Makkah di Bawah Jurhum – Sejarah Hidup Muhammad – Haekal

حَيَاةُ مُحَمَّدٍ (ص)
SEJARAH HIDUP MUHAMMAD
Oleh: Muhammad Husain Haekal

 
Diterjemahkan dari bahasa ‘Arab oleh: Ali Audah
Penerbit: PUSTAKA JAYA

Rangkaian Pos: Bagian Kedua - Makkah - Ka'bah & Quraisy

Makkah di Bawah Jurhum

 

Tatkala Ka‘bah dibangun menurut gambaran yang ada dalam khayal kita – tidak lebih Makkah hanya terdiri dari kabilah-kabilah Amalekit dan Jurhum. Sesudah Ismā‘īl menetap di sana dan bersama-sama dengan ayahnya memasang sendi-sendi rumah itu, barulah Makkah mengalami perkembangan. Untuk beberapa waktu yang cukup lama kemudian ia menjadi sebuah kota atau yang menyerupai kota. Kita katakan menyerupai kota, karena Makkah dengan penduduknya waktu itu masih membawa sifat sisa-sisa keterbelakangan dalam arti yang sangat bersahaja. Beberapa penulis sejarah tidak keberatan dalam menyebutkan, bahwa Makkah itu masih terbelakang sebelum semua urusan berada di tangan Qushayy pada pertengahan abad kelima Masehi itu. Sukar bagi kita akan dapat membayangkan suatu daerah seperti Makkah dengan Rumah Purbanya yang dianggap suci itu akan tetap berada dalam suasana hidup pengembaraan. Padahal sejarah membuktikan bahwa persoalan Rumah Suci itu berada di tangan Ismail dalam lingkungan keluarga Jurhum selama beberapa generasi kemudian. Mereka tinggal di sekitar tempat itu, di samping Makkah masa itu memang tempat pertemuan kafilah-kafilah dalam perjalanan ke Yaman, Ḥirā’, Syām dan Najd. Juga hubungannya dengan Laut Merah yang tidak jauh dari tempat itu merupakan hubungan langsung dengan perdagangan dunia. Sukar akan dapat dibayangkan adanya suatu daerah dalam keadaan demikian itu akan tetap tanpa ada pendekatan dari dunia lain dari segi peradabannya. Beralasan sekali dugaan kita, bahwa Makkah, yang sudah didoakan oleh Ibrāhīm dan ditetapkan Allah akan menjadi suatu daerah yang aman sentosa, sudah mengenal hidup stabil selama beberapa generasi sebelum Qushayy.

Meskipun sudah dikalahkan oleh Amalekit, Makkah masih di tangan Jurhum sampai pada masa Mudzādz bin ‘Amr ibn Ḥārith. Selama dalam masa generasi ini perdagangan Makkah mengalami perkembangan yang pesat sekali di bawah kekuasaan orang-orang yang biasa hidup mewah, sehingga mereka lupa bahwa mereka berada di tanah tandus dan bahwa mereka perlu selalu berusaha dan selalu waspada. Demikian lalainya mereka itu sehingga Zamzam menjadi kering dan pihak kabilah Khuzā‘ah merasa perlu memikirkan akan turut terjun memegang pimpinan di tanah suci itu.

Peringatan Mudzādz kepada masyarakatnya tentang akibat hidup berfoya-foya, tidak berhasil. Ia yakin sekali bahwa hal ini akan menghanyutkan mereka semua. Kemudian ia berusaha menggali Zamzam lebih dalam lagi. Diambilnya dua buah pangkal pelana emas dari dalam Ka‘bah beserta harta yang dibawa orang sebagai sesajen ke dalam Rumah Suci itu. Dimasukkannya semua itu ke dalam dasar sumur, sedang pasir yang masih ada di dalamnya dikeluarkan, dengan harapan pada suatu waktu ia akan menemukannya kembali. Ia keluar dengan anak-anak Ismā‘īl dari Makkah. Kekuasaan sesudah itu dipegang oleh Khuzā‘a. Demikian seterusnya turun-temurun sampai kepada Qushayy bin Kilāb, nenek (kakek) Nabi Muḥammad yang kelima.

Fāthimah bint Sa‘d bin Sahl kawin dengan Kilāb dan mempunyai anak bernama Zuhrah dan Qushayy. Kilāb meninggal dunia ketika Qushayy masih bayi. Kemudian Fāthimah kawin lagi dengan Rabī‘ah bin Ḥarām. Kemudian mereka pergi ke Syām dan di sana Fāthimah melahirkan Darrāj. Qushayy semakin besar juga dan ia hanya mengenal Rabī‘ah sebagai ayahnya. Lambat-laun antara Qushayy dengan pihak kabilah Rabī‘ah terjadi permusuhan. Ia dihina dan dikatakan berada di bawah perlindungan mereka, padahal bukan dari pihak mereka Qushayy mengadukan penghinaan itu kepada ibunya.

“Ayahmu lebih mulia dari mereka,” kata ibunya kepada Qushayy. “Engkau anak Kilāb bin Murrah, dan keluargamu di Makkah menempati Rumah Suci.”

Qushayy lalu pergi ke Makkah, dan menetap di sana. Karena pandangannya yang baik dan mempunyai kesungguhan, orang-orang di Makkah sangat menghormatinya. Pada waktu itu pengawasan Rumah Suci di tangan Hulail bin Hubsyiah – orang yang berpandangan tajam dari kabilah Khuzā‘ah. Tatkala Qushayy melamar putrinya, Ḥubbah, ternyata lamarannya diterima baik dan kawinlah mereka. Qushayy terus maju dalam usaha dan perdagangannya, yang membuat ia jadi kaya, harta dan anak-anaknya pun banyak pula. Di kalangan masyarakatnya ia makin terpandang. Hulail meninggal dengan meninggalkan wasiat supaya kunci Rumah Suci di tangan Ḥubbah putrinya. Tetapi Ḥubbah menolak dan kunci itu dipegang oleh Abū Ghibsyān dari kabilah Khuzā‘ah. Tetapi Abū Ghibsyān ini seorang pemabuk. Ketika pada suatu hari ia kehabisan minuman keras kunci itu dijualnya kepada Qushayy dengan cara menukarnya dengan minuman keras.

Khuzā‘ah sudah memperhitungkan betapa kedudukannya nanti bila pimpinan Ka‘bah itu berada di tangan Qushayy sebagai orang yang banyak hartanya dan orang yang mulai berpengaruh di kalangan Quraisy. Mereka merasa keberatan bilamana masalah pimpinan Rumah Suci berada di tangan pihak lain selain mereka sendiri. Pada waktu Qushayy meminta bantuan Quraisy, beberapa kabilah memang sudah berpendapat bahwa dialah penduduk yang paling kuat dan sangat dihargai di Makkah. Mereka mendukung Qushayy dan berhasil mengeluarkan Khuzā‘ah dari Makkah. Sekarang seluruh pimpinan Rumah Suci itu sudah di tangan Qushayy dan dia diakui sebagai pemimpin mereka.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *