Masa Kecil Nabi s.a.w. – Kisah Sang Rasul (1/2)

KISAH SANG RASUL:
Menyimak dan Meneguhkan Sosok Pembawa Risalah

Karya: Abdullah ibn Jakfar al-Habsyi
 
Diterbitkan oleh:
CV. Layar Creative Mediatama

Rangkaian Pos: Masa Kecil Nabi s.a.w. - Kisah Sang Rasul

Bab 4:

MASA KECIL NABI S.A.W.

 

Pengasuh dan pemomong pertama kali atas kelahiran Nabi Muḥammad s.a.w. di hari-hari pertama ialah Ummu Aimān rha. Ia adalah seorang budak perempuan dari Ḥabasyah (Ethiopia), budak perempuan yang diwariskan kepada Nabi Muḥammad s.a.w. dari ayahandanya ‘Abdullāh r.a. Ummu Aimān rha. dimerdekakan ketika Rasūlullāh s.a.w. menikah dengan Sayyidah Khadījah rha. Beliau dijuluki sebagai Ummu Aimān rha. karena memiliki anak yang bernama Aimān ibn ‘Ubaid dari pernikahannya dengan ‘Ubaid ibn Zaid al-Khazrajī, setelah itu dia dinikahi oleh sahabat Zaid ibn Ḥāritsah dan dikaruniai anak bernama Usāmah ibn Zaid, orang yang dicintai Nabi Muḥammad s.a.w. seperti Ḥasan dan Ḥusain cucu kesayangan Baginda Nabi Muḥammad s.a.w. (11).

Dan perempuan yang menyusui bayi Muḥammad s.a.w. setelah ibundanya Āminah rha. itu adalah Tsuwaibah al-Aslamiyyah rha., budak perempuan milik paman Nabi s.a.w. yang bernama Abū Lahab. Ia memberi kabar gembira kepada Abū Lahab tentang kelahiran Nabi s.a.w. sehingga Abū Lahab memerdekakan Tsuwaibah al-Aslamiyyah rha. karena kegembiraan menyambut lahir keponakannya yang mulia.

Di dalam kitab “Shaḥīḥ-ul-Bukhārī” diceritakan: “Bahwa ketika Abū Lahab meninggal dunia, Sayyidinā ‘Abbās r.a, paman Rasūlullāh s.a.w. bermimpi melihat Abū Lahab dalam keadaan sangat buruk, ‘Abbās r.a. pun bertanya:

“‘Adzab apa yang telah menimpamu?”

Abū Lahab menjawab: “Aku telah tertimpa ‘adzab yang sangat pedih terkecuali aku mendapatkan keringanan karena aku membebaskan budakku Tsuwaibah.”

Keringanan ‘adzab yang Allah berikan kepada Abū Lahab karena rahmat dan kemuliaan yang Allah s.w.t. berikan terhadap Baginda Nabi s.a.w. bukan murni karena perbuatan baik yang dilakukan Abū Lahab, yaitu membebaskan Tsuwaibah. (22)

Allah s.w.t. berfirman:

أُولئِكَ الَّذِيْنَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الْآخِرَةِ إِلَّا النَّارُ وَ حَبِطَ مَا صَنَعُوْا فِيْهَا وَ بَاطِلٌ مَّا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ

Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan”. (QS. Hūd [11]: 16).

Maksud ayat ini adalah amalan baik dari orang-orang yang tidak beriman tidak diganjar kebaikan juga oleh Allah, dan Allah s.w.t. menegaskan tentang tempat mereka di akhirat, yaitu neraka serta sia-sianya amalan mereka di dunia.

Sudah menjadi tradisi bagi bangsawan kaum Quraisy di kota Makkah menyerahkan anak-anak mereka yang masih bayi untuk dipelihara di daerah pegunungan dan disusui oleh perempuan-perempuan Badui, sampai bayi itu berusia 3-4 tahun. Tujuan dari penyusuan dan pemindahan ke daerah pegunungan tersebut, agar si bayi mendapat udara yang bersih dan segar karena di perkotaan sudah banyak polusi, serta agar dapat berbicara dengan bahasa ‘Arab asli.

Kemudian datanglah kafilah dari daerah desa Bani Sa‘ad, dusun yang jauh dari kota Makkah, menaiki unta dan keledai. Di antara mereka ada sepasang suami-istri; Ḥārits ibn ‘Abd-ul-‘Uzzā dan Ḥalīmah as-Sa‘diyah, Ḥārits menaiki unta betina tua renta dan Ḥalīmah menaiki keledai yang kurus, keduanya pun sudah memacu kendaraannya melaju, tetapi tetap saja tertinggal dari kawanannya.

Ḥalīmah dan wanita lainnya yang datang ke Makkah sedang mencari kerja memberi jasa menyusui bayi bangsawan ‘Arab yang kaya. Sebagaimana dalam kehidupan modern, pengasuh bayi akan mendapatkan bayaran tinggi bila dapat mengasuh bayi dari keluarga kaya. Sesampai di kota Makkah, Ḥalīmah justru menjadi cemas sebab beberapa wanita Bani Sa‘ad yang tiba lebih dulu sedang berancang-ancang pulang karena sudah berhasil membawa bayi asuh mereka.

Setelah ia kesana-kemari, akhirnya dia bertemu dengan ‘Abd-ul-Muththalib, kemudian ‘Abd-ul-Muththalib pun bertanya:

“Siapakah engkau?” tanya ‘Abd-ul-Muththalib.

Ḥalīmah menjawab: “Aku wanita dari kalangan Bani Sa‘ad.”

‘Abd-ul-Muththalib bertanya lagi: “Siapakah namamu?”

Ḥalīmah pun menjawab: “Ḥalīmah”.

Maka ‘Abd-ul-Muththalib tersenyum serya berkata: “Selamat dan semoga kesenangan selalu tercurahkan kepadamu, wahai Ḥalīmah sesungguhnya aku memiliki seorang putra (cucu) yatim dan aku telah menawarkan kepada wanita Bani Sa‘ad untuk mengasuhnya”. Akan tetapi, mereka menolaknya seraya berkata: “Apa yang bisa kami dapatkan dari bayi yatim, dan sesungguhnya kami hanya berharap dari kedermawanan ayah-ayah bayi yang kami asuh.” “Wahai Ḥalīmah apakah engkau mau untuk mengasuh dan menyusuinya? Semoga engkau akan berbahagia dengannya.”

Maka Ḥalīmah pun berkata: “Bolehkah aku bermusyawarah dengan suamiku terlebih dahulu?”

‘Abd-ul-Muththalib pun berkata: “Tentu saja.”

Maka bergegas Ḥalīmah menemui suaminya yang nama Allah s.w.t. telah meletakkan di hatinya kesenangan dan kegembiraan, makka Ḥārits pun berkata: “Wahai Ḥalīmah, ambillah bayi itu.”

Ketika Ḥalīmah kembali kepada ‘Abd-ul-Muththalib dia melihat ‘Abd-ul-Muththalib sedang duduk menunggu Ḥalīmah maka Ḥalīmah berkata: “Bawa kemari bayinya.”

Seketika berubah wajah ‘Abd-ul-Muththalib penuh kesenangan dengan membawaku ke rumah Āminah dan Āminah pun membawaku ke kamar yang di dalamnya ada bayi Muḥammad s.a.w., seketika itu Ḥalīmah melihat bayi mulia itu sedang tertidur berselimutkan pakaian putih seperti susu dan di bawahnya terbentang sutra berwarna hijau, tiba-tiba Ḥalīmah mencium aroma wewangian misik tersebar mengelilingi ruangan.

Ḥalīmah pun takut akan membangunkan bayi mulia itu karena keindahan dan keagungannya, maka wanita itu meletakkan tangannya di atas dadanya, bayi itu pun tersenyum dan mulai membuka kedua matanya seraya keluar dari kedua bola matanya cahaya yang menembus langit, maka Ḥalīmah pun menciumnya dengan penuh kasih sayang di antara kedua matanya, dan membawanya, sesungguhnya tidaklah Ḥalīmah membawanya melainkan karena tidak menemukan selainnya.

Wanita kurus itu pun mencoba memberikan air susunya kepada bayi mulia tersebut, Subḥānallāh! Kantung susunya membesar, kemudian air susu mengalir deras, sehingga sang bayi meminumnya hingga kenyang, dia merasa heran karena selama ini susunya sendiri sering kali kurang untuk diberikan kepada bayi kandungnya sendiri, tetapi sekarang kenapa justru berlimpah, sehingga cukup diberikan untuk bayi kandung dan bayi asuhnya?

Dengan keanehan yang dialami Ḥalīmah, suaminya juga dibuat heran, tak habis fikir mengapa unta betina tua itu pun tiba-tiba kantung susunya membesar, penuh air susu. Ḥalīmah pun turun dari keledainya dan terus memerah susu unta itu, dia dan suaminya dalam keadaan lapar dan dahaga, sehingga mereka meminumnya sampai kenyang dan puas. Semua keajaiban itu membuat mereka yakin: “Anak yatim ini membawa berkah yang tak terduga.”

Ḥalīmah menaiki dan memacu keledainya, Ajaib! Keledai itu berhasil menyalip kendaraan temannya yang pulang terlebih dahulu.

“Ḥalīmah! Ḥalīmah! Alangkah gesit keledaimu. Bagaimana ia mampu melewati gurun pasir dengan cepat sekali, sedangkan waktu ke Makkah ia amat lamban?”, seru temannya. Ḥalīmah sendiri merasa bingung dan tidak bisa memberikan jawaban kepada kawanannya.

Sampai di rumah pun anak-anaknya senang, sebab orang tua mereka pulang lebih awal dari orang sekampungnya. Apa lagi ayah mereka membawakan air susu yang cukup banyak, yang tidak lain merupakan air susu unta yang tua renta itu.

Dalam sekejap, kehidupan rumah tangga Ḥalīmah berubah total, dan itu menjadi buah bibir di kampungnya, mereka melihat keluarga yang tadinya miskin tersebut sekarang hidup penuh kedamaian, kegembiraan dan serba kecukupan.

Catatan:

  1. 1). Ringkasan dari “Ḥadā’iq-ul-Anwāri wa Mathāli‘-ul-Asrār”, hlm. 112.
  2. 2). Ibid. hlm. 107.

Sanggahan (Disclaimer): Artikel ini telah kami muat dengan izin dari penerbit. Terima kasih.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *