Mālik, asy-Syāfi‘ī, dan Aḥmad berkata: “Shalat Jum‘atnya tidak sah dan dia harus menyempurnakannya sebagai Zhuhur bila dia meniatkannya.”
Abū Ḥanīfah berkata: “Apabila ma’mūm mendapati Imām shalat Jum‘at sedang berada di akhir shalatnya baik Tasyahhud maupun sujud sahwi maka dia boleh melanjutkan shalatnya dan shalatnya sah.” Pendapat ini juga dinyatakan oleh Abū Yūsuf.
Muḥammad bin al-Ḥasan berkata: “Dia harus shalat 4 rakaat dan shalat Jum‘atnya tidak sah.”
Abū Ḥanīfah berkata: “Shalat mereka batal secara umum dan harus memulai lagi dengan shalat Zhuhur.”
Asy-Syāfi‘ī berkata: “Mereka boleh melanjutkannya sebagai shalat Zhuhur.”
Aḥmad berkata: “Mereka boleh menyempurnakannya dengan 1 rakaat berikutnya dan shalat Jum‘at mereka sah.”
Adapun madzhab Mālik dalam masalah ini, para fuqahā’ Mālikiyyah meriwayatkan pendapat yang berbeda-beda darinya. Ibnu al-Qāsim berkata: “Shalat Jum‘at mereka sah selama matahari belum terbenam, meskipun mereka menunaikan shalat ‘Ashar setelah matahari terbenam.”
Al-Albani menyebutkan bahwa pendapat yang berlaku dalam madzhab Mālikī adalah bahwa selama waktu Zhuhur darurat belum habis dan masih bisa menunaikan shalat Jum‘at lalu masih tersisa waktu sekitar 4 rakaat sampai matahari terbenam untuk menunaikan shalat ‘Ashar maka boleh melakukannya. Dia berkata: “Ini adalah waktu darurat. Adapun waktu Ikhtiyār, maka ia harus dilakukan setelah matahari tergelincir. Apabila waktunya telah habis dan masuk waktu ‘Ashar, bila dia telah menunaikannya 1 rakaat dengan kedua sujudnya sebelum masuk waktu ‘Ashar maka dia boleh menambahkan dengan rakaat lain dan shalat Jum‘atnya sah. Sedangkan bila shalatnya kurang dari itu maka dia tetap melanjutkannya dan menyempurnakannya (4 rakaat) sebagai Zhuhur.” (5954).
Abū Ḥanīfah dan Mālik berkata: “Mereka harus menunaikannya sendiri-sendiri.”
Aḥmad dan asy-Syāfi‘ī berkata: “Mereka boleh menunaikannya secara berjamā‘ah.” (5976).