Sejak kanak-kanak, Muhammad tidak senang bermain-main atau menghabiskan waktu percuma. Dia tidak terpengaruh lingkungan yang penuh korupsi, judi, mabuk, dan perilaku negatif lainnya. Dia tidak pernah menyembah berhala. Muhammad juga tidak mau memakan daging persembahan untuk berhala. Allah melindunginya dari perbuatan buruk. Suatu kali, Muhammad pergi bersama beberapa pemuda ke pernikahan di Makkah. Sewaktu sampai di rumah yang mengadakan perayaan itu, dia mendengar suara musik dan tarian. Tiba-tiba Muhammad merasa lelah dan tertidur. Dia terbangun esok paginya, sehingga tidak menonton perayaan.
Pada musim haji, pecah perang antara suku Quraisy dan Qais ‘Ailan di Ukas. Perang ini berlanjut selama empat tahun. Padahal menurut tradisi Makkah, dilarang berperang di musim haji. Usia Muhammad waktu itu 15 tahun. Dia terjun dalam Perang Fajar. Dia tak pernah menyakiti musuh. Tugasnya hanya mengambil panah lawan yang jatuh dan memberikannya pada sang paman.
Di akhir peperangan ini, warga Makkah memutuskan perlunya sebuah lembaga. Lembaga tersebut bertugas mengurangi kekerasan dan ketidakadilan, juga membantu kaum yang lemah. Muhammad diundang salah seorang pamannya, Al-Zubair, ke pertemuan di rumah ‘Abdullah ibn Jud’an. Di sana, dibentuklah kelompok bernama Hilf al-Fudhul. Muhammad berperan penting dalam pendiriannya. Setelah jadi nabi kelak, dia teringat hal tersebut dan berkata, “Aku berikrar tidak akan menerima hadiah unta merah. Bahkan jika sekarang aku dipanggil melakukan ikrar semacam itu lagi, aku tak akan menolak.”
Kehidupan Muhammad bersama Abu Thalib di Makkah sangat tenteram. Dia memilih menjadi pedagang ketika berumur 25 tahun. Para saudagar paling terkemuka seperti Sa’ib Qais ibn Sa’ib Makhzumi dan Khadijah berminat menanamkan uang mereka dalam usaha Muhammad. Alasannya, mereka sudah mengenal karakter, integritas, dan kejujuran Muhammad dalam berdagang. Karena kejujuran dan sikap baiknya itu, dia disebut al-Amin. Artinya, yang terpercaya.
‘Abdullah ibn Abi al-Hamzah pernah meminta Muhammad menunggunya di suatu tempat. Kemudian Hamzah sendiri lupa. Tiga hari setelahnya, dia melewati tempat itu. Ternyata Muhammad masih menunggu di sana.
Kemudian Muhammad dipercaya menjual barang-barang Khadijah, putri Khuwailid. Dalam negosiasi, Khadijah berkata kepada Abu Thalib, “Dia akan kubayar dua kali lipat daripada orang-orang lain di sukumu.” Perjalanan pertama yang Muhammad tempuh bertujuan ke Suriah. Dia ditemani Maisarah, pembantu Khadijah.
Terjadi dua peristiwa yang tidak biasa saat perjalanan itu. Kafilah menempuh rute yang biasa mereka lewati ke Suriah. Ketika menuju Damaskus, Muhammad duduk beristiharat di bawah sebatang pohon rindang. Seorang pendeta Nasrani melihat ini. Dia bergegas mendekat dan menanyakan identitas Muhammad kepada Maisarah. Sang pembantu menjelaskan bahwa yang sedang duduk adalah pria dari suku Quraisy. “Setelah Yesus, putra Maria, hanya nabi yang duduk di sana. Tak ada yang lain. Dialah nabi dan utusan Tuhan yang terakhir,” kata si pendeta.
Muhammad pun melanjutkan perjalanan ke Suriah. Dari penjualan di sana, laba yang diperolehnya melebihi biasa. Dalam perjalanan pulang ke Makkah, terjadi peristiwa unik lain dan disaksikan Maisarah. Saat itu siang hari, matahari tengah terik-teriknya. Maisarah berkendara di belakang Muhammad. Dia melihat Muhammad dinaungi awan-awan sehingga tidak kepanasan. Persis yang terjadi sewaktu Muhammad pergi ke Suriah sebelumnya.
Setibanya di Makkah, Maisarah menceritakan semua yang terjadi kepada Khadijah. Karena sangat terkesan oleh karakter Muhammad, Khadijah memutuskan untuk menikah dengannya. Hafisah, seorang teman Khadijah, diutus untuk menanyakan alasan Muhammad belum menikah “Aku tidak punya apa-apa untuk mencukupi biaya pernikahan,” jawab Muhammad. “Bagaimana kalau kesulitanmu teratasi dan kau diminta menikah wanita cantik, kaya, serta dari keluarga baik-baik?” tanya Hafisah. Setelah tahu wanita itu Khadijah, Muhammad setuju. Sifat mulia Khadijah sudah terkenal di masyarakat Makkah. Banyak pria melamar Khadijah setelah suaminya wafat. Namun, dia menolak semuanya dan sekarang dia siap menikah dengan Muhammad.
Pada hari yang ditentukan, Muhammad diantar paman-pamannya, Abu Thalib dan Hamzah. Beberapa pemimpin suku Quraisy pun ikut serta. Paman Khadijah, ‘Amr ibn ‘Ash, yang menikahkan Muhammad dengan Khadijah. Saat itu usia Khadijah 40 tahun, sedangkan Muhammad 25. Abu Thalib menyampaikan Khutbah nikah berikut, “Tak seorang pun sebanding dengan keponakanku Muhammad ibn ‘Abdullah. Dia yang paling mulia, paling lembut, paling unggul, dan paling bijaksana. Demi Tuhan, masa depannya cerah dan kedudukannya akan sangat tinggi.”
Abu Thalib tidak menyangka ucapannya ini akan menjadi kenyataan kelak. Dia semata menyampaikan kata-kata yang indah. Sesuai tradisi Arab, Muhammad memberikan maskawin berupa dua puluh ekor bakra atau domba pada Khadijah.
Selama dua puluh lima tahun menikah, Khadijah memberi Muhammad kedamaian. Khadijah meringankan bebannya sehari-hari. Mereka saling mencintai, saling menguatkan dan menghibur.
Sebagai pedagang Makkah, hidup Muhammad tenang dan tenteram. Tak seperti kebanyakan pedagang, dia tidak terobsesi materi. Yang utama, kebijaksanaannya menguntungkan penduduk Makkah dan mencegah pertumpahan darah. Suatu kali, Quraisy bermaksud membangun kembali Ka’bah karena dikhawatirkan hancur akibat kerusakaan yang ditimbulkan banjir. Mereka takut merusak bangunan itu sehingga renovasinya terhambat. Semua terkesima sekaligus ragu. Akhirnya, Al-Walid ibn Mughirah bedoa kepada dewa-dewa pelindung Ka’bah, mengambil kapak, lalu merobohkan sebagian dinding. Orang-Orang menunggu. Karena tak terjadi apa-apa, mereka semua bergabung dalam pembangunan tersebut. Setelah tinggi dinding cukup, mereka memutuskan menaruh batu hitam (Hajar Aswad) di tembok sebelah timur Ka’bah. Timbul percekcokan mengenai suku yang mana yang mendapat kehormatan meletakkan batu itu. Perselisihan berlanjut sampai empat hari. Hampir saja belati dihunus. Pada hari kelima, Umayyah ibn Mughirah, pemimpin tertua, memberi usul dan disepakati semua orang. Dia menyarankan bahwa orang pertama yang memasuki halaman Ka’bah lewat pintu timur esok harilah yang dijadikan penengah dan dimintai pendapat untuk menyelesaikan masalah ini.
Esok paginya, Muhammad-lah yang masuk pertama kali. Anggota berbagai suku berseru serempak. “Al-Amin telah datang. Kita setuju untuk mematuhi keputusannya”. Setelah tahu apa yang terjadi, Muhammad langsung mendapat jalan keluar. Dia bentangkan jubahnya di tanah. Diletakkannya batu hitam di atas jubah itu. Kemudian Muhammad meminta wakil setiap suku mengangkat jubah tersebut bersama-sama. Setelah batu hitam diangkat setinggi yang dibutuhkan, Muhammad sendirilah yang meletakkannya di sudut selatan Ka’bah.
Muhammad suka merenung dan memikirkan masyarakat serta umat manusia. Dia sangat sedih karena kondisi masa itu. Dia sering mengasingkan diri dan berdiam di tempat-tempat tersembunyi untuk sementara. Gua Hira’ di Gunung Nur adalah salah satu tempat favoritnya. Muhammad terus berusaha memahami misteri penciptaan, hidup, mati, yang baik dan yang buruk. Dia yakin ada satu Pencipta yang Mahakuasa.
Sarana dan kesempatan untuk hidup nyaman sudah tersedia. Tapi, jiwa Muhammad yang gelisah tidak bisa menikmatinya. Semua itu tak berharga dan dia terus berupaya memecahkan misteri kehidupan. Dari mana asal manusia? Apa tujuan mereka diciptakan? Apa yang terjadi setelah mereka meninggal? Pertanyaan paling penting adalah menyangkut yang benar dan yang batil. Fase kehidupan ini digambarkan dalam Al-Qur’an:
وَ وَجَدَكَ ضَالاًّ فَهَدى
“Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk.” (QS. al-Dhaha [93]: 7)
Bukan hanya Muhammad yang menginginkan kebenaran. Beberapa orang cerdas di masyarakat Makkah pun menanti tuntunan Ilahi. Mereka tidak tahan melihat masyarakat yang terjerumus maksiat. Suatu kali, suku Quraisy merayakan festival dan menyanyikan puji-pujian bagi berhala. Waraqah ibn Naufal, ‘Abdullah bin Jahsy, Utsman ibn Athuwairis, dan Zaid ibn ‘Amr mengadakan pertemuan diam-diam dan mengadakan persetujuan rahasia. Keempat orang ini setuju bahwa masyarakat menyimpang dari agama yang diajarkan Nabi Ibrahim. Masyarakat Makkah mulai tidak masuk akal, menyembah berhala dari batu. Keempat pria tersebut bertekad untuk mencari pengikut Nabi Ibrahim.
Waraqah ibn Naufal menjadi pemeluk Nasrani. Abdullah ibn Jahsy yang gelisah memeluk Islam (setelah Muhammad menjadi nabi), kemudian dia menganut Nasrani. ‘Utsman pergi ke kekaisaran Roma dan menjadi penganut Nasrani pula. Namun, Zaid tidak memeluk agama manapun. Dia terus mencari kebenaran walau tak lagi menyembah berhala, berhenti makan sesaji untuk berhala, dan menentang secara lisan pembunuhan bayi perempuan.
Zaid sering berkata, “Tuhan pasti satu atau seribu. Apakah ajaran yang membagi urusan di antara sekian banyak sesembahan pantas disebut agama?” Kerap kali sewaktu masuk Ka’bah, dia berkata, “Aku datang, ya Tuhan, sebagai hamba yang patuh dengan sepenuh hati.”
Zaid juga berdoa demi memohon pertolongan Tuhan yang disembah Nabi Ibrahim. Khaththab ibn Nufail membenci Zaid karena semua itu sehingga mengusirnya dari Makkah. Diutusnya beberapa pemuda untuk memastikan Zaid tidak kembali. Ke mana pun Zaid bersembunyi, dia selalu ditemukan dan dipukul pemuda-pemuda itu. Akhirnya, Zaid putus asa. Ditinggalkannya Makkah untuk pergi ke Irak dan Suriah. Di Damaskus, Zaid bertemu seorang pendeta. Pendeta itu mengatakan dia tak akan menemukan pengikut Nabi Ibrahim di mana pun. Namun, seorang nabi akan muncul di Makkah dan meneruskan ajaran Ibrahim. Mendengar ini, Zaid kembali ke Makkah. Malangnya, dia dibunuh di wilayah bernama Lakhm.