Mengapuri Kuburan dan Membuat Bangunan di Atasnya – Jawaban Tuntas Beragam Masalah Aqidah Islam

JAWABAN TUNTAS
BERAGAM MASALAH AKIDAH ISLAM
(Judul Asli: AL-AJWIBAH AL-GHĀLIYAH
FĪ ‘AQĪDAH AL-FIRQAH AN-NĀJIYAH

Karya: Habib Zein Ibrahim Bin Sumaith

Terjemah: Muhammad Ahmad Vad‘aq
Penerbit: Mutiara Kafie

MENGAPURI KUBURAN DAN MEMBUAT BANGUNAN DI ATASNYA

Apa hukum mengapuri (mewarnai/mengecat) makam (maqām) dan membuat bangunan di atasnya?


Hukum mengapuri kuburan adalah makruh menurut kebanyakan ‘ulamā’.

Abū Ḥanīfah r.a. mengatakan hukumnya tidak makruh dan tidak ada dalil dalam syariat yang menyatakan itu dilarang. Mengenai hadits larangan mengapuri kuburan dan membuat bangunan di atasnya serta duduk di atasnya, mayoritas ‘ulamā’ sepakat bahwa larangan ini untuk antisipasi bukan sebagai pengharaman. Dengan demikian, hukumnya makruh dengan status makrūh tanzīh (makruh untuk antisipasi).

Sedangkan bangunan di atas kuburan, ‘ulamā’ telah merinci hukumnya sebagai berikut ini:

Jika itu di tanah milik sendiri atau milik orang lain tapi dengan idzinnya, hukumnya makruh bukan haram. Baik bangunan itu berupa kubah maupun yang lainnya.

Jika bangunan itu di pemakaman yang diwakafkan atau diperuntukkan di jalan Allah, bangunan tersebut dilarang. Alasan pelarangannya adalah untuk menghindari penimbunan dan penyempitan pemakaman, bukan (alasan) lainnya.

Benar, sebagian ‘ulamā’ memberi pengecualian pada kuburan orang-orang shalih dan ‘ulamā’ terkemuka kaum muslimin. Maka boleh membuat bangunan di atas kuburan mereka meskipun pemakaman tersebut sebagai sedekah di jalan Allah. Sebab ini akan menghidupkan ziarah kubur yang diperintahkan dalam syariat, untuk tabarruk, dan agar orang hidup dan orang mati dapat mengambil manfaat dari bacaan di dekatnya. Mereka berhujjah atas pengecaulian ini dengan pengamalan kaum muslimin baik salaf maupun khalaf. Ini merupakan hujjah bagi ‘ulamā’. Sebagaimana umat pun sepakat atas dibangunnya kubah hijau di atas kuburan Rasūlullāh s.a.w.

Apakah yang dilakukan orang-orang di banyak negeri berupa pengapuran makam hanyalah perbuatan yang tak ada artinya?


Mereka melakukan itu bukan hanya sebagai perbuatan yang tiada arti dan sekedar hiasan, tapi untuk tujuan-tujuan yang baik dan membawa kemaslahatan. Di antaranya:

  • Agar diketahui bahwa itu adalah kuburan. Dengan demikian, ziarah kubur pun akan semarak dan kuburan pun dihormati hingga tidak dinistakan.
  • Agar untuk mencegah penggalian oleh orang-orang sebelum sirna jasad si mayit, sebab itu dilarang dalam syariat.
  • Agar para kerabat dihimpun padanya sebagaimana dalam Sunnah. Dalam hadits dinyatakan bahwa Nabi s.a.w. meletakkan batu di atas kuburan ‘Utsmān bin Mazh‘ūn, dan bersabda:

أُعْلِمُ عَلَى قَبْرِ أَخِيْ لِأَدْفِنَ إِلَيْهِ مَنْ مَاتَ مِنْ أَقَارِبِيْ.

Aku memberi tanda pada kuburan saudaraku agar siapa yang mati di antara kerabatku dimakamkan padanya.” (11).

Apa makna hadits: “Allah melaknat kaum Yahudi dan Nashrani, mereka menjadikan kubur nabi-nabinya sebagai tempat ibadah.(22) ?


‘Ulamā’ menyebutkan bahwa makna hadits ini adalah sujud kepada kuburan dan shalat ke arah kuburan dengan maksud untuk mengagungkannya, sebagaimana dilakukan oleh kaum Yahudi dan Nasrani.

Ketika itu mereka sujud kepada kuburan para nabi mereka dan menjadikannya sebagai qiblat yang dituju dalam ibadah mereka sebagai pengagungan terhadapnya. Tentu ini perbuatan yang dilarang. Sesungguhnya yang dilarang adalah menyerupai mereka dalam hal ini. Yaitu dengan melakukan seperti yang mereka lakukan berupa sujud dan shalat ke arah kuburan dengan maksud untuk mengagungkannya.

Ini tidak dibenarkan sama sekali bagi seorang muslim dan tidak ada dalam ajaran agama Islam. Kaum muslimin yang mengerjakan shalat di seluruh dunia tidak menyembah kecuali kepada Allah s.w.t. Mereka tidak menjadikan kuburan sebagai masjid seperti tempat ibadah. Mereka tidak mengagungkan seorang pun seperti pengagungan kepada Allah s.w.t.

Dalam hadits shaḥīḥ yang diriwayatkan dari Sang Pemimpin umat manusia, Muḥammad s.a.w., beliau bersabda:

إِنَّ الشَّيْطَانَ قَدْ أَيِسَ أَنْ يَعْبُدَهُ الْمُصَلُّوْنَ، وَ لكِنْ فِي التَّحْرِيْشِ بَيْنَهُمْ.

Sesungguhnya syaithan telah putus asa untuk membuat orang-orang yang mengerjakan shalat menyembahnya, tetapi (syaithan tak putus asa) dalam mengobarkan gangguan di antara mereka.” (33).

Ini merupakan kabar gembira dari Rasūlullāh s.a.w. bahwa Allah telah menjaga orang-orang yang mengerjakan shalat dari penyembahan kepada selain Allah. Maka keadaannya (umat) sebagaimana yang disampaikan Rasūlullāh s.a.w. itu. Beliau memang tidak berbicara berdasarkan hawa-nafsu. Apa yang beliau sampaikan hanyalah wahyu yang diwahyukan.

Adapun membuat masjid di samping (kubur) orang shalih dengan tujuan tabarruk tanpa pengagungan, atau dalam shalatnya bertepatan di depannya ada kuburan namun tak dimaksudkan untuk menghadap ke arahnya, maka ini tidak termasuk yang diancam laknat-laknat yang disebutkan dalam hadits.

Terkait kisah para penghuni gua, Allah s.w.t. berfirman:

قَالَ الَّذِيْنَ غَلَبُوْا عَلَى أَمْرِهِمْ لَنَتَّخِذَنَّ عَلَيْهِمْ مَسْجِدًا.

Orang-orang yang berkuasa atas urusan mereka berkata: “Kami pasti akan mendirikan sebuah tempat ibadah di atasnya.” (QS. al-Kahfi: 21).

‘Ulamā’ tafsir menyebutkan bahwa orang-orang yang berkuasa atas urusan para penghuni gua adalah kaum mu’minin, dan Allah s.w.t. memberitahukan bahwa mereka mendirikan tempat ibadah di atas (tempat) para penghuni gua. Ini merupakan dalil atas pendirian masjid di atas kuburan orang-orang shalih.

Kaum muslimin sepakat atas perluasan Masjid Nabawi hingga kuburan Nabi s.a.w. dan dua sahabat beliau berada di tengah masjid. Dengan demikian, masjid mengelilingi mereka sementara orang-orang yang menunaikan ibadah shalat menghadap ke arahnya dalam shalat mereka.

Ini terjadi dengan sepengetahuan ‘ulamā’ dan para ahli fikih. Tak terdengar seorang pun di antara mereka yang melarangnya. Tidak pula mereka mengeluarkan fatwa yang mengharamkannya.

Maka pahamilah.

Apa hukum shalat di masjid yang di dalamnya ada makam (maqām) wali?


Itu tidak masalah dan tidak dilarang selama orang yang mengerjakan shalat tidak bermaksud menghadap ke arahnya dengan tujuan ibadah dan pengagungan.

Apa dalilnya?


‘Ulamā’ menyebutkan bahwa antara Ḥajar Aswad, Zamzam, dan Maqām terdapat sembilan puluh nabi yang dikubur, dan bahwasanya Nabiyullāh Ismā‘īl dan ibunya, Ḥajar, dikubur di Ḥijr. Seandainya shalat di masjid-masjid yang di dalamnya ada makam (maqām) itu dilarang, niscaya yang lebih layak untuk dilarang adalah shalat di Masjid Nabi s.a.w.

Bagaimana tidak, sedangkan Rasūlullāh s.a.w. bersabda:

مَا بَيْنَ قَبْرِيْ وَ مِنْبَرِيْ رَوْضَةٌ مِنْ رِيَاضِ الْجَنَّةِ.

Di antara kuburanku dan mimbarku terdapat taman dari taman-taman surga.” (44).

Nabi s.a.w. menganjurkan shalat di masjid beliau dan menetapkannya lebih utama dari seribu shalat di masjid yang lain.

Apakah masuk akal bila shalat di masjid-masjid lain yang di dalamnya terdapat makam (maqām) dilarang, kemudian Nabi s.a.w. menganjurkan shalat di masjid beliau?!

Apakah mungkin Masjid-ul-Ḥaram digali dan jasad para nabi yang dikubur di dalamnya dikeluarkan agar shalat di sana dinyatakan tidak batal?!

Berapa banyak orang yang shalat di tempat ini, di samping bahwa Allah s.w.t. menetapkan shalat di dalamnya setara dengan seratus ribu shalat di masjid-masjid yang lain?!

Pahamilah ini.

Catatan:

  1. 1). Disampaikan oleh Abū Dāwūd (3206) dan Ibnu Mājah (1561) secara ringkas.
  2. 2). Disampaikan oleh al-Bukhārī (425) dan Muslim (529); dari hadits Sayyidah ‘Ā’isyah r.a.
  3. 3). Takhrīj-nya telah disebutkan.
  4. 4). Disampaikan oleh Aḥmad (11185) dari hadits Abū Sa‘īd al-Khudrī dan an-Nasā’ī dalam al-Kubrā (4289) dari hadits Ummu Salamah r.a., Hadits ini dalam ash-Shaḥīḥain dengan lafal: “Rumahku”, sebagai ganti kata: “Kuburanku.” Menurut penjelasan al-Bukhārī dalam Bab Keutamaan antara Kuburan dan Mimbar, maknanya sama.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *