Tiada perbedaan di antara ‘ulamā’ dalam anjuran talqīn pada orang yang menghadapi kematian, yaitu dengan menuntunnya agar mengucapkan (لَا إلهَ إلَّا اللهُ.), berdasarkan hadits shaḥīḥ:
لَقِّنُوْا مَوْتَاكُمْ: لَا إلهَ إلَّا اللهُ.
“Talqīnkan orang yang menghadapi kematian di antara kalian (dengan kalimat): “Lā ilāha illallāh – Tidak ada tuhan selain Allah.” (11).
Adapun menalqīn mayit setelah dimaqamkan, ‘ulamā’ Madzhab Syāfi‘ī, kebanyakan penganut Madzhab Ḥanbalī, serta sebagian penganut Madzhab Ḥanafī dan Mālikī menganjurkannya, berdasarkan hadits marfū‘ dari Abū Umāmah r.a.:
إِذَا مَاتَ أَحَدٌ مِنْ إِخْوَانِكُمْ، فَسَوَّيْتُمْ عَلَيْهِ التَّرَابَ فَلْيَقُمْ أَحَدُكُمْ عَلَى رَأْسِ الْقَبْرِ ثُمَّ لَيَقُلْ: يَا فُلَانَ ابْنَ فُلَانَةٍ، فَإِنَّهُ يَسْتَوِي قَاعِدًا، ثُمَّ يَقُوْلُ: يَا فُلَانَ ابْنَ فُلَانَةٍ، فَإِنَّهُ يَقُوْلُ: أَرْشِدْنَا رَحِمَكَ اللهُ، فَلْيَقُلْ: اُذْكُرْ مَا خَرَجْتَ عَلَيْهِ مِنَ الدُّنْيَا مِنَ الشَّهَادَةِ؛ أَنْ لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَ رَسُوْلُهُ، وَ إِنَّكَ رَضِيْتَ بِاللهِ رَبًّا وَ بِالْإِسْلَامِ دِيْنًا وَ بِمُحَمَّدٍ (ص) نَبِيًّا وَ بِالْقُرْآنِ إِمَامًا، فَإِنَّ مُنْكَرًا وَ نَكِيْرًا يَأْخُذُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِيَدِ صَاحِبِهِ وَ يَقُوْلُ: انْطَلِقْ بِنَا، مَا نَقْعُدُ عِنْدَ مَنْ لُقِّنَ حُجَّتَهُ، فَيَكُوْنُ اللهُ حَجِيْجَهُ دُوْنَهُمَا.
“Jika salah seorang di antara saudara-saudara kalian meninggal dunia, lantas kalian sudah meratakan tanah padanya, hendaknya salah seorang di antara kalian berdiri di sisi kepala kuburan, lalu mengatakan: “Hai Fulān bin Fulānah.”
Sesungguhnya ia mendengar tapi tak menjawab.
Lalu mengatakan: “Hai Fulān bin Fulānah.”
Sesungguhnya ia pun duduk dengan tegap.
Lalu mengatakan: “Hai Fulān bin Fulānah.”
Sesungguhnya ia berkata: “Bimbinglah kami, semoga Allah merahmatimu.
Hendaknya ia mengatakan: “Sebutlah kesaksian yang kamu bawa saat keluar dari dunia. Bahwa, tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muḥammad adalah hamba dan utusan-Nya. Sesungguhnya kamu ridha Allah sebagai Tuhanmu, Islam sebagai agamamu, Muḥammad s.a.w. sebagai nabimu, dan al-Qur’ān sebagai imammu.”
Sesungguhnya masing-masing Mungkar dan Nakir meraih tangan rekannya satu sama lain dan berkata: “Mari kita bergegas pergi. Kita tidak duduk pada orang yang hujjahnya sudah ditalqīn.” Maka Allah menjadi pembelanya dalam menghadapi keduanya.
Seseorang berkata: “Ya Rasūlullāh, jika ibunya tak diketahui?”
Beliau bersabda: “Nasabnya dinisbahkan kepada Ḥawwā’.” (22).
Hadits ini meskipun dha‘īf namun boleh diamalkan terkait perkara seperti ini, karena termasuk dalam amal-amal yang memiliki keutamaan, juga penyadaran bagi orang yang beriman. Dan si mayit pun menyukainya berdasarkan firman Allah s.w.t.:
وَ ذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَ تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِيْنَ.
“Dan berilah peringatan, sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. adz-Dzāriyāt: 55).
Pada saat menghadapi kematian seperti ini, sesungguhnya seorang hamba sangat membutuhkan peringatan.
Dalam kitabnya: Al-Fatāwā, Ibnu Taimiyyah menyatakan bahwa talqīn tersebut diriwayatkan dari sejumlah sahabat dan bahwasanya mereka memerintahkannya. Di antaranya, Abū Umāmah r.a.
Kemudian Ibnu Taimiyyah mengatakan: “Dalam riwayat dinyatakan bahwa orang yang dikubur ditanya dan diuji serta diperintahkan agar didoakan. Maka dari itu dikatakan: “Talqīn berguna baginya, karena mayit mendengar seruan”, sebagaimana dinyatakan dalam riwayat bahwa Nabi s.a.w. bersabda:
إِنَّهُ لَيَسْمَعُ قَرْعَ نِعَالِكَمْ.
“Sesungguhnya dia mendengar bunyi sandal kalian.” (33).
Dan sabda beliau:
مَا أَنْتُمْ بِأَسْمَعَ لِمَا أَقُوْلُ مِنْهُمْ…..
“Kalian tidak lebih mendengar apa yang aku katakan dari pada mereka…..” (44).
Demikian penjelasan Ibnu Taimiyyah dengan penyuntingan seperlunya. (55).