Mengenal Pribadi Rasulullah S.A.W. – Nurul Yaqin (1/4)

NŪR-UL-YAQĪN
 
Judul Asli:
Nūr-ul-Yaqīn fī Sīrati Sayyid-il-Mursalīn
Penulis: Muhammad al-Khudhari Bek

 
Alih Bahasa: Muhammad Faisal Fadhil
Penerbit: UMMUL QURA
 
(Diketik oleh: Zulfa)

Rangkaian Pos: Mengenal Pribadi Rasulullah S.A.W. dan Mu'jizatnya - Nurul Yaqin

PASAL 3

MENGENAL PRIBADI RASŪLULLĀH S.A.W.
DAN MU‘JIZATNYA

Sosok Rasūlullāh s.a.w.

Allah s.w.t. telah menggambarkan kepada Nabi kita, Muḥammad s.a.w., semua kesempurnaan dunia dan akhirat yang belum pernah dianugerahkan kepada siapa pun, baik sebelum ataupun sesudah beliau. Sudah menjadi keharusan bagi kami untuk mengemukakan bab ini (581) sekilas mengenai sifat-sifat baik dari Rasūlullāh s.a.w. dan akhlāq beliau yang mulia. Hal ini dimaksudkan supaya dapat dijadikan teladan oleh para pembaca budiman, sehingga barang siapa yang mengikuti jejaknya maka ia akan berhak mendapat pujian di dunia dan pahala di akhirat.

Perlu diketahui—-semoga Allah memberikan bimbingan kepada diriku dan pembaca sekalian, dan semoga pula Dia berkenan memberikan petunjuk kepada kita ke jalan yang lurus—bahwa perilaku yang agung lagi sempurna bagi manusia itu ada dua macam, yaitu pertama, dharūrī dunyawī: seperti tercakup dalam tabiat dan kebutuhan kehidupan. Kedua, muktasab dīnī: yaitu sesuatu yang—bila dikerjakan—maka pelakunya dipuji dan dapat mendekatkan kepada Allah s.w.t.

Pertama, dharūrī: sesuatu yang seseorang tidak bisa memilih dan mengusahakannya, misalnya sifat-sifat bawaan pada diri Rasūlullāh s.a.w. berupa bentuk yang sempurna, indah penampilan, kekuatan daya pikir, pemahaman yang benar, lisan yang fasih, panca indera dan anggota tubuh yang kuat, gerak yang seimbang, keturunan yang terhormat, kaum dan tempat tinggal yang mulia, termasuk pula ke dalam kategori ini hal-hal yang merupakan kebutuhan pokok hidup seperti makanan, tidur, pakaian, tempat tinggal, harta benda, dan kedudukan.

Kedua muktasab ukhrawī: yaitu semua hal meliputi akhlak yang luhur, adab-adab syar‘ī dari agama, ‘ilmu, ḥilm; bijaksana, sabar, syukur, adil, zuhud, tawadhū‘, memaafkan, ‘iffah, dermawan, keberanian, perasaan malu, murū’ah, diam, jelas dalam berbicara, wibawa, kasih-sayang, adab yang baik, pergaulan dan lain sebagainya yang tercakup dalam akhlāq yang baik.

Apabila anda perhatikan—semoga Allah menjaga Anda—sifat-sifat sempurna yang tidak dapat diupayakan oleh hamba dan sifat-sifat bawaan pada penciptaan, maka anda akan mendapati Nabi s.a.w. memiliki semua itu, beliau dihiasi dengan berbagai kebaikan itu.

Apabila mengenai penampilan, kerupawanan, dan keserasian bentuknya yang begitu indah, ada banyak atsar shaḥīḥ dan terkenal menyebutkan hal-hal tersebut bahwa beliau s.a.w. adalah:

Warna kulit Rasūlullāh s.a.w. putih kemerah-merahan, bagian hitam matanya besar, matanya lebar tapi indah, warna putih matanya dicampuri warna kemerah-merahan, bulu matanya tebal, wajahnya selalu tampak bercahaya dan berseri-seri, alis matanya tipis tetapi memanjang, hidungnya mancung agak melengkung, wajahnya bundar, keningnya lebar, dan janggutnya lebat, keriting dan tidak terlalu panjang. Perutnya rata (tidak buncit), dadanya bidang, pundaknya kekar, tulangnya besar, lengan dan hastanya kekar, telapak tangannya lebar demikian pula telapak kakinya, dan jari-jemarinya cukup panjang tetapi serasi, dadanya berbulu, dan tingginya sedang; tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu pendek. Sekalipun demikian, siapa pun yang berjalan bersamanya, yang terbilang orang yang tinggi, Nabi s.a.w. kelihatan lebih tinggi.

Beliau selalu menyisir rambutnya. Apabila tertawa, terlihat wajahnya bercahaya bagaikan kilat dan seumpama butiran air hujan. Apabila berkata maka kelihatan seolah-olah ada cahaya yang keluar dari gigi serinya. Bentuk lehernya paling baik, tidak terlalu gemuk dan tidak kurus. Badannya kekar dan tidak gemuk. (592)

Al-Barrā’ bin ‘Āzib menceritakan: “Aku belum pernah melihat seseorang yang memiliki cambang yang hitam disemir warna merah, lebih indah dari milik Rasūlullāh s.a.w.” (603)

Abū Hurairah r.a. berkata: “Aku belum pernah melihat sesuatu yang lebih indah daripada Rasūlullāh s.a.w., seolah-olah matahari berjalan di wajahnya, dan apabila tertawa maka berkilau-kilau wajahnya.”

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abī Hālah disebutkan: “Wajah Rasūlullāh s.a.w. selalu tampak berkilau-kilau bagaikan rembulan pada tanggal lima belas.”

‘Alī bin Abī Thālib r.a. mengatakan pada akhir kalimatnya sewaktu ia menggambarkan diri Rasūlullāh s.a.w.: “Barang siapa yang melihatnya sekilas, niscaya ia takut terhadapnya, dan barang siapa yang telah bergaul dan mengenalnya, niscaya akan mencintainya. Orang yang menggambarkan tentang bentuknya, niscaya mengatakan, aku belum pernah melihat seseorang yang mirip dengan Rasūlullāh s.a.w., baik sebelum melihatnya ataupun sesudahnya.” (614)

Adapun mengenai kebersihan tubuhnya, bau harum tubuhnya, keringatnya, kesuciannya dari kotoran-kotoran, dan kerapiannya dalam menutupi aurat tubuh, merupakan karunia Allah s.w.t. yang khusus diberikan kepada diri beliau dan tidak terdapat pada orang lainnya. Kemudian hal ini disempurnakan pula dengan kebersihan dalam bersyarī‘at. Rasūlullāh s.a.w. telah bersabda: “Agama adalah kebersihan.” (625)

Anas bin Mālik r.a. pernah mengatakan: “Aku belum pernah mencium bau minyak kasturi serta wewangian lain yang lebih harum daripada bau tubuh Rasūlullāh s.a.w..” (636)

Jābir menceritakan bahwa pada suatu hari Rasūlullāh s.a.w. mengusap pipinya. Selanjutnya, Jābir berkata: “Terasa tangannya ketika menyentuh pipiku begitu sejuk dan harum, seolah-olah tangan tersebut baru dikeluarkan dari tempat minyak wangi.” Sementara dalam riwayat yang lain, ditambahkan bahwa apakah itu menyentuh wewangian sebelumnya atau tidak, tangannya tetap harum. Tangan seseorang yang berjabat tangan dengan Nabi s.a.w. akan tetap harum seharian penuh. Umpamanya dia menaruh telapak tangannya pada kepala anak kecil, niscaya anak kecil itu mengetahui bahwa bau wangi tersebut adalah sisa dari tangan Rasūlullāh s.a.w. Imām al-Bukhārī meriwayatkan dalam kitab Tārīkh-nya melalui Jābir r.a.:

Belum pernah Nabi s.a.w. melalui suatu jalan, kemudian bekasnya diikuti oleh seseorang, melainkan diketahui bahwa Rasūlullāh s.a.w. baru saja melewati jalan itu karena tercium dari baunya yang wangi.” (647)

Ditinjau dari kecerdasan akal, bashīrah atau mata hatinya yang tajam, kekuatan panca indranya, kefasihan lisannya, keseimbangan gerak geriknya dan kebaikan penampilannya maka tidak diragukan lagi bahwa beliau adalah orang yang paling cerdas dan paling pandai. Barang siapa memperhatikan pengaturannya terhadap perkara batiniah dan lahiriah makhlūq, serta kebijaksanaannya dalam mengatur umat, penampilan dan gerak geriknya yang menakjubkan itu, terlebih lagi bila dibarengi pula dengan ‘ilmu yang dimilikinya dan keputusan syar‘ī yang telah ditetapkannya tanpa mengalami proses belajar terlebih dahulu dan juga tanpa proses latihan, serta tanpa membaca kitab-kitab maka kesan pertama yang terlintas pada dirinya tidak meragukan lagi tentang kecemerlangan akal dan ketajaman pandangannya dalam segala hal.

Apabila Rasūlullāh s.a.w. shalat, beliau dapat melihat orang yang di belakangnya sebagaimana melihat seseorang yang berada di hadapannya. Berdasarkan pengertian ini, ada seseorang musāfir yang mengartikan firman-Nya dengan pengertian tersebut:

Dan (melihat pula) perubahan gerak badanmu di antara orang-orang yang sujud.” (Asy-Syu’arā’: 219)

‘Ā’isyah r.a. menceritakan bahwa Rasūlullāh s.a.w. dapat melihat di dalam gelap sebagaimana melihat di dalam terang. Beliau s.a.w. pernah menghitung bahwa jumlah bintang Tsurayya itu ada sebelas. (658)

Banyak hadits yang menceritakan bahwa Rasūlullāh s.a.w. pada suatu hari mengajak Rukānah masuk Islam. Rukānah adalah orang yang paling kuat pada masa itu. Namun, Rukānah menolak kecuali bila Nabi s.a.w. dapat mengalahkannya dalam bergulat. Akhirnya, beliau dapat menjatuhkannya.

Shahabat Abū Hurairah r.a. dalam salah satu haditsnya menceritakan:

“Aku belum pernah melihat seseorang yang lebih cepat jalannya daripada Rasūlullāh s.a.w., seolah-olah bumi ini melipatkan diri untuknya. Sesungguhnya kami sangat payah menyeimbanginya dalam berjalan, sedangkan beliau biasa-biasa saja.” (669)

Sehubungan dengan sifat Rasūlullāh s.a.w. telah disebutkan bahwa tertawanya hanyalah berupa senyuman. Apabila berpaling, tubuhnya pun ikut memalingkan dirinya, dan bilamana berjalan, langkah-langkahnya tegap. (6710)

Adapun mengenai kefasihan lisan dan cara berbicara beliau maka menduduki tempat paling utama. Gaya bahasa Rasūlullāh s.a.w. dalam percakapannya mudah dicerna, lihai dalam membuat istilah, ringkas, fasih, anggun, ma‘na yang tepat dan tidak dibuat-buat. Beliau dianugerahi jawāmi‘-ul-kalim (6811) dan mempunyai keistimewaan lihai dalam membuat kata-kata yang bijak serta mempunyai pengetahuan yang mencakup semua dialek bahasa ‘Arab.

Beliau s.a.w. selalu berbicara dengan setiap kabilah sesuai dengan dialek yang mereka pakai dan mengungguli kefasihan mereka sehingga banyak shahabat yang bertanya kepada beliau tentang arti dan penafsiran pembicaraannya, bukan hanya satu-dua kali. Barang siapa merenungkan pembicaraannya dan menekuninya, niscaya ia akan mengetahui dan dapat membuktikan hal tersebut.

Pembicaraan Nabi s.a.w. dengan orang-orang Quraisy tidaklah seperti pembicaraannya dengan kabilah-kabilah Ḥadhramaut, raja-raja negeri Yaman, dan para penguasa negeri Najd. Beliau s.a.w. selalu berbicara kepada setiap kabilah sesuai dengan kata-kata yang dianggap paling baik di kalangan mereka. Dengan demikian, Nabi s.a.w. dapat menjelaskan kepada mereka supaya beliau dapat berbicara dengan mereka sesuai dengan apa yang biasa berlaku di kalangan mereka.

Adapun mengenai pembicaraan sehari-harinya, kefasihan bahasanya yang mudah dipahami dan jawāmi‘-ul-kalim-nya banyak dihimpun di dalam kitab-kitab, dan lafal-lafal serta ma‘na-ma‘nanya diabadikan di dalamnya. Di antaranya adalah pembicaraan-pembicaraan yang langka tandingannya dalam hal kefasihan bahasa seperti kata-kata beliau s.a.w. berikut ini:

Darah kaum Muslimīn itu sebanding; orang yang paling rendah dari mereka dapat memberikan jaminannya; mereka bagaikan satu tangan terhadap orang-orang selain mereka.” (6912)

Perkataan-perkataan Rasūlullāh s.a.w.:

Manusia itu bagaikan gigi-gigi sisir.” (7013)

Seseorang itu (kelak di akhirat) akan bersama orang yang dicintainya.” (7114)

Tiada baiknya engkau berteman dengan seseorang yang memandang dirimu tidak sebagaimana pandanganmu terhadap dirinya.” (7215)

Manusia itu bagaikan benda-benda dari logam.” (7316)

Tidaklah akan binasa seseorang yang mengetahui bobot dirinya.” (7417)

Penasihat itu orang yang dipercaya.” (7518)

Semoga Allah mengasihi seorang hamba yang berkata baik kemudian ia memperoleh kebaikan, atau ia diam kemudian memperoleh keselamatan.” (7619)

Masuk Islamlah, niscaya engkau akan selamat; dan masuk Islamlah, niscaya Allah akan memberi pahala dua kali lipat kepadamu.” (7720)

Sesungguhnya orang yang paling aku cintai dan yang paling dekat kedudukannya di antara kalian kelak pada hari kiamat ialah orang yang paling baik akhlaknya lagi merendahkan diri, yaitu orang-orang yang mencintai orang lain dan dicintai oleh orang lain.” (7821)

Mungkin ia mengatakan apa yang tidak ada urusan dengannya atau bersikap bakhil terhadap apa yang ia telah berkecukupan daripadanya.” (7922)

Orang yang bermuka dua kelak (pada hari kiamat) tidak akan dapat berhadapan dengan Allah” (8023)

Demikian pula perkataan Rasūlullāh s.a.w. sehubungan dengan larangannya terhadap: perbuatan qīla dan qāla, banyak bertanya, gemar menyia-nyiakan harta, menahan (tidak menunaikan hak orang lain) dan suka meminta-minta (yang bukan haknya), menyakiti ibu, dan mengubur anak-anak perempuan hidup-hidup. (8124)

Rasūlullāh s.a.w. telah bersabda:

Bertaqwālah kepada Allah di mana pun engkau berada; imbangilah perbuatan buruk dengan ‘amal baik, niscaya ‘amal baik akan menghapus perbuatan buruknya; dan pergaulilah manusia dengan akhlāq yang baik.” (8225)

Sebaik-baik perkara adalah yang paling pertengahan.” (8326)

Cintailah kekasihmu biasa saja, barangkali dia kelak akan menjadi orang yang engkau benci.” (8427)

Kezhāliman adalah kegelapan-kegelapan yang pekat pada hari kiamat (nanti).” (8528)

Rasūlullāh s.a.w. dalam salah satu doanya mengatakan:

Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu rahmat yang dapat memberikan petunjuk kepada hatiku, yang dapat menghimpun perkaraku, yang dapat merapikan kekacauanku, yang dapat memperbaiki semua keinginanku, yang dapat membersihkan ‘amalku, yang dapat memberikan ilham kepada jalan petunjuk, yang dapat mengembalikan kecintaanku, dan yang dapat memelihara diriku dari semua perbuatan buruk. Ya Allah, sesungguhnya aku meminta kepada-Mu keberuntungan di dalam qadhā-Mu, kedudukan para syuhadā’, kehidupan yang bahagia, dan kemenangan atas musuh-musuh (-Mu).” (8629)

Masih banyak lagi hal lain yang diceritakan oleh para ‘ulamā’ tanpa kecuali berupa ceramah-ceramah, khutbah-khutbah, doa-doa, surat-surat, dan perjanjian-perjanjian yang telah dibuat Rasūlullāh s.a.w. Semuanya itu secara sepakat menyimpulkan bahwa Nabi s.a.w. dalam hal ini menduduki tempat yang tiada bandingannya dan menjadi pendahulu yang tak dapat digambarkan keagungannya.

Pada suatu hari, para shahabat berkata kepada Rasūlullāh s.a.w.: “Kami belum pernah melihat seseorang yang lebih fasih daripada engkau.” Rasūlullāh s.a.w. menjawab: “Tiada sesuatu pun yang dapat mencegahku karena sesungguhnya al-Qur’ān diturunkan dengan memakai bahasaku, yaitu bahasa ‘Arab yang jelas.” (8730)

Catatan:

  1. 58). Sebagian besar pembahasan mengenai budi pekerti Rasūlullāh s.a.w. dan mukjizat-mukjizatnya dikutip secara ringkas dari kitab Asy-Syifā’ buah pena Qādhī ‘Iyādh r.h.
  2. 59). Lihat: Shaḥīḥ-ul-Bukhārī (3548, 5900) dan Muslim (2237).
  3. 60). HR. al-Bukhārī (5901) dan Muslim (2237).
  4. 61). HR. at-Tirmidzī (3638), Al-Baihaqī dalam Ad-Dalā’il (1/269-270).
  5. 62). Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Asākir (1/124), dan Kasyf-ul-Khafā (1/341).
  6. 63). HR Al-Bukhari (3561) dan Muslim (2330).
  7. 64). Asy-Syifā’u bi Ta‘rīfi Ḥuqūq-il-Musthafā (1/62).
  8. 65). Diriwayatkan oleh al-Khathīb al-Baghdādī dalam at-Tārīkh (4/272), Al-Baihaqī dalam Ad-Dalā’il (6/74-75), Al-Albānī berkata dalam Adh-Dha‘īfah, no.341, “lā maudhū‘.”
  9. 66). HR. Aḥmad (2/350, 380), at-Tirmidzī dalam asy-Syamā’il (118), dan disahihkan oleh Syaikh al-Albānī.
  10. 67). HR. At-Tirmidzī (3638), dan al-Baihaqī dalam ad-Dalā’il (1/269, 270), dan Syaikh al-Albānī men-dha‘īf-kannya.
  11. 68). Perkataan yang ringkas, tetapi mengandung arti yang luas-edt.
  12. 69). Sudah di-takhrīj sebelumnya.
  13. 70). Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adī dalam al-Kāmil (3/248), lihat pula Kanz-ul-‘Ummāl (24822).
  14. 71). HR. Abū Dāwūd (5127), at-Tirmidzī (2386), Aḥmad (3/159, 221).
  15. 72). HR. Ibnu ‘Asākir (2/187), di-dha‘īf-kan oleh Syaikh al-Albānī dalam adh-Dha‘īfah (596).
  16. 73). HR. al-Bukhārī (3588) dan Muslim (2526).
  17. 74). HR Ibnu ‘Asākir (2/187), Asy-Syifā’ (1/72).
  18. 75). HR. Abū Dāwūd (5128), at-Tirmidzī (2822), Ibnu Mājah (3745), dan di-shaḥīḥ-kan oleh Syaikh al-Albānī dalam ash-Shaḥīḥah (1641).
  19. 76). HR. Ibnu Ḥibbān (128) dan Ibnu ‘Asākir (3/107), di-shaḥīḥ-kan oleh al-Albānī dalam silsilat-ush-Shaḥīḥah (855).
  20. 77). HR. Muslim (1773) dan Aḥmad (1/263).
  21. 78). HR. Ibnu Abī Syaibah (6/88), Aḥmad (4/193, 194) dan al-Baghawī dalam Syarḥ-us-Sunnahnya (3395), Ibnu Ḥibbān (483), al-Haitsamī dalam Majma‘-uz-Zawā’id (8/21), Aḥmad dan ath-Thabrānī dengan perawi yang shaḥīḥ, at-Tirmidzī (2018), dan di-shaḥīḥ-kan oleh al-Albānī dalam Ash-Shaḥīḥah (791).
  22. 79). Al-Ittiḥāf (9/225), at-Targhīb (3/541), Ibnu ‘Asākir (3/109).
  23. 80). Asy-Syifā’ (1/73).
  24. 81). HR. Muslim (593).
  25. 82). HR. at-Tirmidzī (1987), Aḥmad (5/154, 158), al-Ḥākim (178), dia berkata: “Ini sesuai syarat Syaikhain.” Dan disepakati oleh adz-Dzahabī, dan di-shaḥīḥ-kan oleh Syaikh al-Albānī dalam al-Misykāt (5083).
  26. 83). HR. al-Baihaqī (3/273), dan Kasyf-ul-Khafā (1/465).
  27. 84). HR. at-Tirmidzī (1997) dan di-shaḥīḥ-kan oleh Syaikh al-Albānī dalam Ghāyat-ul-Marām (472).
  28. 85). HR. al-Bukhārī (2447), dan Muslim (2579).
  29. 86). HR. at-Tirmidzī (3419), Ibnu Khuzaimah (1119), dan di-dha‘īf-kan oleh Syaikh al-Albānī dalam Dha‘īf-ut-Tirmidzī.
  30. 87). Asy-Syifā’ (1/75).

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *