Memperlakukan Ahli Maksiat – Tutur Penerang Hati – Ibn ‘Atha’illah

Terapi Ma‘rifat
 
Tutur Penerang Hati

Oleh: Ibnu ‘Athā’illāh as-Sakandarī
Judul Asli: Bahjat-un-Nufūs
 
 
Penerjemah: Fauzi Faishal Bahreisy
Penerbit: Zaman

14

Memperlakukan Ahli Maksiat

 

Engkau sering kali memperlakukan orang-orang masa kini dengan perlakuan yang salah. Entah dengan bermuka manis, memberi hormat, memberi senyuman, memuji mereka di berbagai forum, memberi mereka aneka gelar kehormatan, dan bersahabat dengan mereka karena menginginkan harta mereka atau karena takut terhadap murka mereka. Padahal, Allah melarang kita melakukan itu semua. Allah berfirman: “Engkau tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasūl-Nya, walaupun orang-orang itu adalah bapak-bapak, anak-anak, atau saudara-saudara, ataupun keluarga mereka sendiri. Mereka itulah orang yang Allah tanamkan iman dalam qalbu mereka, dan Allah perkuat mereka dengan rūḥ dari-Nya. Allah akan memasukkan mereka ke dalam surga yang di bawahnya mengalir beberapa sungai. Mereka akan kekal di dalamnya. Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah. Mereka itulah golongan Allah. Ingatlah bahwa golongan Allah itulah yang beruntung.” (al-Mujādilah [58]: 22).

Memperlakukan pelaku maksiat dengan cara tersebut akan membuat mereka terus-menerus melakukan kesalahan dan penyimpangan, serta banyak melanggar rambu-rambu Allah. Allah menyuruh kita untuk memutuskan hubungan dengan mereka dan tidak condong pada mereka. Allah berfirman: “Janganlah kalian cenderung pada orang-orang zhalim yang akan menyebabkan kalian tersentuh api neraka, dan tidak akan ada yang akan melindungi kalian dari siksa selain Allah, kemudian kalian pun tidak akan diberi pertolongan.” (Hūd [11]: 113).

Seandainya manusia bermuka masam pada para pelaku maksiat dan memperlakukan mereka secara hina, menginggalkan majelis mereka, lebih mengutamakan orang yang taat beragama dan wara‘, berteman dengan orang-orang shāliḥ, meneladani mereka, menghormati mereka karena Allah, memilih mereka ketimbang hamba dunia, serta mengenali kedudukan mereka, tindakan itu bisa membuat mereka menjauhkan diri dari maksiat.

Allah telah menyuruh kita untuk berusaha bersahabat dengan orang-orang pilihan yang bersih dan duduk bersama para ahli wara‘ dan makrifat. Allah berfirman: “Sabarlah dirimu bersama orang-orang yang menyeru Tuhannya di waktu pagi dan petang dengan mengharap ridha-Nya. Janganlah engkau memalingkan muka dari mereka karena menginginkan perhiasan kehidupan dunia ini, dan janganlah mematuhi orang yang Kami lalaikan qalbunya dari peringatang Kami dan mengikuti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (al-Kahf [18]: 28).

Apabila engkau menyaksikan anakmu melakukan maksiat, enggan menaati Tuhan, serta bermalas-malasan dalam beribadah, didiklah sesuai agama. Tak usah pula mengusirnya dari rumah. Tapi, hadapi saja dengan muka masam dan sikap tidak senang. Jelaskan dampak-dampak buruk dan akibat dosa. Terangkanlah apa saja manfaat taat beserta kegunaannya di dunia maupun di akhirat. Sehingga anakmu itupun menjadi insaf dan sadar, serta mengetahui perbedaan antara taat dan maksiat. Dengan begitu ia akan berhenti sendiri dari maksiat karena benci padanya dan sebaliknya dengan tulus ia melakukan ‘amal ketaatan. Allah berfirman: “Berpalinglah dari mereka dan nasihatilah, serta katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka.” (an-Nisā’ [4]: 63).

Ketahuilah, apabila seorang mu’min melakukan maksiat yang paling berpeluang muncul dari dirinya adalah rasa ragu dan bimbang. Kemudian orang-orang merespon tindakan tersebut dengan membuka aibnya atau mengejeknya. Kalau ini yang mereka lakukan jelas merupakan kesalahan besar. Sebab, ketika seorang mu’min melakukan maksiat ia benar-benar sedang berada dalam situasi kritis seperti orang yang tenggelam dibawa air. Sesungguhnya ia ingin keluar dari situasi tersebut dan ingin selamat. Manakala orang datang menolongnya, ia pun akan patuh dan taat pada orang tersebut. Cara untuk menolong dan menyelamatkannya adalah dengan memperlakukannya seperti perlakuanmu terhadap anakmu ketika ia bermaksiat. Secara lahiriah engkau bermuka masam padanya, tetapi di dalam hati engkau sangat mengasihinya. Karena itu, engkau menasihati tanpa menyebarluaskan aibnya, tetapi lewat penjelasan dan perumpamaan. Engkau suruh ia untuk memohon ampunan dan bertobat kepada Allah seraya dibimbing menuju jalan keselamatan dengan cara yang bijak dan nasihat yang baik. Allah berfirman: “Ajaklah ke jalan Tuhanmu dengan cara bijaksana dan nasihat yang baik, serta bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.” (an-Naḥl [16]: 125).

Ketahuilah, sebagaimana engkau diminta untuk meninggalkan maksiat engkau juga diminta untuk menjauhkan diri dari pelaku maksiat. Engkau tidak boleh bermuka manis dan bercengkerama dengannya. Tetapi, hendaknya engkau berdoa agar ia mendapat petunjuk. Jangan sekali-kali engkau merusak kehormatan dan menyebarluaskan aibnya. Serta, jangan pula mencacinya di berbagai forum. Bisa jadi, shalat, puasa, haji, dan ibadahmu takkan bermanfaat kalau engkau masih merusak kehormatan saudara sesama Muslim.

Rasūlullāh s.a.w. saja sering memintakan ampunan untuk para pelaku maksiat dan pelaku kesalahan ketika mereka datang kepada beliau. Allah berfirman: “Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya diri sendiri datang kepadamu, lalu memohon ampunan kepada Allah, dan Rasūl-pun memohonkan ampunan untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima tobat dan Maha Penyayang.” (an-Nisā’ [4]: 64).

Seandainya mereka mengetahui berbagai kenikmatan yang telah Allah sediakan untuk para calon penghuni surga, mereka takkan meninggalkan ibadah sedikitpun. Jangan sampai terbetik dalam hatimu bahwa peluang untuk memperoleh kebaikan sudah habis. Karena, yang kita inginkan bukanlah orang yang telah putus asa dari rahmat dan ampunan Allah. Dalam kitab suci Zabūr yang turun kepada Nabi Dāwūd disebutkan: “Aku (Allah) paling kasih kepada hamba-Ku saat ia berpaling dari-Ku.” Bisa jadi orang yang taat menjadi binasa karena perasaan ‘ujubnya. Dan bisa pula orang yang berdosa diampuni setelah qalbunya menyesal. Allah berfirman: “Rahmat-Ku meliputi segala sesuatu.” (al-A‘rāf [7]: 156).

 

Sebagaimana engkau diminta untuk meninggalkan maksiat engkau juga diminta untuk menjauhkan diri dari pelaku maksiat. Engkau tidak boleh bermuka manis dan bercengkerama dengannya. Tetapi, hendaknya engkau berdoa agar ia mendapat petunjuk. Jangan sekali-kali engkau merusak kehormatan dan menyebarluaskan aibnya. Serta, jangan pula mencacinya di berbagai forum.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *