MEMOHON PERTOLONGAN (ISTIGHĀTSAH)
Apa makna memohon pertolongan?
Memohon pertolongan adalah permohonan seorang hamba pada pertolongan dan bantuan dari pihak yang dapat menolong dan membelanya di saat mengalami kesulitan atau semacamnya.
Apakah boleh memohon pertolongan dari selain Allah?
Ya, boleh memohon pertolongan dari selain Allah s.w.t. dengan pertimbangan bahwa makhluk yang dimintai pertolongan adalah sebab dan perantara, karena meskipun sesungguhnya pertolongan itu dari Allah s.w.t., namun tidak menafikan bahwa Allah s.w.t. menetapkan sebab-sebab dan perantara-perantara yang disediakan-Nya bagi pertolongan tersebut.
Dalilnya adalah sabda Rasūlullāh s.a.w.:
اللهُ فِيْ عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِيْ عَوْنِ أَخِيْهِ.
“Allah senantiasa menolong hamba selama hamba menolong saudaranya.” (11).
Dan sabda Rasūlullāh s.a.w. terkait hak-hak jalan:
وَ أَنْ تُغِيْثُوا الْمَلْهُوْفَ وَ تَهْدُوا الضَّالَّ.
“…. dan menolong orang yang membutuhkan pertolongan serta memberi petunjuk kepada orang yang tersesat.” (22).
Allah menisbatkan dan mengaitkan pertolongan kepada hamba dan menganjurkan manusia agar saling tolong-menolong. Dengan demikian, orang yang meminta pertolongan kepada selain Allah tak sedang meminta darinya agar menciptakan sesuatu. Yang ia maksudkan, berdoa kepada Allah bagi peminta pertolongan agar dibebaskan dari kesulitan misalnya.
Apa dalil atas disyarī‘atkan pemohonan pertolongan?
Dalil-dalilnya cukup banyak, di antaranya adalah yang disebutkan dalam hadits Nabi yang mulia:
إِنَّ الشَّمْسَ تَدْنُوْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يَبْلُغَ الْعَرَقُ نِصْفَ الْأُذُنِ، فَبَيْنَمَا هُمْ كذَلِكَ اسْتَغَاثُوْا بِآدَمَ، ثُمَّ بِمُحَمَّدِ (ص)….
“Sesungguhnya pada Hari Kiamat matahari mendekat hingga membuat keringat sampai setengah telinga. Ketika dalam seperti itu, mereka meminta pertolongan kepada Ādam, kemudian kepada Mūsā, kemudian kepada Muḥammad s.a.w.” (33) Seluruh manusia yang dihimpun saat itu sepakat terhadap dibolehkannya meminta pertolongan kepada para nabi a.s. Yaitu melalui ilham dari Allah s.w.t. kepada mereka. Hadits ini mengandung dalil yang sangat jelas terkait penetapan permohonan pertolongan kepada selain Allah.
Dalil lainnya adalah sabda Rasūlullāh s.a.w.:
إِذَا ضَلَّ أَحَدُكُمْ – أَيْ عَنِ الطَّرِيْقِ – أَوْ أَرَادَ عَوْنًا وَ هُوَ بِأَرْضٍ لَيْسَ فِيْهَا أَنِيْسٌ، فَلْيَقُلْ: يَا عِبَادَ اللهِ، أَغِيْثُوْنِيْ.
“Jika salah seorang di antara kalian tersesat, maksudnya tersesat jalan, atau menghendaki pertolongan sementara ia berada di daerah yang tak ada orang yang membuatnya merasa aman, hendaknya ia berkata: “(يَا عِبَادَ اللهِ، أَغِيْثُوْنِيْ) – Hai hamba-hamba Allah, tolonglah aku”.”
Pada riwayat lain, “(أَعِيْنُوْنِيْ) – Bantulah aku.” Sesungguhnya Allah memiliki hamba-hamba yang tidak kalian lihat.” (44).
Hadits ini dengan tegas membolehkan adanya permohonan pertolongan dan menyeru makhluk-makhluk yang tidak ada di tempat baik yang masih hidup maupun yang sudah mati. Allah lebih mengetahui.
Dalam karyanya Khulāshat-ul-Kalām, Sayyid Imām Aḥmad bin Zaini Dahlān raḥimahullāh mengatakan: “Kesimpulannya adalah bahwa Madzhab Ahl-us-Sunnah wal-Jamā‘ah membolehkan pertolongan kepada orang-orang yang masih hidup dan yang sudah mati. Karena kita meyakini tidak ada pengaruh, manfaat, dan bahaya kecuali dalam kewenangan mutlak Allah semata tanpa ada sekutu bagi-Nya. Para nabi tidak punya pengaruh sesuatu pun. Mereka hanya sebagai perantara tabarruk dan permohonan pertolongn lantaran kedudukan mereka. Karena mereka adalah kekasih-kekasih Allah s.w.t.
Kalangan yang membedakan antara yang hidup dan yang mati adalah orang-orang yang meyakini adanya pengaruh pada orang hidup bukan pada orang mati.
Sedangkan kami mengatakan:
اللهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ.
“Allah Pencipta segala sesuatu.” (QS. az-Zumar: 62).
Dalam ayat lain Allah berfirman:
وَ اللهُ خَلَقَكُمْ وَ مَا تَعْمَلُوْنَ.
“Dan Allah-lah yang menciptakan kalian dan ‘amal perbuatan kalian.” (QS. ash-Shāffāt: 96).
Apa makna hadits: “Jika kamu meminta, mintalah kepada Allah. Jika kamu memohon pertolongan, mohonlah kepada Allah?” (55).
Hadits ini menunjukkan bahwa pemenuhan berbagai keperluan dan pertolongan pada hakikatnya dari Allah. Namun Allah lumrah menolong hamba-Nya baik dengan perantara maupun tanpa perantara. Maka diperbolehkan meminta dan memohon pertolongan kepada selain Allah, dalam arti memohon pertolongan dari-Nya dengan jalan mencari sebab dari (datangnya) pertolongan Allah s.w.t. (Permintaan tolong ini) disertai keyakinan bahwa pada hakikatnya yang memberi adalah Allah s.w.t., bukan yang lain.
Jadi hadits ini tidak dapat dijadikan dasar adanya larangan memohon pertolongan kepada selain Allah. Jika kita memaknai hadits ini dengan pemaknaan bahwa permohonan pertolongan tidak diperkenankan kecuali kepada Allah, maka kita menentang al-Qur’ān dan Sunnah. Sebab Allah menisbahkan pertolongan pada selain-Nya. Dia pun menganjurkan manusia agar saling tolong-menolong di antara mereka.
Allah s.w.t. berfirman:
وَ تَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَ التَّقْوَى، وَ لَا تَعَاوَنُوْا عَلَى الْإِثْمِ وَ الْعُدْوَانِ.
“Dan hendaknya kalian saling tolong-menolong dalam kebajikan dan ketaqwaan, dan jangan saling tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan.” (QS. al-Mā’idah: 2).
juga hadits-hadits lain yang telah disebutkan sebelum ini.
Apa hukum menyeru/memanggil kepada selain Allah?
Seruan/panggilan kepada selain Allah dibolehkan, baik yang diseru/dipanggil itu hidup maupun mati, agar yang diseru mengajukan dari kepada Allah pada urusan penyeru. Ini sesuai dengan yang disepakati ulama dan para imam terkemuka.
Tak seorang pun (dari mereka) yang menyatakan hukumnya makruh, terlebih lagi (sampai menyatakan) syirik dan haram.
Apakah seruan/panggilan ini sebagai ibadah?
Ulama raḥimahumullāh mengatakan bahwa seruan/panggilan bukan sebagai ibadah. Kecuali, jika yang menyeru/memanggil meyakini bahwa yang diseru/dipanggil memiliki kewenangan mutlak terhadap manfaat dan bahaya, atau kehendaknya pasti terlaksana tanpa kekuasaan Allah s.w.t. Maka ini syirik. Sebab keyakinannya itu merupakan salah satu dari keistimewaan-keistimewaan khusus yang ada pada sifat ketuhanan. Adapun jika ia tidak meyakini yang sedemikian itu, maka itu sama sekali bukan merupakan ibadah.
Seandainya manusia menyeru kepada pemimpinnya agar menolongnya dalam menghadapi pihak yang bertindak sewenang-wenang, atau agar membantunya dalam menghadapi kesulitan seraya meyakini bahwa yang diseru tak punya kewenangan mutlak untuk mendatangkan manfaat atau menghindarkan bahaya, tetapi Allah menetapkannya sebagai sebab yang berlaku dalam kebiasaan yang dapat memenuhi kehendaknya melalui tindakannya, maka ini bukan merupakan ibadah kepadanya.
Seandainya setiap seruan adalah ibadah, niscaya seruan kepada orang yang hidup dan yang mati pun dilarang lantaran keduanya sama-sama tidak memiliki pengaruh tanpa ketetapan dari Allah, dan ini bukan merupakan pendapat yang dianut oleh seorang pun di antara kaum muslimin.
Ath-Thabarī menukil dalam karyanya at-Tārīkh (66) bahwa para sahabat r.a. memiliki semboyan pada saat memerangi kaum murtad dalam Perang Yamāmah:
يَا مُحَمَّدَاه
“Wahai Muḥammad!”
Ini terjadi setelah Rasūlullāh s.a.w. wafat pada masa pemerintahan Abū Bakar ash-Shiddīq r.a.
Dinyatakan pada riwayat, bahwa Ibnu ‘Abbās dan Ibnu ‘Umar r.a. mengatakan: “Jika kaki salah seorang di antara kalian mengalami kesemutan (mati rasa), hendaknya ia menyeru:
يَا مُحَمَّد
“Wahai Muḥammad!”
Ini disebutkan Ibnu Taimiyyah dalam al-Kalim-uth-Thayyib. (77).
Diriwayatkan, ketika ‘Abdullāh bin ‘Umar r.a. mengalami kesemutan pada kakinya, dikatakan kepadanya: “Ingatlah orang yang paling kamu cintai, maka deritamu akan hilang.”
Ia pun berteriak:
يَا مُحَمَّدَاه
“Wahai Muḥammad!”
Ini disebutkan oleh al-Qādhī ‘Iyādh dalam asy-Syifā’. (88).
Apa hukum seruan kepada para wali yang umum dilakukan orang-orang agar hajat mereka terpenuhi?
Orang-orang yang meminta agar keperluan-keperluan mereka terpenuhi kepada para wali yang sudah mati, mereka tidak meminta dari para wali tersebut kecuali apa yang mampu mereka lakukan, karena nabi atau wali mampu mengucapkan:
يَا رَبِّ اقْضِ حَاجَةَ فُلَانٍ
“Ya Tuhanku, penuhilah keperluan Fulan.”
karena ruhnya berada di hadirat Allah, dan mampu mengajukan kepada Allah s.w.t. agar memenuhi keperluan-keperluan mereka yang bertawassul dengannya.
Sesungguhnya jika manusia mati, yang sirna hanyalah jasadnya. Ruhnya tetap ada dan tidak sirna. Ruhnya itulah yang berbicara dan mendengar serta melihat dalam kehidupannya.
Betapa banyak ruh para wali yang memiliki keadaan-keadaan yang memiliki pengaruh, dengan idzin Allah s.w.t., setelah mereka meninggal dunia dan beralih ke alam Barzakh mereka. Sesungguhnya mereka hidup di sisi Tuhan mereka dengan mendapat rezeki dalam kehidupan alam Barzakh yang lebih utuh dan lebih sempurna dari pada kehidupan orang-orang yang mati syahid.
Catatan:
- 1). Disampaikan oleh Muslim (2699).
- 2). Disampaikan oleh Abū Dāwūd (4817).
- 3). Disampaikan oleh al-Bukhārī (1405).
- 4). HR. ath-Thabrānī dalam al-Kabīr (17: 117) dari hadits ‘Utbah bin Ghazwān r.a.
- 5). Disampaikan oleh at-Tirmidzī (2516) dan ia berkata: “Ini hadits ḥasan shaḥīḥ.”
- 6). Tārīkh-uth-Thabarī (2: 281). Ibnu Katsīr menyebutkannya dalam al-Bidāyatu wan-Nihāyah (6: 324).
- 7). Al-Kalim-uth-Thayyib hlm. 101. Dan disebutkan oleh Ibnu Qayyim dalam al-Wābil-ush-Shayb hlm. 204.
- 8). Asy-Syifā’ (2: 23) dalam bahasan tentang riwayat dari para imam terdahulu dalam kecintaan dan kerinduan mereka kepada Nabi s.a.w.