beliau s.a.w. sering duduk-duduk bersama para shahabatnya; di mana ada tempat maka di situlah beliau duduk bersama para shahabatnya.
Rasūlullāh s.a.w. berkata: “Janganlah kalian menyanjung-nyanjung diriku sebagaimana orang-orang Nashrānī menyanjung-nyanjung putra Maryam (Nabi ‘Īsā). Sesungguhnya aku hanyalah seorang hamba. Sebutlah aku sebagai hamba Allah dan Rasūl-Nya.”
Rasūlullāh s.a.w. melakukan ‘ibādah haji hanya membawa bekal yang harganya tidak mencapai empat dirham, dan hanya memakai pelana yang sederhana sekali. Kemudian beliau berdoa:
“Ya Allah, jadikanlah hal ini sebagai haji yang sebenarnya, bukan karena riyā’ dan bukan pula karena sum‘ah”. (1237) Padahal dunia telah dibukakan untuk beliau, dan dalam haji tersebut beliau membawa seratus unta sebagai hadyu (korban).
Pada Fatḥu Makkah, beliau memasuki kota Makkah bersama pasukan kaum Muslimīn, sementara beliau menundukkan kepala di atas kendaraan sehingga kepala beliau hampir menyentuh bagian depan pelananya karena tawādhu‘, merendahkan diri kepada Allah s.w.t.
Shahabat Abū Hurairah r.a. meriwayatkan: “Aku memasuki pasar bersama Rasūlullāh s.a.w. lalu beliau membeli beberapa celana dan mengatakan kepada penjualnya: “Ukurlah dan lebihkanlah.” (1248) Abū Hurairah r.a. melanjutkan: “Lalu si penjual itu memegang tangan Rasūlullāh s.a.w. dan langsung menciumnya, tetapi beliau menarik tangannya seraya mengatakan: “Ini kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang ‘ajam terhadap raja-raja mereka. Aku bukanlah seorang raja. Sesungguhnya aku hanyalah seorang lelaki di antara kalian”. (1259) Selanjutnya, Rasūlullāh s.a.w. mengambil celana-celana yang dibelinya itu. Aku bermaksud membawakannya, tetapi beliau berkata: “Pemilik barang lebih berhak membawanya”.” (12610)
Mengenai keadilan, sifat amānah, memelihara kehormatan dan jujur di dalam berkata maka Rasūlullāh s.a.w. adalah orang yang paling jujur kata-katanya sejak semula. Hal ini diakui oleh musuh-musuhnya dan oleh orang-orang yang menentangnya sekalipun. Sebelum diangkat menjadi Nabi, beliau dijuluki al-Amīn (orang yang dipercaya). Hal ini telah kami jelaskan secara rinci dalam pembahasan: Perjalanan Hidup Beliau s.a.w. sebelum Masa Kenabian.
Dalam sebuah hadits disebutkan: “Tangan Rasūlullāh s.a.w. tidak pernah menyentuh tangan wanita yang bukan mahramnya.”
Abul-‘Abbās al-Mubarrad mengatakan bahwa Kisrā (Raja Persia) membagi hari-harinya menjadi beberapa bagian, yaitu jika hari bertiup angin kencang digunakannya untuk tidur, hari mendung digunakannya untuk berburu, hari hujan digunakannya untuk bermain dan minum-minum, dan hari matahari cerah digunakannya untuk keperluan-keperluan lainnya. Namun, Nabi s.a.w. membagi siang harinya menjadi tiga bagian, yaitu satu bagian untuk Allah s.w.t., satu bagian lagi untuk keluarganya, sedangkan satu bagian yang lain untuk dirinya sendiri. Kemudian Rasūlullāh s.a.w. membagi-bagikan waktu bagi dirinya untuk keperluan menemui umatnya.
Rasūlullāh s.a.w. selalu meminta tolong kepada orang-orang awam. Untuk itu, beliau s.a.w. berkata: “Sampaikanlah hal yang diperlukan oleh orang-orang yang tidak sempat menemuiku karena sesungguhnya barang siapa yang menyampaikannya kepada orang yang tidak mampu hadir, niscaya Allah akan memelihara dirinya pada hari kiamat nanti.”
Rasūlullāh s.a.w. tidak pernah menghukum seseorang karena kesalahan orang lain. beliau s.a.w. juga tidak pernah membenarkan seseorang yang menjelekkan orang lain di hadapannya. (12711)
Mengenai kewibawaan, diam, ketenangan dalam berbicara, murū’ah (harga diri), dan petunjuk yang baik maka Rasūlullāh s.a.w. terkenal sebagai orang yang paling berwibawa di dalam majelisnya sehingga di dalam majelis selalu tenang dan khidmat. Apabila duduk, beliau mengambil posisi yang selalu dalam ber-ihtiba (12812) sehingga kebanyakan posisi duduknya ber-ihtiba. (12913)
Rasūlullāh s.a.w. adalah orang yang banyak diam. Beliau s.a.w. tidak pernah berbicara tanpa ada keperluan yang penting, dan tidak pernah meladeni orang yang berbicara kurang baik. Perkataannya tegas, tidak bertele-tele, dan tidak pernah melantur. Para shahabat ikut tertawa manakala melihat beliau tersenyum karena menghargainya dan mengikuti jejaknya. Majelis tempat duduk Rasūlullāh s.a.w. adalah majelis yang penuh dengan rasa santun, rasa malu, penuh dengan kebaikan dan rasa amānah.
Di dalam majelis Rasūlullāh s.a.w. belum pernah ada suara bernada tinggi dan belum pernah hal-hal yang haram dikatakan. Apabila Nabi s.a.w. sedang berbicara, para shahabat duduk menundukkan kepalanya karena mendengarkan pembicaraannya, seolah-olah di atas kepala mereka ada burung.
Ibnu Abū Hālah mengatakan bahwa diamnya Rasūlullāh s.a.w. itu karena empat perkara, yaitu sabar, waspada, hormat, dan berpikir.
‘Ā’isyah r.a. menceritakan bahwa apabila Rasūlullāh s.a.w. berbicara, jika ada seseorang yang menghitungnya, niscaya ia dapat menghitungnya. Rasūlullāh s.a.w. adalah orang yang suka memakai wewangian dan sering sekali memakainya serta menganjurkan orang-orang supaya memakainya.
Di antara hal-hal yang menunjukkan murū’ah Rasūlullāh s.a.w. ialah bahwa beliau melarang seseorang meniup makanan dan minuman, (13014) memerintahkan orang untuk memakan makanan yang ada di hadapannya, dan memerintahkan orang supaya selalu bersiwak dan membersihkan celah-celah jari tangan dan kaki, baik bagian luar maupun bagian dalamnya.
Mengenai kezuhudannya terhadap dunia, dalam pembahasan sebelumnya telah kami kemukakan secara rinci. Kiranya yang cukup dijadikan bukti yang menunjukkan kezuhudan Rasūlullāh s.a.w. terhadap dunia dan berpalingnya dari kegemerlapan dunia ialah ketika beliau meninggal dunia, yakni baju besinya dalam keadaan tergadai pada seseorang Yahudi demi menafkahi keluarganya. Rasūlullāh s.a.w. berdoa:
“Ya Allah, jadikanlah rezeki keluarga Muḥammad berupa makanan pokok.” (13115)
‘Ā’isyah r.a. berkata: “Rasūlullāh s.a.w. belum pernah kenyang karena makan roti selama tiga hari berturut-turut hingga beliau wafat.” (13216) ‘Ā’isyah r.a. menceritakan: “Rasūlullāh s.a.w. sewaktu wafat tidak meninggalkan dinar, atau dirham, atau kambing, atau unta.” (13317) ‘Ā’isyah r.a. juga berkata: “Ketika beliau s.a.w. wafat, di rumahku tidak ada makanan yang bisa dimakan selain separuh roti kering yang tersimpan di dalam rak milikku.”
Rasūlullāh s.a.w. berkata: “Sesungguhnya aku pernah ditawari agar tanah Makkah dijadikan untukku penuh dengan emas. Aku berkata: “Wahai Rabb, jangan Engkau jadikan hal itu. Aku ingin agar sehari merasa lapar dan sehari yang lain merasa kenyang. Adapun mengenai hari ketika aku merasakan lapar akan kugunakan untuk merendahkan diri dan berdoa kepada-Mu. Adapun hari ketika aku merasakan kenyang akan kugunakan untuk memuji dan menyanjung-Mu”.” (13418)
Kemudian ‘Ā’isyah r.a. menceritakan: “Sesungguhnya kami keluarga Muḥammad pernah selama satu bulan tidak pernah menyalakan api (untuk memasak). Makanan kami kala itu hanyalah kurma dan air.”
Shahabat Anas bin Mālik r.a. menceritakan: “Rasūlullāh s.a.w. belum pernah makan pada khuwan (piring besar) dan sukurrujah (nampan); beliau juga belum pernah memakan roti bersama sop, dan sama sekali belum pernah pula memakan daging kambing yang dipanggangnya.” (13519)
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh ‘Ā’isyah r.a. disebutkan: “Kasur tempat tidur Rasūlullāh s.a.w. di dalam rumahnya terbuat dari kain bulu yang tebal. Kami lipat menjadi dua lipatan, kemudian Rasūlullāh s.a.w. tidur di atasnya. Pada suatu malam kami melipatnya mejadi empat lipat, dan pada keesokan harinya beliau bertanya: “Apakah yang telah kalian lakukan terhadap tilam tidurku?” Kemudian kami menjelaskan kepadanya apa yang telah kami lakukan. Lalu ia berkata: “Kembalikanlah tilam itu kepada posisinya semula (dua kali lipat) karena sesungguhnya keempukannya menghalangiku shalat sunnahku”.” (13620)
‘Ā’isyah r.a. menceritakan: “Perut Rasūlullāh s.a.w. belum pernah penuh karena kenyang makan, dan beliau belum pernah mengeluh kepada siapa pun karena lapar. Kemiskinan lebih dicintainya daripada kekayaan. Sekalipun beliau tetap dalam keadaan lapar semalam suntuk, hal itu tidak dapat mencegahnya melakukan shaum pada keesokan harinya. Seandainya mau, beliau dapat meminta kepada Rabb-nya semua perbendaharaan bumi, buah-buahnya, dan semua kemewahan hidup yang terdapat di muka bumi. Sungguh, aku telah menangisinya karena terdorong oleh rasa belas kasihan ketika melihat keadaannya, ‘Diriku ini menjadi tebusan engkau. Mengapa engkau tidak mencari bekal duniawi untukmu jadikan sebagai bekal makan?”
Kala itu Rasūlullāh s.a.w. menjawab: “Hai ‘Ā’isyah, aku tidak ada urusan dengan masalah duniawi, sedangkan saudara-saudaraku para rasūl yang termasuk ke dalam Ulul-‘Azmi tetap bersabar dalam menghadapi hal-hal yang lebih berat daripada ini. Sekalipun demikian, mereka tetap menunaikan risalahnya dalam keadaan demikian hingga mereka menghadap kepada Rabb mereka, lalu Rabb memuliakan tempat kembali mereka dan memberikan kepada mereka pahala yang agung. Aku merasa sangat malu terhadap mereka bilamana aku hidup dalam keadaan mewah sehingga aku merasa khawatir kelak kedudukanku berada di bawah mereka. Tiada sesuatu pun yang lebih aku cintai kecuali menyusul saudara-saudara dan kekasih-kekasihku.”
‘Ā’isyah r.a. berkata: “Beberapa bulan kemudian beliau s.a.w. wafat.” (13721)
Rasa khauf (takut), ketaatan serta kesungguhan Rasūlullāh s.a.w. dalam ber‘ibādah kepada Allah s.w.t., sesuai dengan tingkat pengetahuan beliau. Oleh sebab itu, Rasūlullāh s.a.w. pernah berkata: “Seandainya kalian mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya kalian hanya sedikit tertawa dan banyak menangis. Aku dapat melihat hal-hal yang tidak dapat kalian lihat, atau aku dapat mendengar hal-hal yang tidak dapat kalian dengar. Langit ini telah bersuara karena keberatan, dan memang ia berhak untuk bersuara karena tiada suatu tempat pun, biar sekedar empat jari, di mana tidak ada malaikat yang meletakkan jidatnya bersujud kepada Allah. Demi Allah, seandainya kalian mengetahui apa yang telah aku ketahui, niscaya kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis. Kalian niscaya tidak akan dapat bersenang-senang dengan istri-istri kalian di atas tempat tidur kalian, dan niscaya kalian akan keluar ke tempat-tempat yang tinggi lalu kalian meminta tolong kepada Allah. Sungguh aku sangat menginginkan diriku ini menjadi pohon yang tercabut.” (13822)
Rasūlullāh s.a.w. selalu mengerjakan shalat sehingga kedua telapak kakinya bengkak. Lalu ada shahabat yang bertanya: “Mengapa engkau paksakan hal ini atas dirimu, sedangkan Allah telah mengampuni dosa-dosamu yang terdahulu dan yang kemudian?” Maka, Rasūlullāh s.a.w. menjawab: “Tidak bolehkah aku menjadi hamba yang banyak bersyukur?” (13923)
‘Ā’isyah r.a. menceritakan, “‘Amal ‘ibādah Rasūlullāh s.a.w. itu bersifat terus-menerus. Siapakah di antara kalian yang mampu melakukan seperti yang telah dilakukannya?” (14024) ‘Ā’isyah r.a. berkata: “Rasūlullāh s.a.w. selalu berpuasa sehingga kami mengatakan beliau tidak pernah berbuka, dan beliau selalu berbuka sehingga kami mengatakan beliau tidak pernah berpuasa.” (14125)
‘Auf bin Mālik menceritakan: “Pada suatu malam, kami bersama-sama dengan Rasūlullāh s.a.w. kemudian beliau bersiwak lalu berwudhū’. Setelah itu, beliau berdiri untuk shalat. Kami pun ikut berdiri berma’mūm kepada beliau. Dalam shalatnya itu, Rasūlullāh s.a.w. memulai dengan bacaan surah al-Baqarah. Beliau tidak pernah melewati ayat rahmat tanpa berhenti lalu berdoa, dan tidak pernah melewati ayat ‘adzāb tanpa berhenti lalu meminta perlindungan kepada Allah. Kemudian Rasūlullāh s.a.w. rukū‘ dan diam dalam rukū‘nya sama lamanya dengan ketika berdiri. Lalu dia berdoa:
“Maha Suci Dzāt Yang memiliki keperkasaan, kerajaan yang agung, kebesaran dan keagungannya”. (14226)
Setelah itu, Nabi s.a.w. bersujūd dan mengucapkan doa yang serupa dengan ketika rukū‘. Selanjutnya, beliau membaca surah Āli ‘Imrān dan surah-surah lain pada raka‘at berikutnya, dan beliau melakukan hal yang serupa pada raka‘at pertama.”
Di antara para shahabat ada yang menceritakan: “Aku menemui Rasūlullāh s.a.w. yang sedang shalat. Dari dalam perutnya terdengar suara bagaikan suara air mendidih di dalam panci.” (14327)
Abū Hālah menceritakan sehubungan dengan sifat-sifat Rasūlullāh s.a.w. bahwa beliau adalah orang yang terus-menerus merasa sedih dan selalu berpikir tanpa istirahat. Shahabat ‘Alī r.a. menceritakan: “Aku bertanya kepada Rasūlullāh s.a.w. tentang sunnah (kebiasaan)-nya, dan beliau menjawab:
“Ma‘rifah adalah modalku, akal adalah pokok agamaku, cinta adalah dasarku, rindu adalah kendaraanku, dzikrullah (ingat kepada Allah) adalah hiburanku, percaya diri adalah simpananku, susah adalah temanku, ‘ilmu adalah senjataku, sabar adalah pakaianku, rida adalah ghanīmah-ku, tidak mampu adalah kebangganku, zuhud (menjauhi keduniawian) adalah pekerjaanku, keyakinan adalah kekuatanku, kejujuran adalah pandanganku, taat adalah kecukupanku, jihad adalah akhlakku, kesenanganku berada di dalam shalat, dan penyejuk hatiku adalah sewaktu berdzikir kepada-Nya, dan kesusahanku adalah demi umatku, serta kerinduanku hanya kepada Rabb-ku”.” (14428)
Semoga Allah membalas Nabi-Nya dengan balasan yang baik dari umatnya, semoga Allah mengasihi seorang hamba yang mau memperhatikan akhlāq-akhlāq yang mulia serta sifat-sifat yang indah ini, kemudian ia berpegang teguh kepadanya dan mengikuti jejak Rasūlullāh s.a.w. supaya ia mendapatkan syafā‘atnya kelak pada hari kiamat dan mendapat keridhāan-Nya.
Ya Allah, kami memohon taufīq kepada-Mu yang di dalamnya terkandung kebaikan sebagai berkah dari karunia dan kemurahan-Mu, wahai Yang Maha Pemurah di antara orang-orang yang pemurah.