Dalam riwayat yang lain ditambahkan: “Hanya saja aku berasal dari kabilah Quraisy dan aku ditumbuhkan di kalangan Bani Sa‘ad.” (881) Dengan demikian terhimpunlah di dalam diri beliau daya nalar bahasa orang Badui dan keanggunan gaya bahasanya. Dibarengi pula oleh kecemerlangan kata-kata orang perkotaan dan keindahan gaya bahasanya. Hal itu diperkuat oleh dukungan Ilāhī melalui wahyu-Nya yang tidak dapat dipahami oleh ‘ilmu manusia.
Adapun mengenai kemuliaan nasab (keturunan) Nabi s.a.w. dan kemuliaan negeri tempat beliau dibesarkan tidak perlu bukti lagi karena sudah jelas dan tidak diragukan. Rasūlullāh s.a.w. berasal dari keturunan Bani Hāsyim, salah satu dari kabilah Quraisy, dan bahkan merupakan intinya. Ayah dan ibu Rasūlullāh s.a.w. berasal dari golongan orang ‘Arab yang paling terhormat dan paling dimuliakan, dan tempat kelahirannya adalah kota Makkah yang disucikan oleh Allah s.w.t. buat hamba-hambaNya. Penjelasan secara rinci tentang hal ini telah kami kemukakan pada permulaan kitab ini; karena itu kami tidak akan mengulanginya kembali.
Adapun mengenai hal-hal terkait dharūrat-ul-ḥayāh (kebutuhan hidup), sikap Rasūlullāh s.a.w. dalam hal ini antara lain ada yang dinilai utama jika sedikit, dan ada yang dinilai utama jika banyak, dan ada pula hal-hal yang penilaiannya bergantung pada situasi dan kondisi. Mengenai jenis yang pertama, yaitu sesuatu yang dinilai utama jika sedikit adalah menyangkut masalah makan dan tidur.
Sehubungan dengan kedua hal itu, orang-orang ‘Arab dan orang-orang yang bijak pada zaman dahulu menganggap bahwa mengurangi melakukan kedua hal tersebut merupakan suatu hal yang terpuji, sedangkan memperbanyak kedua hal tersebut merupakan hal yang tercela. Terlalu banyak makan dan minum mencerminkan bahwa pelakunya berwatak rakus, tamak, buas, dan selalu memperturutkan kemauan hawa nafsu, dapat menyebabkan kemudharatan di dunia dan akhirat, mengundang banyak penyakit pada tubuh, kekeruhan dalam jiwa, dan tersumbatnya pemikiran. Sebaliknya, mempersedikit hal tersebut merupakan cermin bahwa pelakunya bersifat menerima apa adanya, dapat menguasai diri, dan dapat menekan hawa nafsunya. Kemudian hal ini akan mendatangkan kesehatan, kejernihan hati, dan ketajaman berpikir. Sebagaimana halnya jika terlalu banyak tidur merupakan cermin yang menunjukkan bahwa pelakunya orang yang malas, lemah, tidak pandai, dan tidak cerdik. Tentu saja kebanyakan tidur dapat menyebabkan malas, lemah, menyia-nyiakan umur untuk hal-hal yang tidak bermanfaat, dapat menyebabkan hati menjadi keras, lalai, dan mati.
Sehubungan dengan ini, Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
“Tiada wadah yang dipenuhi oleh anak Ādam (manusia) yang lebih jelek daripada perutnya sendiri. Cukuplah bagi anak Ādam hanya beberapa suap (makanan) guna menegakkan tulang shulbinya (menguatkan badannya). Apabila tidak ada pilihan lain baginya maka sepertiga dari (perut)-nya untuk makanannya, dan sepertiga lagi untuk minumannya, serta sepertiga yang lain untuk napasnya.” (892)
Lagi pula, banyaknya tidur itu karena terlalu banyak makan dan minum.
