Manusia adalah Pelaku, Allah-lah Pencipta Perbuatan Manusia
Manusia adalah pelaku perbuatannya, sedangkan Pencipta perbuatan adalah Allah. Karena itu, untuk bisa beribadah kepada Allah dengan baik, seseorang butuh pertolongan Allah. Seorang muslim mengulang permohonan itu dalam setiap raka‘at shalatnya. Iyyāka na‘budu wa Iyyāka nasta‘īn… Hanya kepada-Mu kami menyembah, Ya Allah dan hanya kepada-Mu-lah kami meminta pertolongan untuk mempersembahkan ibadah yang terbaik kepada-Mu.
Segala sesuatu telah ditaqdīrkan, sampai-sampai kita meletakkan tangan kita pada pipi kita, di tempat tertentu, di waktu tertentu, dengan keadaan tertentu, telah ditaqdīrkan dan tertulis di Lauḥ-ul-Maḥfūzh. Sahabat Nabi Ibnu ‘Abbās menyatakan:
كُلُّ شَيْءٍ بِقَدَرٍ حَتَّى وَضْعَكَ يَدَكَ عَلَى خَدِّكَ.
“Segala sesuatu telah ditaqdīrkan. Sampai-sampai (termasuk) engkau meletakkan tanganmu di pipimu.”
(Diriwayatkan oleh al-Imām al-Bukhārī secara mu‘allaq dalam Khalqu Af‘āl-il-‘Ibād no. 105 hal. 47).
Segala sesuatu telah ditaqdīrkan, sampai-sampai timbulnya semangat atau munculnya perasaan malas pun juga telah ditaqdīrkan.
كُلُّ شَيْءٍ بِقَدَرٍ حَتَّى الْعَجْزِ وَ الْكَيْسِ.
“Segala sesuatu telah ditaqdīrkan, sampai-sampai kelemahan/perasaaan malas dan perasaan semangat.”
(HR. al-Imām Muslim no. 4799).
Rasūlullāh s.a.w. mengajarkan doa untuk berlindung dari sikap lemah dan malas. Hal itu menunjukkan bahwa kepada Sang Penciptanyalah kita berharap dan memohon perlindungan.
اللهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْعَجْزِ وَ الْكَسَلِ وَ الْجُبْنِ وَ الْبُخْلِ وَ الْهَرَمِ وَ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَ الْمَمَاتِ.
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan, perasaan malas, takut, kikir dan keadaan sangat tua (sehingga pikun dan menyusahkan) dan aku berlindung kepada-Mu dari adzab kubur, dan aku berlindung kepada-Mu dari fitnah kehidupan dan kematian.”
(HR. al-Imām al-Bukhārī no. 5890 dan al-Imām Muslim no. 4878).
Dalam setiap memulai khutbahnya, Nabi s.a.w. selalu meminta perlindungan kepada Allah dari keburukan jiwa dan keburukan perbuatan.
…. وَ نَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا.
“Dan kami berlindung kepada Allah dari keburukan jiwa kami dan dari keburukan perbuatan-perbuatan kami.”
(HR. al-Imām at-Tirmidzī, al-Imām an-Nasā’ī, al-Imām Aḥmad).
Karena Allah adalah pencipta perbuatan kita, maka kita meminta pertolongan kepada-Nya, dan meyakini bahwa tiada daya dan upaya kecuali atas pertolongan-Nya:
لَا حَوْلَ وَ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ.
“Tiada daya dan kekuatan kecuali atas pertolongan Allah.”
Namun, harus diingat bahwa manusia adalah pelaku perbuatannya. Mereka memiliki kehendak untuk berbuat. Hal itu telah disadari oleh akal mereka sendiri. Sama sekali mereka tidak merasa terpaksa untuk memilih berbuat demikian atau demikian. Ia bisa memilih untuk berjalan, duduk, diam, atau berbicara, dan segala macam perbuatan lain. Demikian juga Allah tetapkan pada mereka perintah dan larangan. Tidaklah perintah atau larangan diberikan kecuali kepada pihak yang memiliki kehendak untuk berbuat. Allah perintahkan: Tegakkan shalat, tunaikan zakat…. dan berbagai perintah yang lainnya, adalah karena manusia memiliki kehendak untuk berbuat.
Manusia punya pilihan untuk beriman atau kāfir. Silakan memilih. Allah akan sediakan ‘adzab yang pedih bagi orang yang kāfir.
فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَ مَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلظَّالِمِيْنَ نَارًا أَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَا
“Barang siapa yang mau silakan dia beriman, siapa yang mau silakan dia kāfir. Sesungguhnya Kami sediakan bagi orang-orang zhālim itu neraka yang gejolaknya mengepung mereka.”
(QS. al-Kahfi [18]: 29).
مِنْكُمْ مَنْ يُرِيْدُ الدُّنْيَا وَ مِنْكُمْ مَنْ يُرِيْدُ الْآخِرَةَ.
“Di antara kalian ada yang menginginkan (kehidupan) dunia, dan di antara kalian ada yang menginginkan kehidupan akhirat.”
(QS. Āli ‘Imrān [3]: 152).
Tidak bisa seseorang yang berbuat maksiat beralasan dengan taqdīr, karena pelakunya adalah mereka. Ya, merekalah pelaku perbuatan tersebut. Mereka melakukannya dengan sadar, tanpa paksaan, dan telah mengetahui bahwasanya hal itu dilarang oleh Allah. Allah tidak akan meng‘adzab seseorang yang mengerjakan sesuatu karena terpaksa, karena tidak sadar atau karena tidak tahu.
Allah mencela sikap dan ucapan orang-orang musyrikin yang berbuat kesyirikan kemudian berdalih dengan taqdīr: “kalau Allah kehendaki, niscaya kami dan ayah-ayah kami tidak berbuat kesyirikan.” Allah cela hal tersebut dan dianggap sebagai bentuk penentangan yang akan mendapat ‘adzab dari Allah. Allah menggolongkan mereka sebagai pendusta.
سَيَقُوْلُ الَّذِيْنَ أَشْرَكُوْا لَوْ شَاء اللهُ مَا أَشْرَكْنَا وَ لَا آبَاؤُنَا وَ لَا حَرَّمْنَا مِن شَيْءٍ كَذلِكَ كَذَّبَ الَّذِيْنَ مِن قَبْلِهِمْ حَتَّى ذَاقُوْا بَأْسَنَا قُلْ هَلْ عِنْدَكُمْ مِّنْ عِلْمٍ فَتُخْرِجُوْهُ لَنَا إِنْ تَتَّبِعُوْنَ إِلَّا الظَّنَّ وَ إِنْ أَنْتُمْ إِلَّا تَخْرُصُوْنَ
“Orang-orang yang mempersekutukan Allah akan mengatakan: “Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) kami mengharamkan barang sesuatu apa pun”. Demikian pulalah orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (para rasūl) sampai mereka merasakan siksaan Kami. Kalian tidaklah mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kami tidak lain hanya berdusta.”
(QS. al-An‘ām [6]: 148).
Dikisahkan bahwa suatu saat ada seorang pencuri didatangkan kepada ‘Umar bin al-Khaththāb. Kemudian ‘Umar bertanya: Apa yang membuatmu melakukan pencurian ini? Orang itu berkata: Saya mencuri atas taqdīr Allah. ‘Umar mengatakan: Ya, dan saya akan memotong tanganmu (sebagai hukuman) juga atas taqdīr Allah (dikisahkan oleh asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam Majmū‘ Fatāwā wa Rasā’il (2/96) pada bagian al-Qadhā’ wal-Qadar, namun saya belum mendapatkan rujukan riwayatnya. Wallāhu a‘lam).