Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī berkata:
وَ عِنْدَنَا الشَّيْءُ هُوَ الْمَوْجُوْدُ | وَ ثَابِتٌ فِي الْخَارِجِ الْمَوْجُوْدُ. |
وُجُوْدُ شَيْءٍ عَيْنُهُ وَ الْجَوْهَرُ | الْفَرْدُ حَادِثْ عِنْدَنَا لَا يُنْكَرُ. |
“Menurut kami, sesuatu adalah maujūd. Maujūd adalah sesuatu yang ditetapkan di luar.”
“Wujud sesuatu adalah dzātnya dan jauhar fardi adalah baru, menurut kami keberadaannya tidak diingkari.”
Menurut kami, Ahl-us-Sunnah wal-Jamā‘ah, yang dinamakan Syai’ (sesuatu) adalah maujūd. Maujūd adalah sesuatu yang bisa dilihat oleh mata kepala. Wujudnya syai’ (2271) adalah ‘ainu syai’. Demikian menurut Imām al-Asy‘arī.
Menurut kami, Ahl-us-Sunnah wal-Jamā‘ah, Jauhar-ul-fard (2282) adalah sesuatu yang baru, kami tidak mengingkari keberadaan dan ketetapannya.
Syai’ adalah sesuatu yang maujūd. Maujūd adalah sesuatu yang ada serta bisa diindera. Sesuatu yang bisa dibuktikan keberadaan dzātnya dinamakan syai’, dan sesuatu yang bisa dilihat dzātnya dinamakan maujūd. Dari sini bisa disimpulkan bahwa syai’ dan maujūd adalah sama, tidak ada perbedaan di antara keduanya, maka wujūdnya syai’ adalah ‘ainu syai’. Hal ini menurut pendapat Imām al-Asy‘arī. (2293).
Sedangkan menurut Imām al-Māturīdī, wujūdnya syai’ bukanlah ‘ainu syai’, bukan pula hakikat syai’. Sebagaimana telah dijelaskan dalam pembahasan sifat wujūd.
Tujuan Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī memaparkan masalah ini adalah untuk menolak keyakinan golongan Sufastha’iyyah yang mengingkari wujūd dan hakikat syai’. Mereka meyakini bahwa keberadaan syai’ hanyalah khayalan saja, pada hakikatnya syai’ tidak ada, seperti sesuatu dalam sulap (magic). (2304).
(2315) Ijma‘ ‘ulamā’ Ahl-us-Sunnah wal-Jamā‘ah menyatakan bahwa jauhar-ul-fard merupakan sesuatu yang baru. Jauhar-ul-fard adalah bagian yang tidak bisa dibagi dan dipisah-pisah sama sekali. Jauhar-ul-fard disebut baru karena ia didahului oleh ‘adam (ketiadaan). Sesuatu yang baru pasti didahului oleh ‘adam (ketiadaan). Hal ini menurut pendapat seluruh orang Islam. (2326).
Para filsuf menyatakan bahwa semua jisim terbentuk dari susunan bahan dasar, seperti tanah liat bagi kendi (tempat air yang terbuat dari tanah liat) atau kapas bagi kain. Jisim yang tersusun dari bahan dasar dan bentuk disebut jauhar yang merasuki benda lainnya, sebagaimana kendi yang merasuki tanah liat dan kain yang yang merasuki kapas. Inilah pendapat filsuf. Adapun menurut kita, Ahl-us-Sunnah wal-Jamā‘ah, yang demikian itu disebut ‘aradh (sifat) bukan jauhar. (2337)
Maksud perkataan Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī (عِنْدَنَا لَا يُنْكَرُ.) adalah kami (Ahl-us-Sunnah wal-Jamā‘ah) tidak mengingkari wujūdnya jauhar-ul-fard, karena Allah s.w.t. Maha Kuasa memisah-misah jisim. Berbeda dengan filsuf yang mengingkari wujūdnya jauhar-ul-fard, sehingga mereka beranggapan tentang qadīm-nya alam semesta. Pahamilah masalah ini wahai kaum Muslimin. (2348).