Bab: Mandi Jum‘at (dan Shalat Jum‘at Masbūq).
- Keempat Imām madzhab (Mālik, Abū Ḥanīfah, Aḥmad bin Ḥanbal, dan asy-Syāfi‘ī) sepakat bahwa mandi Jum‘at hukumnya sunnat. (5921).
- Mereka sepakat bahwa mendengarkan khutbah bukan syarat mendapati shalat Jum‘at. Apabila ada orang yang menunaikan shalat Jum‘at maka shalatnya sah meskipun dia tidak mendapati khutbah. (5932).
- Mereka sepakat bahwa apabila seseorang mendapati khutbah Jum‘at dan mendengarkannya akan menambah keutamaan baginya.
- Mereka sepakat bahwa apabila seseorang mendapati 1 rakaat shalat Jum‘at dengan 2 sujudnya lalu dia menambah 1 rakaat lain (yang tertinggal) maka shalatnya sah. (5943).
- Mereka berbeda pendapat apabila ma’mūm masbūq mendapat Imām sedang Tasyahhud (dalam shalat Jum‘at).
Mālik, asy-Syāfi‘ī, dan Aḥmad berkata: “Shalat Jum‘atnya tidak sah dan dia harus menyempurnakannya sebagai Zhuhur bila dia meniatkannya.”
Abū Ḥanīfah berkata: “Apabila ma’mūm mendapati Imām shalat Jum‘at sedang berada di akhir shalatnya baik Tasyahhud maupun sujud sahwi maka dia boleh melanjutkan shalatnya dan shalatnya sah.” Pendapat ini juga dinyatakan oleh Abū Yūsuf.
Muḥammad bin al-Ḥasan berkata: “Dia harus shalat 4 rakaat dan shalat Jum‘atnya tidak sah.”
- Mereka berbeda pendapat apabila waktu ‘Ashar masuk ketika jamā‘ah telah menunaikan shalat Jum‘at 1 rakaat.
Abū Ḥanīfah berkata: “Shalat mereka batal secara umum dan harus memulai lagi dengan shalat Zhuhur.”
Asy-Syāfi‘ī berkata: “Mereka boleh melanjutkannya sebagai shalat Zhuhur.”
Aḥmad berkata: “Mereka boleh menyempurnakannya dengan 1 rakaat berikutnya dan shalat Jum‘at mereka sah.”
Adapun madzhab Mālik dalam masalah ini, para fuqahā’ Mālikiyyah meriwayatkan pendapat yang berbeda-beda darinya. Ibnu al-Qāsim berkata: “Shalat Jum‘at mereka sah selama matahari belum terbenam, meskipun mereka menunaikan shalat ‘Ashar setelah matahari terbenam.”
Al-Albani menyebutkan bahwa pendapat yang berlaku dalam madzhab Mālikī adalah bahwa selama waktu Zhuhur darurat belum habis dan masih bisa menunaikan shalat Jum‘at lalu masih tersisa waktu sekitar 4 rakaat sampai matahari terbenam untuk menunaikan shalat ‘Ashar maka boleh melakukannya. Dia berkata: “Ini adalah waktu darurat. Adapun waktu Ikhtiyār, maka ia harus dilakukan setelah matahari tergelincir. Apabila waktunya telah habis dan masuk waktu ‘Ashar, bila dia telah menunaikannya 1 rakaat dengan kedua sujudnya sebelum masuk waktu ‘Ashar maka dia boleh menambahkan dengan rakaat lain dan shalat Jum‘atnya sah. Sedangkan bila shalatnya kurang dari itu maka dia tetap melanjutkannya dan menyempurnakannya (4 rakaat) sebagai Zhuhur.” (5954).
- Mereka sepakat bahwa apabila orang-orang tidak menunaikan shalat Jum‘at karena tertinggal maka mereka harus menunaikan shalat Zhuhur. (5965).
- Mereka berbeda pendapat, apakah mereka boleh menunaikan shalat Zhuhur secara berjamā‘ah (bila ketinggalan shalat Jum‘at) atau harus menunaikannya sendiri-sendiri?
Abū Ḥanīfah dan Mālik berkata: “Mereka harus menunaikannya sendiri-sendiri.”
Aḥmad dan asy-Syāfi‘ī berkata: “Mereka boleh menunaikannya secara berjamā‘ah.” (5976).
Catatan:
- 592). Lih. al-Majmū‘ (4/407), al-Mughnī (2/199), dan Raḥmat-ul-Ummah (61).
- 593). Lih. Al-Isyrāf (1/410).
- 594). Lih. al-Mughnī (2/158), Badā’i‘-ish-Shanā’ī‘ (2/212), dan al-Majmū‘ (4/422).
- 595). Lih. al-Majmū‘ (4/433), Badā’i‘-ish-Shanā’ī‘ (2/213), dan al-Mughnī (2/159).
- 596). Lih. Al-Mudawwanah (1/286), al-Mughnī (2/163), dan Badā’i‘-ish-Shanā’ī‘ (2/217).
- 597). Lih. Raḥmat-ul-Ummah (62) dan al-Mughnī (2/199).