Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī berkata:
وَ جَائِزٌ عَلَيْهِ خَلْقُ الشَّرِّ | وَ الْخَيْرِ كالْإِسْلَامْ وَ جَهْل ِالْكُفْرِ. |
“Dan jā’iz bagi Allah s.w.t. menciptakan kejelekan dan kebaikan seperti Islam dan kejahilan yakni kekafiran.”
Lafazh (جَائِزٌ) merupakan khabar muqaddam, sedang lafazh (خَلْقُ الشَّرِّ) menjadi mubtada’ mu’akhkhar.
Arti bait ini adalah Allah boleh menjadikan seseorang kufur ataupun beriman, taat ataupun bermaksiat. Ini adalah pendapat ‘ulamā’ Ahl-us-Sunnah wal-Jamā‘ah.
Menurut ‘ulamā’ Ahl-us-Sunnah wal-Jamā‘ah, Allah boleh menjadikan seseorang kufur ataupun beriman, taat ataupun bermaksiat. Ini merupakan penjabaran dari nazham sebelumnya, yakni:
فَخَالِقٌ لِعَبْدِهِ وَ مَا عَمِلْ | مُوَفِّقٌ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يَصِلْ. |
“Maka Allah-lah yang menciptakan hamba-Nya dan apa-apa yang dia perbuat, serta memberikan taufiq kepada siapapun yang Dia kehendai untuk sampai (kepada ridha-Nya).”
Hal ini berbeda dengan pendapat Mu‘tazilah yang mengatakan bahwa Allah tidak mungkin berbuat jelek. Dalam pandangan mereka, baik adalah sesuatu yang baik menurut akal dan jelek adalah sesuatu yang jelek menurut akal manusia. Menyiksa sesuatu yang diciptakan adalah zhalim menurut mereka, sedangkan Allah mustahil berbuat zhalim. Oleh karena itu, mustahil bagi Allah berbuat jelek pada hamba-Nya. Inilah pokok keyakinan madzhab Mu‘tazilah yang sesat dan melenceng dari ajaran yang benar.
Dalam kepercayaan orang Mu‘tazilah, baik adalah hal yang baik menurut akal, dan jelek adalah hal yang jelek menurut akal. Bagi mereka, menyiksa sesuatu yang diciptakan sendiri itu zhalim, sedangkan mustahil Allah melakukan hal yang zhalim. Maka, mustahil bagi Allah berbuat kejelekan. Sebagaimana kepercayaan orang Mu‘tazilah yang sesat dari jalan kebenaran.
Suatu ketika Iblīs mendatangi Imām asy-Syāfi‘ī r.a. Iblīs berkata: “Wahai Imām, seseorang menciptakan aku atas kehendaknya sendiri, mengarahkan dan menjalankan aku sesuai dengan apa yang dia kehendaki, setelah itu, dia akan memasukkan aku ke surga atau neraka sesuai kehendaknya. Tindakan seperti ini dinamakan ‘ādil, zhālim, atau jā’iz?”
Imām asy-Syāfi‘ī berpikir sejenak, beliau mendapat ilham untuk menjawab pertanyaan Iblīs. Beliau berkata: “Wahai Iblīs, apabila wujud dan keberadaanmu atas kehendakmu sendiri, maka orang yang melakukan hal tersebut padamu dihukumi zhalim, tapi jika wujud dan keberadaanmu atas kehendak orang yang melakukan itu padamu, maka:
لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَ هُمْ يُسْأَلُوْنَ.
“Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanyai.” (QS. al-Anbiyā’ [21]: 23).
Iblīs terdiam, tak bisa berargumentasi lagi, kemudian dia berkata: “Demi Allah, wahai Imām, dengan pertanyaan ini, aku telah menyesatkan 70.000 ahli ibadah, mereka keluar dari ritual ibadah dan menjadi kafir zindiq.”