Bab 5:
Semenjak kecil orang mengenang Muḥammad s.a.w. sebagai anak yang berakhlak mulia, manis budi bahasanya, jujur, penyabar, senang membantu orang yang dalam kesusahan dan senantiasa menjauhkan diri dari perbuatan yang tidak baik.
Pertumbuhan Rasūlullāh s.a.w. selalu dalam naungan penjagaan Allah s.w.t. dari perbuatan-perbuatan buruk jāhiliyyah, hal itu dikarenakan kemuliaan yang Allah telah inginkan kepadanya, hingga Muḥammad s.a.w. dikenal sebagai orang yang paling baik budi pekertinya, sampai-sampai kaumnya menjuluki Muḥammad s.a.w. dengan panggilan “AL-AMIN”, disebabkan banyaknya hal-hal baik yang Allah s.w.t. berikan kepada Muḥammad s.a.w.
Dan salah satu dari penjagaan yang Allah s.w.t. berikan kepadanya sebagaimana diriwayatkan oleh Imām adz-Dzahabī dari Sayyidinā ‘Alī ibn Abī Thālib r.a., bahwa Rasūlullāh s.a.w. pernah bersabda:
“Aku tidak pernah tertarik oleh perbuatan yang lazim dilakukan orang-orang jahiliyyah kecuali dua kali. Namun dua kali itu Allah menjaga dan melindungi diriku. Ketika aku masih bekerja sebagai penggembala kambing bersama kawan-kawanku, pada suatu malam kukatakan kepada seseorang dari mereka: “Awasilah kambing gembalaanku ini, aku hendak masuk ke kota (Makkah) untuk bergadang seperti yang biasa dilakukan oleh kaum pemuda.” Setibaku di Makkah aku dengar bunyi rebana dan seruling dari sebuah rumah yang mengadakan pesta. Ketika aku tanyakan kepada seseorang di dekat rumah itu, ia menjawab bahwa itu pesta perkawinan si Fulan dengan si Fulanah. Aku lalu duduk hendak mendengarkan, tetapi kemudian Allah membuatku tertidur hingga tidak mendengar apa-apa. Dan aku baru terbangun dari setelah disengat panas matahari. Peristiwa ini terulang lagi keesokan harinya. Demi Allah, sejak itu aku tidak pernah mengulang hal-hal seperti itu, sampai Allah s.w.t. memuliakanku dengan kenabian-Nya.” (11)
Suatu hari di usianya yang ke-13, pamannya Abū Thālib mengajak Muhammad s.a.w. bepergian ke negari Syām. Ketika rombongan tiba di Bushra, di sana ada seseorang pendeta Nasrani bernama Buhaira yang memahami benar ajaran Nasrani yang diwariskan turun-temurun mengenai wasiat-wasiat ‘Īsā a.s., sebelumnya kaum Quraisy sering melalui kediaman pendeta Nasrani tersebut, akan tetapi dia tidak menghiraukan mereka sampai tahun yang dia yakini bahwa dia akan bertemu dengan calon Nabi Akhir Zaman s.a.w. Maka dia pun melihat tanda-tanda kenabian pada diri Muḥammad s.a.w. Dia memperhatikan adanya sederetan awan yang senantiasa menaungi rombongan di mana Muḥammad s.a.w. berada kemanapun mereka pergi. Di dasari rasa penasaran, ia pun mengundang rombongan agar singgah di kediamannya, ketika dia bertemu dengan Muḥammad s.a.w., dia memperhatikan seluruh anggota badannya, dan dia pun menemukan sifat-sifat kenabian yang ada pada dirinya, maka dia pun berkata kepada Muḥammad s.a.w. berikut:
“Aku bertanya padamu dengan sumpah Lāta dan ‘Uzzā, engkau akan memberitahuku apa yang akan aku tanyakan kepadamu.”
Muḥammad s.a.w. pun menjawab:
“Jangan tanyakan kepadaku sesuatu dengan sumpah Lāta dan ‘Uzzā, sesungguhnya demi Allah aku tidak membenci apapun seperti kebencianku terhadap mereka.”
Kemudian Buhaira bertanya:
“Demi Allah, engkau akan memberitahuku apa yang akan aku tanyakan kepadamu.”
Maka Muḥammad s.a.w. menjawab:
“Tanyalah apa yang akan engkau tanyakan”, pendeta itu pun mengajukan berbagai pertanyaan seputar kehidupan Muḥammad s.a.w. muda, setelah yakin semua jawaban cocok dengan apa yang dikatakan kitabnya. Muḥammad s.a.w. membuka punggungnya dan dia pun melihat tanda kenabian, kemudian dia mencium tanda kenabian yang ada di punggung Muḥammad s.a.w.
Hingga orang-orang Quraisy takjub keheranan dan seraya berkata: “Sesungguhnya Muḥammad s.a.w. sangat dihormati oleh pendeta ini.”
Setelah selesai dia berujar kepada Abū Thālib:
“Apa hubungan anak ini denganmu?”
Abū Thālib menjawab:
“Bawalah anak saudaramu itu pulang dan hati-hatilah terhadap orang Yahudi. Jikalau mereka tahu dan mengenal siapa sebenarnya anak itu mereka pasti akan berbuat jahat terhadap dirinya. Anak itu kelak akan menjadi orang besar, cepatlah ajak dia pulang.”Buhaira, Pendeta Nasrani dari Negeri Syām.
“Dia anakku.”
Buhaira berkata:
“Dia bukanlah anakmu, tidaklah ayah anak ini adalah seseorang yang masih hidup.”
Maka Abū Thālib menjawab:
“Dia anak saudaraku.”
Buhaira bertanya:
“Apa yang terjadi pada ayahnya?”
Abū Thālib menjawab:
“Wafat ketika Ibunya hamil.”
Buhaira membenarkan perkataan Abū Thālib tersebut dan Buhaira bertanya kembali:
“Apa yang terjadi pada Ibunya?”
Abū Thālib menjawab:
“Wafat beberapa waktu lalu.”
Dan Buhaira kembali membenarkan jawabannya, lalu dia berpesan Abū Thālib:
“Bawalah anak saudaramu itu pulang dan hati-hatilah terhadap orang Yahudi. Jikalau mereka tahu dan mengenal siapa sebenarnya anak itu mereka pasti akan berbuat jahat terhadap dirinya. Anak itu kelak akan menjadi orang besar, cepatlah ajak dia pulang.” (22)
Bahwasanya Allah s.w.t. telah menceritakan pengetahuan ahl-ul-kitāb mengenai Nabi s.a.w. dalam ayatnya, sebagai berikut:
الَّذِيْنَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْرِفُوْنَهُ كَمَا يَعْرِفُوْنَ أَبْنَاءَهُمْ وَ إِنَّ فَرِيْقًا مِّنْهُمْ لَيَكْتُمُوْنَ الْحَقَّ وَ هُمْ يَعْلَمُوْنَ.
“Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri al-Kitāb (Taurāt dan Injīl) mengenal Muḥammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya sebahagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui.” (QS. al-Baqarah [2]: 146).
Menurut Imām Qādhī ‘Iyādh rhm. bahwa pertanyaan Buhaira dengan sumpah Lāta dan ‘Uzzā adalah untuk menguji sifat kenabian yang ada pada diri Muḥammad s.a.w. Hal ini merupakan penjagaan dari Allah s.w.t. yang sangat besar kepada Nabi s.a.w. yang meliputi ideologi serta penjagaan fisik dari kejahatan yang akan dilakukan oleh sebagian orang yang ingin menentang sunnah (ketetapan) Allah. Sangat jelas bahwa kebencian Nabi s.a.w. terhadap berhala timbul bukan karena Nabi s.a.w. tumbuh besar dalam keadaan yatim sehingga beliau tidak mendapati anggota keluarganya menyembah dan beribadah terhadap patung-patung yang ada di kota Makkah, akan tetapi kebencian yang timbul pada diri Rasūlullāh s.a.w. adalah murni penjagaan dari Allah serta keinginan Allah s.w.t. untuk mengagungkan kekasih-Nya s.a.w. dari perbuatan-perbuatan jāhiliyyah. (33).
Hingga tiba suatu saat ketika Muḥammad s.a.w. mencapai usia 25 tahun, seorang utusan datang menemuinya. Utusan ini meminta agar Muḥammad s.a.w. bersedia ikut dalam kafilah dagang milik Khadījah rha. ke negeri Syām.
Sayyidah Khadijah binti Khuwailid rha. adalah seorang saudagar perempuan yang kaya raya lagi mulia dan terhormat. Dia biasa mempekerjakan sejumlah lelaki Quraisy untuk membawa barang dagangannya ke Syām dengan imbalan sebagian dari keuntungannya.
Dia mendengar kabar bahwa Muḥammad s.a.w. berkeinginan untuk ikut dalam rombongan dagangnya. Sementara itu Khadījah juga pernah diberitahu bahwa Muḥammad s.a.w. adalah seorang pemuda yang jujur, halus budi bahasanya serta berakhlak mulia. Hal yang teramat jarang dijumpai di kota Makkah ini. Itu sebabnya tanpa ragu dia menawarkan keuntungan dua kali lipat dari orang lain apabila Muḥammad s.a.w. bersedia menerima tawarannya.
Kebetulan Abū Thālib memang sedang dalam kesulitan keuangan. Sebagai anak yang tahu diri Muḥammad s.a.w. segera meminta idzin pamannya agar diperbolehkan menerima tawaran tersebut. Walaupun dengan berat hati akhirnya Abū Thālib menyetujui permintaan Muḥammad s.a.w. Dia sebenarnya masih khawatir akan keselamatan keponakannya itu sekalipun Muḥammad s.a.w. telah dewasa.
Maka dengan membawa berbagai macam dagangan, berangkatlah Muḥammad s.a.w. bersama rombongan kafilah dagang Khadījah rha. menuju negeri Syām. Di situlah Muḥammad s.a.w. membuktikan kepiawaian berdagangnya. Beliau menjual barang dagangan yang dibawanya dari Makkah dan membeli barang dagangan lainnya untuk dibawa kembali ke Makkah, dengan kejujuran dan kesantunannya beliau bahkan berhasil menarik keuntungan jauh lebih besar dari pada orang lain yang pernah diutus Khadījah rha.
Semua ini tidak lepas dari pengawasan dan pandangan kagum Maisarah, pembantu setia Khadījah rha. yang ikut dalam rombongan tersebut. Dia-lah yang dengan semangat menceritakan apa yang dilihatnya dari budi pekerti yang luhur dan berbagai macam keajaiban yang dimiliki Muḥammad s.a.w. kepada majikannya begitu rombongan kembali. Hingga membuat Khadījah rha. bertambah kagum kepada Muḥammad s.a.w., pemuda yang tanpa disadarinya ternyata telah ditaqdirkan Allah s.w.t. bakal menjadi pendamping hidup terakhirnya.
Khadījah rha. kemudian meminta salah seorang sahabatnya, Nufaysah (Nafisah) untuk mendekati Muḥammad s.a.w. dan menanyakan apakah beliau ingin menikah. Muḥammad s.a.w. belum menyanggupi. Dan ketika Nufaysah menyebut nama Khadījah, yang telah dikenal di kalangan kaumnya dari kecantikan, keturunan, kebangsawanan, dan kekayaan, beliau menjawab bahwa beliau berminat, namun karena keadaan dirinya beliau tidak membayangkan bisa menikah dengannya. Nufaysah tidak mengatakan bahwa dirinya berbicara atas permintaan Khadījah rha., Muḥammad s.a.w. diminta menyerahkan segala urusan kepadanya. Nufaysa berjanji akan mengatur perjodohan mereka. (44)
Dialah Khadījah rha. orang yang telah berjuang bersama Rasūlullāh s.a.w. menuju kebenaran, dan orang pertama yang masuk Islam dari golongan wanita.
Nufaysah segera mengabarkan kejernihan pikiran Muḥammad s.a.w. kepada temannya Khadījah rha., dia pun mengundang Muḥammad s.a.w. ke rumahnya dan memintanya untuk melamar yang kemudian Khadījah setujui.
Pernikahan Muḥammad s.a.w. dan Khadījah rha. berlangsung selama 25 tahun, 10 tahun setelah kenabian dan 15 tahun sebelum kenabian.
Dialah Khadījah rha. orang yang telah berjuang bersama Rasūlullāh s.a.w. menuju kebenaran, dan orang pertama yang masuk Islam dari golongan wanita, dan Khadījah rha. adalah ibu dari seluruh anaknya Baginda s.a.w.:
Qāsim, ‘Abdullāh, Ruqayyah, Zainab, Ummu Kaltsūm, dan Fāthimah.
Kecuali Ibrāhīm, karena ibunya adalah Sayyidah Mariah al-Qibthiyyah rha.