‘Ā’isyah r.a. menceritakan bahwa perut Nabi s.a.w. sama sekali belum pernah penuh karena kekenyangan. Bilamana berada di rumah istri-istrinya, beliau belum pernah meminta kepada mereka makanan, dan tidak pula mengemukakan keinginannya untuk makan. Apabila mereka menghidangkan makan, maka beliau memakannya; apabila mereka tidak menghidangkan makanan, maka beliau diam saja; dan apabila mereka menyiapkan minum maka beliau minum. (903) Dalam sebuah hadits yang shaḥīḥ disebutkan bahwa Nabi s.a.w. pernah berkata:
“Adapun aku, belum pernah makan sambil bersandar.” (914)
Pengertian kata al-ittikā’ (bersandar) pada hadits tersebut di atas ialah duduk dengan posisi yang memberikan keleluasaan untuk makan banyak, seperti bersila dan cara duduk yang serupa. Duduk dalam posisi tersebut dapat memberikan dorongan untuk makan banyak, dan sesungguhnya duduk yang dilakukan Rasūlullāh s.a.w. ketika makan ialah duduk dalam posisi yang tidak memberikan keleluasaan untuk makan banyak. Nabi s.a.w. berkata:
“Sesungguhnya aku hanyalah seorang hamba, aku makan sebagaimana seorang hamba sedang makan, dan aku duduk sebagaimana seorang hamba duduk.” (925)
Demikian pula, tidur Rasūlullāh s.a.w. sangat sedikit. Dalam hal ini, beliau s.a.w. telah bersabda:
“Sesungguhnya kedua mataku tidur, tetapi hatiku tidak tidur.” (936)
Adapun mengenai hal-hal yang dinilai utama bilamana banyak, misalnya adalah kedudukan. Kedudukan merupakan suatu hal yang terpuji di kalangan orang-orang yang berakal, demikianlah kebiasaannya. Suatu kedudukan ditentukan oleh kadar kehormatan dan kewibawaan seseorang di hati umat. Sehubungan dengan hal ini, Allah s.w.t. berfirman mengenai sifat Nabi ‘Īsā a.s.:
“Seseorang yang terkemuka di dunia dan di akhirat.” (Āli ‘Imrān: 45)
Nabi s.a.w. telah dianugerahi sifat disegani, dikagumi oleh umat, dan juga diagungkan. Hal ini telah menyatu dengan pribadinya sejak zaman jahiliah dan sesudahnya. Kaumnya mendustakan dan menyakiti para shahabatnya serta secara diam-diam mereka bermaksud mencelakakan beliau. Apabila mereka bertujuan demikian, lalu berhadap-hadapan dengan beliau maka keadaan menjadi sebaliknya, lalu mereka segan terhadap beliau dan bersedia memberikan kepada beliau apa yang diperlukannya seperti yang sering kami sebutkan di awal pembahasan.
Seseorang yang belum pernah mengenal Rasūlullāh s.a.w. ketika pertama kali memandang beliau, ia akan langsung gemetar dan gugup karena melihatnya, seperti sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Qailah. Disebutkan dalam hadits tersebut bahwa ketika pertama kali Qailah melihat Nabi s.a.w. ia menjadi gugup dan gemetar, lalu Rasūlullāh s.a.w. berkata kepadanya: “Kasihan engkau ini, tenanglah.” (947)
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abū Mas‘ūd disebutkan bahwa ada seorang lelaki ketika berhadapan dengan Rasūlullāh s.a.w. karena ada suatu keperluan, tiba-tiba tubuhnya gemetar karena ketakutan. Lalu Rasūlullāh s.a.w. berkata kepadanya:
“Tenanglah karena aku bukanlah seorang raja.” (958)
Adapun derajat yang agung karena kenabian, kedudukan yang mulia karena kerasulan, dan pangkat yang tinggi karena menjadi makhlūq yang terpilih dan dimuliakan di dunia, maka ia merupakan puncak kesempurnaannya kemudian di akhirat beliau s.a.w. adalah penghulu umat manusia.
Hal-hal yang penilaiannya berbeda-beda sesuai dengan situasi dan kondisi, dalam arti kata bahwa hal tersebut dapat dijadikan sebagai subjek pujian dan kebanggaan serta keutamaan, sebagai contoh ialah harta benda, maka pemilik harta benda itu dihormati oleh kalangan awam karena mereka mempunyai keyakinan bahwa harta benda itu dapat mengantarkan pemiliknya untuk meraih keperluan dan untuk mencapai tujuan. Apabila tidak demikian maka ia bukan merupakan keutamaan. Bilamana harta benda itu seperti demikian, kemudian pemiliknya membelanjakannya untuk kepentingan dirinya dan kepentingan orang-orang yang menjadikannya tujuan dan dambaannya maka ia membelanjakan pada tempat yang sebenarnya dengan tujuan untuk memperoleh keluhuran dan pujian yang baik serta tempat di hati. Jika demikian, harta benda tersebut merupakan keutamaan bagi pemiliknya menurut penduduk dunia. Apabila pemilik harta membelanjakannya untuk tujuan-tujuan kebajikan dan ia menginfāqkannya ke jalan kebaikan dengan tujuan mencari keridaan Allah s.w.t. dan pahala di akhirat maka harta benda merupakan keutamaan bagi pemiliknya dalam semua kondisi dan situasi menurut penilaian seluruhnya.
Bilamana pemilik harta benda memegangnya erat-erat tanpa membelanjakannya untuk hal-hal yang semestinya karena sangat getol mengumpulkannya maka memiliki harta yang banyak sama saja dengan tidak mempunyai harta sama sekali, dan merupakan aib dan cela bagi pemiliknya karena ia tidak menggunakannya untuk keselamatan dirinya, bahkan menggunakannya sebagai sarana untuk menjerumuskan dirinya ke dalam jurang kekikiran yang hina.
Harta benda bukanlah tujuan, melainkan sarana untuk meraih hal yang lain dan membelanjakannya pada hal-hal yang sudah menjadi kemestian. Nabi kita s.a.w. telah diberi semua perbendaharaan bumi dan kunci berbagai negeri; ghanīmah telah dihalalkan bagi beliau, dan semasa hidupnya telah dibukakan untuknya negeri Ḥijāz, Yaman, dan semua kawasan Jazīrah ‘Arabia serta negeri-negeri yang berdekatan seperti Syām dan negeri ‘Irāq, juga diserahkan kepada beliau semua harta khumus, jizyah, dan zakat dari negeri-negeri tersebut sebagaimana telah dihadiahkan kepadanya dari kebanyakan raja yang berada di Jazīrah ‘Arabia. Namun begitu, beliau tidak pernah menggunakan sesuatu pun untuk kepentingan pribadinya, dan tidak pernah pula beliau memegang satu dirham pun yang tidak dibelanjakannya kepada hal-hal yang semestinya, dan meng-infāq-kannya untuk orang lain serta untuk memperkuat kaum Muslimīn. Rasūlullāh s.a.w. telah bersabda:
“Tidaklah aku merasa gembira andaikata aku mempunyai emas sebanyak Gunung Uhud, lalu ada satu dinar daripadanya yang sempat menginap di sisiku, kecuali satu dinar yang aku persiapkan untuk (melunasi) utangku.” (969)
Pada suatu hari, Rasūlullāh s.a.w. mendapat banyak uang dinar sehingga hatinya merasa tidak tenang. Oleh karena itu, beliau cepat-cepat membagi-bagikannya dan disisakannya sedikit, dan sisa yang sedikit itu pun langsung beliau bagikan kepada istri-istrinya, setelah itu beliau berkata: “Sekarang aku merasa tenang.”
Sewaktu Rasūlullāh s.a.w. wafat, baju besi miliknya masih dalam keadaan tergadai untuk menafkahi orang-orang yang menjadi tanggungan beliau. Dalam hal nafkah, pakaian, dan tempat tinggal, beliau selalu membatasi diri hanya pada keperluan yang penting saja. Hal-hal yang lebih dari itu selalu dijauhinya. Beliau selalu berpakaian apa adanya. Sebagian besar pakaiannya terdiri dari kain tenun yang sederhana dan kain bulu yang kasar. Beliau membagikan kain-kain sutra yang diberi sulaman benang emas kepada orang-orang yang hadir di hadapannya dan mengirimkannya kepada orang-orang yang tidak hadir di antara para shahabatnya. Seperti yang telah kita saksikan sendiri, Rasūlullāh s.a.w. telah memperoleh keutamaan dari harta benda miliknya dengan cara menjauhinya dan meng-infāq-kannya kepada orang-orang yang berhak menerimanya.
Sifat yang Bersifat Muktasab (Dapat Diusahakan)
Adapun watak yang bersifat muktasab, berupa akhlak yang terpuji dan etika yang mulia, semuanya tersimpul ke dalam kategori akhlāq yang baik. Semuanya telah berada di dalam diri Nabi s.a.w. dalam bentuk yang sangat sempurna dan stabil sehingga Allah sendiri memujinya melalui firman-Nya:
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (Al-Qalam: 4)
‘Ā’isyah r.a. telah meriwayatkan dalam salah satu hadits:
“Akhlāq Rasūlullāh adalah al-Qur’ān; ia ridhā karena al-Qur’ān dan marah pun karena al-Qur’ān.” (9710)
Rasūlullāh s.a.w. dalam salah satu hadits telah bersabda:
“Aku diutus untuk menyempurnakan kemuliaan akhlāq.” (9811)
Shahabat Anas r.a. dalam hadits yang diriwayatkannya mengatakan: “Rasūlullāh s.a.w. adalah orang yang paling baik akhlāqnya.” (9912)
Bagi Rasūlullāh s.a.w., semua adab yang mulia tadi adalah seperti yang terdapat pula di dalam diri saudara-saudaranya, para Nabi. Mereka telah diciptakan mempunyai watak yang mulia itu, kemudian semakin mengakar di dalam diri mereka, dan sentuhan-sentuhan dari Allah s.w.t. yang datang secara beruntun membuat cahaya pengetahuan makin bersinar cemerlang di dalam hati mereka. Setelah itu, mereka dapat mencapai tujuan dan berhasil meraih derajat kenabian di dalam meng‘amalkan akhlāq yang mulia itu tanpa batas dan latihan.
Akhlāq yang terpuji dan watak yang indah ini cukup banyak, tetapi kami akan menyampaikan pokok-pokoknya saja dan mengisyāratkan keseluruhannya untuk merealisasikan penyifatan sosok Rasūlullāh s.a.w. yang mencakup kesemuanya itu seperti pembahasan berikut ini.
Adapun pokok cabangnya, unsur sumbernya, dan titik lingkarannya adalah akal. Dari akal muncullah ‘ilmu dan pengetahuan, dan dari akal serta pengetahuan lahirlah ketajaman pandangan, kepandaian yang cemerlang, ketepatan dalam berpikir, analisa yang tepat, dapat melihat akibat segala sesuatu dan kemaslahatan diri. ‘Ilmu dan pengetahuan itu dapat pula mendorong kemampuan pemiliknya dalam melawan hawa nafsunya, memiliki siasat dan pengaturan yang baik, dan sealu mencari keutamaan serta menjauhi kerendahan.
Dalam hal ini, Rasūlullāh s.a.w. telah mencapai kesempurnaan yang belum pernah dicapai oleh manusia lainnya. Hal tersebut dapat diketahui oleh orang yang mau menelusuri sejarah kehidupannya, hadits-hadits yang diucapkannya, akhlāq-akhlāq yang agung serta sifat-sifat yang terpuji, di samping berbagai cabang ‘ilmu yang menggunakan kata-kata Nabi s.a.w. sebagai teladan dan ḥujjah bagi orang-orang yang menekuninya.
Cabang-cabang ‘ilmu tersebut ialah ‘ilmu thabīb (medis), ‘ilmu ḥisāb (hitung/matematika), ‘ilmu farā’idh (pembagian warisan), ‘ilmu nasab (keturunan), dan lain-lain yang semuanya dapat dikuasai oleh Nabi s.a.w. tanpa melalui proses pendidikan, tanpa belajar, tanpa membaca kitab-kitab umat terdahulu, dan tanpa bergaul dengan para ‘ulamā’ mereka. Beliau adalah seorang Nabi yang ummī melapangkan dadanya dan menjelaskan hal-hal tersebut kepadanya serta mengajarkannya kepadanya.
Dengan keistimewaan akal Nabi s.a.w. maka pengetahuan beliau s.a.w. mencakup semua hal yang diajarkan oleh Allah s.w.t., dan Allah s.w.t. memperlihatkan kepada beliau pengetahuan pada hal yang telah terjadi dan yang akan terjadi, keajaiban-keajaiban kekuasaan Allah, serta kebesaran kerajaan-Nya. Allah s.w.t. berfirman:
“Dan Dia telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. Dan karunia Allah sangat besar atasmu.” (An-Nisā’: 113)
Adapun sifat al-ḥilm (kedewasaan), menguasai diri, pemaaf padahal mampu membalas, dan sabar dalam menghadapi semua hal yang tidak disukai, termasuk etika yang diajarkan oleh Allah s.w.t. kepada Nabi-Nya. Allah s.w.t. berfirman:
“Jadilah engkau pemaaf, dan suruhlah orang mengerjakan yang ma‘rūf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” (Al-A‘rāf: 199)
Kemudian Rasūlullāh s.a.w. bertanya kepada malaikat Jibrīl a.s. tentang pena’wīlan ayat di atas. Malaikat Jibrīl menjawab:
“Hai Muḥammad, sesungguhnya Allah memerintahkan kepadamu supaya kamu menyambung tali silaturahim kepada orang yang memutuskannya darimu, dan hendaknya kamu memberi kepada orang yang tidak memberi kepadamu, serta hendaknya engkau memaafkan orang yang telah berbuat aniaya kepada dirimu.” (10013)
Allah s.w.t. berfirman:
“Dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa dirimu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” (Luqmān: 17)
Allah s.w.t. juga berfirman:
“Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (An-Nūr: 22)
“Tetapi orang yang bersabar dan memaafkan sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan.” (Asy-Syūrā: 43)