Sebagian ‘ulamā’ memakruhkan hal-hal yang tersebut di bawah ini ketika berpuasa:
(1). Mencium bunga atau bebauan yang mencolok (ada beberapa ‘ulamā’ yang menghukumkan mubāḥ);
(2). Berbekam/menyedot darah.
(3). Mengecap makanan dengan lidah, dan mengunyah-ngunyah benda keras yang tidak hancur, seperti karet dan sebagainya.
(4). Mewisalkan puasa, yaitu menyambung puasa sampai 2 hari, 2 malam dianggap merupakan hal yang makruh. Madzhab Syāfi‘ī bahkan menghukumkan hal ini sebagai haram. Pada masanya Nabi Muḥammad s.a.w. memang pernah mewishalkan puasa yang kemudian diikuti para sahabat namun kemudian beliau melarang mereka. (HR. Bukhārī-Muslim). Beberapa ‘ulamā’ fikih berpendapat puasa wishal merupakan syariat yang khusus bagi seorang Nabi dan tidak untuk diikuti umatnya.
Di luar hal di atas, dimakruhkan pula mencumbu istri, sekalipun tidak sampai berjima‘, seperti mencium dan menyentuh tubuh istri yang membangkitkan syahwat. Begitu pula kebanyakan tidur, mandi berulang-ulang, memakai wangi-wangian yang mencolok, serta menyikat gigi pada waktu siang hari.
Dahulu, ketika perintah wajib berpuasa diberlakukan, kaum Muslim melakukan makan minum dan bersetubuh di kala terbenam matahari sampai shalat ‘Isyā’, sesudah itu mereka tidak lagi makan minum dan berjima‘.
Suatu hari terjadilah pelanggaran atas aturan itu yang dilakukan Sayyidinā ‘Umar ibn Khaththāb. Pada suatu malam sesudah ‘Umar shalat ‘Isyā’, beliau menggauli istrinya karena lupa. Sesudah terjadi pelanggaran itu, dengan menyesal beliau pergi kepada Rasūlullāh s.a.w. menanyakan hukumnya. ‘Umar menceritakan kesalahannya dengan terus-terang, bangunlah beberapa shahabat yang lain, menyatakan bahwa mereka pun pernah melanggar aturan itu. ‘Umar memohon maaf karena telah melakukan pelanggaran.
Pada suatu hari terjadi pula suatu peristiwa pelanggaran terhadap hukum puasa yang dilakukan oleh Qais Ibn Syirmah. Sesudah melaksanakan shalat ‘Isyā’ istri Qais meminta idzin untuk mencari barang sedikit makanan dari salah seorang shahabat. Sementara istri Qais pergi mencari makanan itu, Qais pun berbaring-baring dan kemudian tertidur. Di waktu sang istri Qais pulang ke rumah. Qais telah tertidur nyenyak. Sang istri melihat suaminya yang telah tertidur nyenyak, lalu menyimpan makanan itu, karena ia mengetahui tak ada faedahnya lagi membangunkan suaminya, lantaran tidak dibolehkan makan lagi. Qais tidur dengan tidak makan sedikit pun. Pada hari esoknya terasalah kepayahan puasanya, karena dua hari berturut-turut tidak makan. Setelah mendekati kepayahan yang sangat berat itu ia mengadukan hal tersebut kepada Rasūlullāh s.a.w.; Rasūlullāh s.a.w. lalu menyuruh Qais untuk berbuka dengan mengqadha’nya kelak.
Berkenaan dengan perbuatan ‘Umar dan Qais ini, Allah s.w.t. menurunkan ayat yang membolehkan bersetubuh dengan istri, memboleh jima‘, dan membolehkan makan minum di malam hari bulan puasa hingga terbit fajar, dengan tak ada pembatasan sebagai yang sudah-sudah.
“….Telah dihalalkan bagimu di malam hari bulan puasa mendekati istri; mereka (istri) itu pakaianmu dan kamu pakaian mereka….” (QS. al-Baqarah [2]: 186-187).
Adapun hal-hal yang membatalkan puasa adalah sebagai berikut:
(1). Membatalkan Niat untuk Berpuasa.
Apabila seseorang membatalkan niatnya untuk berpuasa, maka puasanya menjadi batal kendati pun ia tidak makan dan minum karena niat merupakan salah satu rukun puasa.
(2). Makan dan minum dengan sengaja.
Allah s.w.t. berfirman:
“Dan makan dan minumlah kamu sehingga nyata padamu benang putih dari benang hitam yaitu fajar.” (QS. al-Baqarah [2]: 187).
Diriwayatkan oleh al-Bukhārī dan Muslim dari Abū Hurairah, Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
“Demi Tuhan yang diriku di tangan-Nya, sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa lebih wangi di sisi Allah dari bau kasturi, ia meninggalkan makannya dan syahwatnya karena Aku.”
Diriwayatkan oleh ad-Dāruquthnī dari Abū Hurairah, bahwa Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
“Barang siapa lupa ia berpuasa lalu ia makan dan minum maka hendaklah ia sempurnakan puasanya. Kejadian itu adalah karena Allah telah memberi makan dan minum kepadanya.”
Diberitakan oleh Aḥmad dari Ummu Isḥāq bahwa Ummu Isḥāq (seorang budak yang telah dimerdekakan seorang shahabat) berada di sisi Rasūlullāh s.a.w., lalu dibawa kepada Rasūlullāh s.a.w. Maka makanlah aku (Ummu Isḥāq) satu mangkuk tsarīd beserta Rasūlullāh s.a.w. Kemudian aku teringat bahwa aku berpuasa, lalu aku kabarkan kepada Rasūlullāh s.a.w. Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Sempurnakanlah puasamu, yang telah kamu makan hanya rezeki yang telah diberikan Allah kepadamu.”
Jika seorang yang dengan sengaja merusakkan puasa dengan makan atau minum maka sebagian ‘ulamā’ mewajibkan ia mengqadhā’ puasanya. Dalil mereka ialah mafhūm mukhālafah dari sabda Rasūlullāh s.a.w. yang diriwayatkan oleh ad-Dāruquthnī dari Abū Hurairah yaitu:
“Barang siapa berbuka sehari dari Ramadhān karena lupa, maka tak ada qadha’ atasnya, dan tak ada kaffarat (denda).”
Dari hadits ini dipahami bahwa makan minum dengan sengaja mewajibkan qadhā’. Namun di antara ‘ulamā’ ada pula yang mewajibkan kaffārat, mengingat perintah Rasūlullāh s.a.w. kepada orang yang berjima‘ di bulan Ramadhān.
Sementara itu, Ahl-ut-Taḥqīq yang tidak berhujjah dengan mafhūm mukhālafah, tidak mewajibkan qadhā’ (ganti) terhadap mereka yang sengaja tidak mau berpuasa, dan yang sengaja membatalkannya dengan makan dan minum. Mereka berkata bahwa membatalkan puasa dengan sengaja adalah sautu kesalahan besar, tak dapat diganti oleh qadhā’, tak ada keterangan yang mewajibkan qadhā’ dan tak ada yang menerangkan bahwa qadhā’ itu melepaskan tanggung-jawab. Terutama bila kita renungkan hadits yang diriwayatkan Ibn Khuzaimah dari Abū Hurairah:
“Barang siapa berbuka sehari dari puasa Ramadhān tanpa ‘udzur dan sakit, tiadalah dapat diganti (puasanya yang rusak itu) oleh puasa sepanjang masa, walaupun dilakukannya.”
(3). Bersetubuh.
Apabila seseorang bersetubuh di siang hari dalam keadaannya berpuasa, maka batallah puasanya dan wajiblah dia mengqadhā’ serta diberi kaffārat (denda). Apabila seseorang merusakkan puasanya dengan bersetubuh ia wajib membayar denda, yaitu memerdekakan seorang budak, jika tak sanggup, hendaklah berpuasa dua bulan berturut-turut, jika tak sanggup pula, hendaklah memberi makanan 60 orang miskin.
Pada malam hari terbenam matahari hingga terbit fajar, dibolehkan kita makan, minum, dan bersetubuh, sebagaimana yang ditegaskan oleh firman Allah s.w.t.:
“Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang diri-Ku, maka terangkanlah kepada mereka: sesungguhnya Aku dekat. Aku memperkenankan doa orang yang bermohon apabila ia bermohon kepada-Ku. Karenanya hendaklah mereka memenuhi seruan-Ku dan mengimani-Ku, mudah-mudahan mereka mendapat petunjuk. Telah dihalalkan bagimu di malam hari bulan puasa mendekati istri; mereka (istri) itu pakaianmu dan kamu pakaian mereka. Karena itu, Allah mengetahui bahwasanya kamu mengkhianati dirimu. Karena itu Allah menerima tobatmu dan memaafkan kesalahanmu. Maka sekarang dekatilah mereka (istri-istri) dan campurilah mereka dan carilah apa yang telah Allah tetapkan untukmu; makanlah kamu dan minumlah kamu di malam hari, sehingga nyata kepadamu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasamu, hingga malam (terbenam matahari). Dan janganlah kamu mendekati istri-istrimu, sedangkan kamu beri‘tikaf dalam masjid. Itulah batas-batas yang telah Allah tetapkan; karena itu janganlah kamu mendekati batas-batas itu. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatNya (hukum-hukumNya) kepada kamu, semoga kamu menjadi orang-orang yang bertaqwa.” (QS. al-Baqarah [2]: 186-187).
Allah s.w.t. menurunkan ayat ini untuk membolehkan perbuatan-perbuatan yang pada awalnya tidak dibolehkan.
(4). Bersetubuh Di Waktu Fajar karena Menyangka Belum Fajar.
Apabila seseorang bersetubuh karena menyangka fajar masih lama, lalu waktu fajar pun masuk atau kedengaran kumandang adzan Shubuḥ, maka ia wajib menghentikan persetubuhan dengan segera (langsung) tak boleh ia teruskan lagi. Jika ia teruskan, berarti ia telah merusak puasanya dengan sengaja. Demikian pulalah halnya dengan orang yang makan dan minum waktu itu.
Jelasnya apabila seorang makan atau minum, karena menyangka telah terbenam matahari atau belum terbit fajar, kemudian nyata berlawanan dengan persangkaannya, maka menurut pendapat Jumhur ‘Ulamā’, di antaranya Imam empat, wajib mengqadhā’ (mengganti) puasanya.
Namun menurut pendapat Isḥāq, Dāūd, Ibnu Ḥazam, ‘Athā’, ‘Urwah, al-Ḥasan-ul-Bashrī, dan Mujāhid, puasanya itu sah, tidak mewajibkan qadhā’.
Diriwayatkan oleh ‘Abd-ur-Razzāq:
“Aku duduk dalam masjid Rasūlullāh s.a.w. di bulan Ramadhān di masa ‘Umar Ibn Khaththāb. Maka dibawalah kepada kami suatu tempayan besar dari rumah Ḥafshah, di dalamnya ada minuman. Maka kami pun minum. Pada waktu itu kami berpendapat, bahwa matahari telah terbenam, kemudian awan pun hilang dan tampaklah matahari. Berkata Zaid: “Para hadirin berkata: “Kita qadhā’kan satu hari di tempatnya (sebagai penggantinya)”. Maka berkata ‘Umar: “Demi Allah kita tiada mengqadhā’nya, kita tidak berbuat dosa.”
Namun jika makan minum, dan bersetubuh, karena benar-benar tidak tahu dan menyangka matahari telah terbenam (telah malam), atau menyangka belum Shubuḥ, tidak merusakkan (membatalkan) puasa. Hal ini berdasarkan firman Allah:
“Tak ada dosa atas kamu terhadap pekerjaan yang kamu lakukan dengan khilaf, tetapi dosa itu dengan disengaja oleh hatimu.”
Diriwayatkaan oleh al-Bukhārī dari Asmā’ binti Abī Bakar, ujarnya:
“Pada suatu hari dalam keadaan mendung di masa Rasūlullāh s.a.w. kami berbuka kemudian ternyata matahari belum terbenam.”
(5). Memasukkan Makanan yang tidak Mengenyangkan ke dalam Perut lewat Kerongkongan.
Para ‘ulamā’ sepakat menetapkan bahwa puasa batal dengan makan dan minum. Adapun makan benda yang tidak mengenyangkan (bukan makanan dan minuman, garam umpamanya), maka jumhur ahli ilmu berpendapat membatalkan puasa juga.
(6). Muntah dengan Sengaja.
Sebagian ‘ulamā’ berpendapat bahwa puasa batal karena muntah yang sengaja. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Aḥmad dari Abū Hurairah. Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
“Barang siapa terpaksa muntah, niscaya tak ada qadhā’ atasnya. Barang siapa sengaja muntah, hendaklah ia mengqadhā’nya.”
Kemudian hendaklah dimaklumi, bahwa batalnya puasa karena muntah haruslah dengan kesengajaan. Sebagian ‘ulamā’ berpendapat bahwa muntah yang sengaja membatalkan puasa, jika ada yang kembali ke dalam perut. Al-Khaththābī berkata: “Saya tidak mengetahui ada perselisihan paham antara ahli ilmu bahwa yang terpaksa muntah tak ada qadhā’ atasnya. Tetapi orang yang sengaja muntah, wajib mengqadhā’ puasanya.”
(7). Melihat Bulan.
Apabila seseorang yang sedang berpuasa, tiba-tiba melihat awal bulan Syawwāl (hilāl), maka batal puasanya.
(8). Mendapat Haidh.
Wanita tidak boleh berpuasa selama dalam keadaan haidh dan nifas, bahkan haram dan hendaklah mengqadhā’nya.
Diriwayatkan oleh Bukhārī dan Muslim dari ‘Ā’isyah ujarnya: “Kami mendapat haidh di masa Rasūlullāh s.a.w. maka kami diperintahkan mengqadhā’ puasa namun tidak diperintahkan mengqadhā’ shalat.”
(9). Berkekam.
Dalam masalah berbekam, para shahabat berbeda pendapat. ‘Alī ibn Abī Thālib, Abū Mūsā al-Asy‘arī, dan Ibn ‘Umar berpendapat bahwa berbekam itu membatalkan puasa, baik yang dibekam atau pun yang membekam. Karena itu sebagian shahabat berbekam di malam hari. Begitu juga madzhab Aḥmad ibn Ḥanbal, Ibnu Khuzaimah, Ibn Mundzir dan Abū Tsaur.
Ibnu ‘Abbās, Zaid ibn Arqam, ‘Ā’isyah, Ummu Salamah, ‘Urwah ibn Zubair dan Sa‘īd ibn Jubair, membolehkan berbekam dan tidak membatalkan puasa. Pendapat ini juga yang dipakai oleh madzhab Mālikī dan asy-Syāfi‘ī.
Beberapa ‘ulamā’ menghukumkan makrūh bagi bekam untuk orang yang menjadi lemah karenanya. Hukum fashad (memetik darah) dan tasrīth (menggaris-garis badan dengan benda tajam) disamakan dengan berbekam.
(10). Mengeluarkan Mani dengan Tangan (onani).
Mengeluarkan mani dengan tangan (onani) termasuk perbuatan yang membatalkan puasa. Demikian kata sebagian fuqahā’ (ahli fikih). Tapi menurut pendapat sebagian ‘ulamā’ lainnya, tidak membatalkan puasa, karena nash (hukum dari al-Qur’ān atau hadits yang dipakai sebagai alasan atau dasar untuk memutuskan suatu masalah) yang menegaskan batalnya puasa karena onani tidak ada.
Bermimpi basah dalam berpuasa juga tidaklah membatalkan puasa. Dalam hukum ini tidak ada perselisihan pendapat para fuqahā’. Juga demikian hukumnya bagi orang yang keluar mani, lantaran membayangkan persetubuhan, tidak membatalkan puasa. Tapi sebagian ‘ulama’ berpendapat orang tersebut sudah membatalkan pahala puasanya.