Sesudah usianya makin lanjut, kekuatannyapun sudah berkurang dan sudah tidak kuat lagi ia mengurus Makkah sebagaimana mestinya, kunci Rumah itupun diserahkannya kepada ‘Abd-ud-Dār, demikian juga soal air minum, panji dan persediaan makanan. Setiap tahun Quraisy memberikan sumbangan dari harta mereka yang diserahkannya kepada Qushayy guna membuatkan makanan pada musim ziarah. Makanan ini kemudian diberikan kepada mereka yang datang tidak dalam kecukupan. Qushayy adalah orang yang pertama mewajibkan kepada Quraisy menyiapkan persediaan makanan. Dikumpulkannya mereka itu dan ia sangat merasa bangga terhadap mereka ketika bersama-sama mereka berhasil mengeluarkan Khuzā‘ah dari Makkah. Ketika mewajibkan itu ia berkata kepada mereka:
“Saudara-saudara Quraisy! Kamu sekalian adalah tetangga Tuhan, keluarga Rumah-Nya dan Tempat yang Suci. Mereka yang datang berziarah adalah tamu Tuhan dan pengunjung Rumah-Nya. Mereka itulah para tamu yang paling patut dihormati. Pada musim ziarah itu sediakanlah makanan dan minuman sampai mereka pulang kembali.”
Seperti ayahnya, ‘Abd-ud-Dār juga telah memegang pimpinan Ka‘bah dan kemudian diteruskan oleh anak-anaknya. Akan tetapi anak-anak ‘Abdu Manāf sebenarnya mempunyai kedudukan yang lebih baik dan terpandang juga di kalangan masyarakatnya. Oleh karena itu, anak-anak ‘Abdu Manāf, yaitu Hāsyim, ‘Abdu Syams, Muththalib dan Naufal sepakat akan mengambil pimpinan yang ada di tangan sepupu-sepupu mereka itu. Tetapi pihak Quraisy berselisih pendapat: yang satu membela satu golongan yang lain membela golongan yang lain lagi.
Keluarga ‘Abdu Manāf mengadakan Perjanjian Mutayyabun dengan memasukkan tangan mereka ke dalam thibb, (yaitu bahan wangi-wangian) yang dibawa ke dalam Ka‘bah. Mereka bersumpah takkan melanggar janji. Demikian juga pihak Keluarga ‘Abd-ud-Dār mengadakan pula Perjanjian Ahlaf: Antara kedua golongan itu hampir saja pecah perang yang akan memusnakan Quraisy, kalau tidak cepat-cepat diadakan perdamaian. Keluarga ‘Abdu Manāf diberi bagian mengurus persoalan air dan makanan, sedangkan kunci, panji dan pimpinan rapat di tangan Keluarga ‘Abd-ud-Dār. Kedua belah pihak setuju, dan keadaan itu berjalan tetap demikian, sampai pada waktu datangnya Islam.
Tugas-tugas Duniawi dan Agama di Makkah
Hāsyim termasuk pemuka masyarakat dan orang yang berkecukupan. Dialah yang memegang urusan air dan makanan. Dia mengajak masyarakatnya seperti yang dilakukan oleh Qushayy kakeknya, yaitu supaya masing-masing menafkahkan hartanya untuk memberi makanan kepada pengunjung pada musim ziarah. Pengunjung Baitullāh, tamu Tuhan inilah yang paling berhak mendapat penghormatan. Kenyataannya memang para tamu itu diberi makan sampai mereka pulang kembali.
Peranan yang dipegang Hāsyim tidak hanya itu saja, bahkan jasanya sampai ke seluruh Makkah. Pernah terjadi musim tandus, dia datang membawakan persediaan makanan, sehingga kembali penduduk itu menghadapi hidupnya dengan wajah berseri. Hāsyim jugalah yang membuat ketentuan perjalanan musim, musim dingin dan musim panas. Perjalanan musim dingin ke Yaman, dan perjalanan musim panas ke Suria.
Dengan adanya semua kenyataan ini keadaan Makkah jadi berkembang dan mempunyai kedudukan penting di seluruh jazirah, sehingga ia dianggap sebagai ibukota yang sudah diakui. Dengan perkembangan serupa itu tidak ragu-ragu lagi anak-anak ‘Abdu Manāf membuat perjanjian perdamaian dengan tetangga-tetangganya. Hāsyim sendiri membuat perjanjian sebagai tetangga baik dan bersahabat dengan Imperium Rumawi dan dengan penguasa Ghassān. Pihak Rumawi mengijinkan orang-orang Quraisy memasuki Suria dengan aman. Demikian juga ‘Abdu Syāms membuat pula perjanjian dagang dengan Najasyī (Negus). Selanjutnya Naufal dan Muththalib juga membuat persetujuan dengan Persia dan perjanjian dagang dengan pihak Ḥimyar di Yaman.
Makkah sekarang bertambah kuat dan bertambah makmur. Demikian pandainya penduduk kota itu dalam perdagangan sehingga tak ada pihak lain yang semasa yang dapat menyainginya. Rombongan kafilah datang ke tempat itu dari segenap penjuru dan berangkat lagi pada musim dingin dan musim panas. Di sekitar tempat itu didirikan pasar-pasar guna menjalankan perdagangan itu. Itu pula sebabnya mereka jadi cekatan sekali dalam utang-piutang dan riba serta segala sesuatu yang berhubungan dengan perdagangan. Tak ada yang teringat akan menyaingi Hāsyim yang kini sudah makin lanjut usianya itu dalam kedudukannya sebagai penguasa Makkah. Hanya kemudian terbayang oleh Umayyah anak ‘Abdu Syāms -sepupunya – bahwa sudah tiba masanya kini ia akan bersaing. Tetapi dia tidak berdaya, dan kedudukan itu tetap dipegang Hāsyim. Sementara itu Umayyah telah meninggalkan Makkah dan selama sepuluh tahun tinggal di Suria.
Pada suatu ketika dalam perjalanan pulang dari Suria, ketika Hāsyim melalui Yathrib dilihatnya seorang wanita baik-baik dan terpandang, muncul di tengah-tengah orang yang sedang mengadakan perdagangan dengan dia. Wanita itu ialah Salmā anak ‘Amr dari kabilah Khazrāj. Hāsyim merasa tertarik. Ditanyakannya, adakah ia sedang dalam ikatan dengan laki-laki lain? Setelah diketahui bahwa dia seorang janda dan tidak mau kawin lagi kecuali bila ia memegang kebebasan sendiri, Hāsyim lalu melamarnya. Dan wanita itupun menerima, karena dia mengetahui kedudukan Hāsyim di tengah-tengah masyarakatnya.
Beberapa waktu lamanya ia tinggal di Makkah dengan suaminya. Kemudian ia kembali ke Yathrib. Di kota ini ia melahirkan seorang anak yang diberi nama Syaibah.
Beberapa tahun kemudian dalam suatu perjalanan musim panas ke Ghazza (Gaza). Hāsyim meninggal dunia. Kedudukannya digantikan oleh adiknya, Muththalib. Sebenarnya Muththalib ini masih adik ‘Abdu Syāms. Tetapi dia sangat dihormati oleh masyarakatnya. Karena sikapnya yang suka menenggang dan murah hati oleh Quraisy ia dijuluki al-Faidh, (“Yang melimpah”). Dengan keadaan Muththalib yang demikian itu di tengah-tengah masyarakatnya, sudah tentu segalanya akan berjalan tenteram sebagaimana mestinya.
Pada suatu hari terpikir oleh Muththalib akan kemenakannya, anak Hāsyim itu. Ia pergi ke Yathrib. Dan karena anak itu sudah besar, dimintanya kepada Salmā supaya anaknya itu diserahkan kepadanya. Oleh Muththalib dibawanya pemuda itu ke atas untanya dan dengan begitu ia memasuki Makkah. Orang-orang Quraisy menduga bahwa yang dibawa itu budaknya. Oleh karena itu mereka lalu memanggilnya: ‘Abd-ul Muththalib (Budak Muththalib). “Hai,” kata Muththalib. “Dia kemenakanku anak Hāsyim yang kubawa dari Yathrib.” Tetapi sebutan itu sudah melekat pada pemuda tersebut. Orang sudah memanggilnya demikian dan nama Syaibah yang diberikan ketika dilahirkan sudah dilupakan orang.
Pada mulanya Muththalib ingin sekali mengembalikan harta Hāsyim untuk kemenakannya. Tetapi Naufal menolak, lalu menguasainya. Sesudah ‘Abd-ul-Muththalib mempunyai kekuatan ia meminta bantuan kepada saudara-saudara ibunya di Yathrib terhadap tindakan saudara ayahnya itu dengan maksud supaya miliknya dikembalikan kepadanya. Untuk memberikan bantuan itu pihak Khazrāj di Yathrib mengirimkan delapan puluh orang pasukan perang. Dengan demikian Naufal terpaksa mengembalikan harta itu.
Sekarang ‘Abd-ul-Muththalib sudah menempati kedudukan Hāsyim. Sesudah pamannya Muththalib, dialah yang mengurus pembagian air dan persediaan makanan. Dalam mengurus dua jabatan ini terutama urusan air – ia menemui kesulitan yang tidak sedikit. Sampai saat itu anaknya hanyalah seorang, yaitu Ḥārith. Sedang persediaan air untuk tamu – sejak terserapnya sumur Zamzam didatangkan dari beberapa sumur yang terpencar-pencar sekitar Makkah, yang kemudian diletakkan di sebuah kolam di dekat Ka‘bah. Anak yang banyak itu akan merupakan bantuan besar dan memudahkan pekerjaan serupa ini serta pengawasannya sekaligus. Sebaliknya, kalau ‘Abd-ul-Muththalib harus memikul jabatan penyediaan air dan makanan sedang anak hanya Ḥārith satu-satunya, tentu hal ini akan terasa berat sekali. Ini jugalah yang lama menjadi pikiran.