Masa Kecil Nabi s.a.w. – Kisah Sang Rasul (2/2)

KISAH SANG RASUL:
Menyimak dan Meneguhkan Sosok Pembawa Risalah

Karya: Abdullah ibn Jakfar al-Habsyi
 
Diterbitkan oleh:
CV. Layar Creative Mediatama

Rangkaian Pos: Masa Kecil Nabi s.a.w. - Kisah Sang Rasul

Diceritakan oleh Ḥalīmah bahwa Rasūl s.a.w.: “Ketika bulan ke-2 dari kelahirannya, dapat mencapai segala sudut/penjuru. Ketika di bulan ke-3 dari kelahirannya, dapat berdiri tegak dengan kedua kakinya. Ketika di bulan ke-4 dari kelahirannya, dapat memegang dinding dan berjalan sedikit. Ketika di bulan ke-5 dari kelahirannya, dapat berjalan dengan lancar. Ketika di bulan ke-8 dari kelahirannya, dapat menirukan ucapan yang dia dengar. Ketika di bulan ke-9 dari kelahirannya, dapat berbicara dengan fasih. Ketik di bulan ke-10 dari kelahirannya, bisa melempar anak panah bersama anak-anak lainnya.” (31)

Dan domba-domba milik keluarga Ḥalīmah menjadi gemuk dan semakin banyak air susunya,

“Ketika aku bersama Muḥammad s.a.w. tidaklah dari rumah yang kami masuki melainkan tercium dari padanya aroma wangi misk dan aku sangat mencintainya, serta banyak orang yang meyakini barakahnya, ketika ada seseorang dari kami yang sakit salah satu anggota tubuhnya, maka kami meletakkan tangannya di atas tempat yang diderita, seketika itu juga Allah s.w.t. akan menyembuhkannya.”Ḥalīmah as-Sa‘diyyah rha.

walaupun rumput di daerah mereka tetap gersang. Sungguh keajaiban lagi!

Perternakan domba milik Ḥalīmah berkembangan pesat, sementara domba-domba milik tetangga mereka tetap saja kurus kering, padahal rumput yang dimakan sama saja, karena itulah mereka menyuruh anak-anaknya menggembalakan domba mereka dekat dengan domba milik Ḥalīmah, namun hasilnya tetap sama saja, domba tetangga itu tetap kurus kering.

Ḥalīmah pun bercerita: “Ketika aku bersama Muḥammad s.a.w. tidaklah dari rumah yang kami masuki melainkan tercium dari padanya aroma wangi misk dan aku sangat mencintainya, serta banyak orang yang meyakini barakahnya, ketika ada seseorang dari kami yang sakit salah satu anggota tubuhnya, maka kami meletakkan tangannya di atas tempat yang diderita, seketika itu juga Allah s.w.t. akan menyembuhkannya.”

Ketika Muḥammad s.a.w. berusia lima tahun, dia berlari-lari lepas bersama saudaranya ‘Abdullāh, anak kandung Ḥalīmah, menggembala domba-domba mereka agak jauh dari rumah.

Di siang hari yang terik itu, tiba-tiba datanglah dua orang lelaki berpakaian putih. Mereka membawa Muḥammad s.a.w. yang sedang sendirian ke tempat yang agak jauh dari penggembala. ‘Abdullāh pada waktu itu sedang pulang, mengambil bekal untuk dimakan bersama-sama Muḥammad s.a.w. di tempat menggembala karena mereka lupa membawa bekal.

Ketika ‘Abdullāh kembali, Muḥammad s.a.w. sudah tidak ada. Seketika itu juga ia menangis dan berteriak-teriak meminta tolong sambil berlari ke rumahnya. Ḥalīmah dan suaminya pun segera keluar dari rumahnya. Dengan tergopoh-gopoh mereka mencari Muḥammad s.a.w. kesana-kemari. Beberapa saat kemudian, mereka mendapatinya sedang duduk termenung seorang diri dipinggir dusun tersebut.

Ḥalīmah langsung bertanya kepada Muḥammad s.a.w. berikut:

“Mengapa engkau berada di sini seorang diri?”

Muḥammad s.a.w. pun bercerita:

Mula-mula ada dua orang lelaki berpakaian serba putih datang mendekatiku, salah seorang berkata kepada kawannya: “Inilah anaknya.” Kawannya menyahut: “Ya, inilah dia!”. Sesudah itu mereka membawaku ke sini. Di sini aku dibaringkan, dan salah seorang di antara mereka memegang tubuhku dengan kuat. Dadaku dibedahnya dengan pisau. Setelah itu, mereka mengambil suatu benda dari dalam dadaku dan benda itu lalu dibuang. Aku tidak tahu apakah benda itu dan ke mana mereka membuangnya. Setelah selesai, mereka pergi dengan segera. Aku pun tidak mengetahui ke mana mereka pergi, dan aku ditinggalkan di sini seorang diri.

Setelah kejadian itu, timbul kecemasan pada diri Ḥalīmah dan suaminya, jikalau terjadi sesuatu terhadap Muḥammad s.a.w. Karena itulah, keduanya menyerahkan dia kembali kepada ibundanya Sayyidah Āminah rha. di Makkah. (42)

Lima tahun, masa yang telah memberikan kenangan indah dan kekal di dalam jiwanya. Demikian Ibu Ḥalīmah rha. beserta keluarganya tempat dia menumpahkan rasa kasih sayang dan hormat selama hidupnya itu.

Penduduk dusun itu (Bani Sa‘ad) pernah mengalami masa paceklik yang hebat sesudah perkawinan Nabi Muḥammad s.a.w. dan Khadījah rha. Bilamana Ḥalīmah mengunjungi Nabi Muḥammad s.a.w. maka beliau membentangkan pakaiannya yang paling berharga agar menjadi tempat duduk ibunya sebagai tanda penghormatan dan sepulangnya ia dibekali dengan unta yang dimuati air dan empat puluh ekor kambing.

Dan ketika Syaima putri ibu Ḥalīmah, berada di bawah tawanan perang Ḥunain, kemudian dibawa kepada Nabi Muḥammad s.a.w., beliau segera mengenalinya dan memberikan penghormatan kepadanya serta mengembalikannya kepada keluarganya sesuai dengan permintaan wanita itu.

Pada tahun ke-6 setelah lahirnya Baginda Nabi Muḥammad s.a.w., Ibu Āminah mengajak Muḥammad s.a.w. pergi mengunjungi keluarga kakeknya ‘Abd-ul-Muththalib, yaitu Bani ‘Addī ibn Najjār selama satu bulan dan Muḥammad s.a.w. pun mahir berenang di telaga mereka. Dalam perjalanan pulang Ibu Āminah pun menghembuskan nafas terakhirnya di desa Abwa; maka Muḥammad s.a.w. didampingi oleh Ummu Aimān sampai ke kota Makkah.

Setelah sampai di Makkah, ‘Abd-ul-Muththalib mengasuh Muḥammad s.a.w. dengan penuh kasih sayang, sampai pada tahun ke-7 dari kelahirannya, ‘Abd-ul-Muththalib diundang oleh salah satu Raja Yaman Saif ibn Dzī Yazīn al-Ḥimyarī untuk menyambut perluasan kekuasaannya ke Shana‘a, maka Raja tersebut sangat memuliakan kakeknya ‘Abd-ul-Muththalib serta memberitahunya serta para tamu undangannya dengan kenabian Muḥammad s.a.w. dan ‘Abd-ul-Muththalib sebagai ayahnya (kakeknya). (53)

Kemudian pada tahun ke-8 dari kelahirannya, wafat kakek tercinta ‘Abd-ul-Muththalib dan itu membuat dirinya sangat sedih, dan ‘Abd-ul-Muththalib telah berwasiat kepada anaknya Abū Thālib agar mengasuh Muḥammad s.a.w. sepeninggalannya. Abū Thālib pun mengasuhnya dengan penuh kasih sayang melebihi sayangnya terhadap anak-anaknya sendiri dan menyaksikan betapa mulia dan agung akhlak yang dimilikinya.

Diriwayatkan oleh Imām as-Suyūthī rhm. dari Ibnu ‘Abbās r.a.: “Bahwa Abū Thālib mendekatkan kepada anak-anaknya wadah makanan, seketika itu juga anak-anaknya duduk dan berebut sedangkan Muḥammad s.a.w. menahan diri dan tidak berebut bersama mereka, maka ketika Abū Thālib melihat kejadian itu Abū Thālib pun memisahkan makanan untuk Muḥammad s.a.w.

Catatan:

  1. 3). Ringkasan dari “Sirah Nabawiyyah Ibn Dahlan” hlm. 44-45.
  2. 4). Ibid. hlm. 40-47.
  3. 5). Ringkasan dari “Ḥadā’iq-ul-Anwāri wa Mathāli‘-ul-Asrār”, hlm. 115

Sanggahan (Disclaimer): Artikel ini telah kami muat dengan izin dari penerbit. Terima kasih.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *