Lupa dan Ragu dalam Shalat – Fiqih Lima Madzhab

FIQIH LIMA MADZHAB
(Ja‘farī, Ḥanafī, Mālikī, Syāfi‘ī, Ḥanbalī)
(Judul Asli: Al-Fiqhu ‘Alal-Madzāhib-il-Khamsah)
Oleh: Muhammad Jawad Mughniyah.

Penerjemah: Masykur A.B., Afif Muhammad, Idrus al-Kaff.
Penerbit: PT LENTERA BASRITAMA

BAB 20

LUPA DAN RAGU DALAM SHALAT

 

Para ulama dari seluruh madzhab sepakat bahwa orang yang meninggalkan salah satu kewajiban shalat dengan sengaja maka shalatnya menjadi batal. Dan Kalau ia meninggalkannya karena lupa, ia harus menggantikannya dengan sujud sahwī, dengan cara-cara yang diterangkan berikut ini:

Ḥanafī: Sujud sahwī itu adalah dua kali sujud, membaca tasyahhud dan memberi salām, kemudian membaca shalawat atas Nabi saw, serta membaca doa.

Letak sujud sahwī menurut madzhab ini adalah sesudah shalat, dengan syarat waktunya masih luas. Apabila seseorang lupa sesuatu kewajiban shalat dalam shalat Shubuḥ misalnya, kemudian matahari terbit sebelum ia melakukan sujud sahwī maka menjadi gugurlah keharusannya melakukan sujud sahwī itu.

Adapun sebab-sebab sahwī itu adalah apabila orang meninggalkan kewajiban shalat, atau menambahkan rukun shalat seperti rukū‘ dan sujud. Jika ia lupa berkali-kali, maka cukup baginya dua kali sujud saja, sebab mengulangi sujud sahwī itu tidak digariskan dalam madzhab mereka. Dan kalau seseorang lupa dalam sujud sahwīnya, maka tidak ada sujud sahwī baginya. Demikian disebutkan dalam kitab Majma‘-ul-Anhār, Jilid I, bab sujud sahwī.

Maliki: Sujud sahwī itu jumlahnya dua kali sujud, yang diakhiri dengan bacaan tasyahhud tanpa doa dan shalawat atas Nabi s.a.w.

Adapun letak sujud sahwī menurut madzhab Mālikī harus diperhatikan, jika karena kekurangan saja atau karena kekurangan dan kelebihan bersamaan, maka letaknya adalah sebelum salām. Dan kalau karena kelebihan saja, maka letaknya sesudah salām.

Juga harus diperhatikan sebab-sebab yang mengharuskan sujud sahwī itu. Jika kelupaan itu dalam hal kekurangan dan yang ditinggalkan itu sunnah mustaḥabbah, maka harus dilakukan sujud sahwī. Dan jika yang ditinggalkan itu adalah salah satu dari kewajiban shalat, maka tidak dapat digantikan dengan sujud sahwī, tetapi harus dikerjakan kewajiban yang sama. Dan ciptaan rupanya itu karena lebih mengerjakan sesuatu rukun shalat, misalnya menambah satu atau dua rukū‘, atau menambah satu atau dua rakaat, maka itu boleh diganti dengan sujud sahwī.

Ḥanbalī: Sujud sahwī boleh dilakukan sebelum dan sesudah salām. Jumlahnya dua kali sujud dengan diakhiri tasyahhud dan salām. Sebab dilakukannya sujud sahwī itu, menurut madzhab Ḥanbalī adalah karena kelebihan, kekurangan atau keraguan.

Yang dimaksud dengan kelebihan di sini adalah seperti kalau orang menambah qiyām (tegak) atau qu‘ūd (duduk). Orang yang duduk, padahal seharusnya ia berdiri, atau ia berdiri padahal seharusnya ia duduk, maka ia harus melakukan sujud sahwī.

Adapun dalam hal kekurangan, maka ia mempunyai ‘Amaliyyah (tata cara) tersendiri dalam bahasa mereka. Yaitu, jika seseorang ingat bahwa ia telah lupa melakukan salah satu rukun atau kewajiban shalat sebelum ia memulai pembacaan al-Fātiḥah pada rakaat berikutnya maka ia harus mengulang apa yang ia lupakan tersebut dan kemudian melakukan sujud sahwī. Tetapi kalau ia tidak ingat sehingga ia selesai membaca al-Fātiḥah pada rakaat berikutnya, maka rakaat dianggap menggantikan merekap sebelumnya dan digugurkan, kemudian sujud sahwī.

Sebagai contoh: Seseorang lupa tidak rukū‘ pada rakaat pertama dan setelah sujud baru diingatnya. Dalam kasus ini, ia harus rukū‘ baru kemudian mengulang sujud. Tetapi jika ia baru ingat sesudah masuk ke rakaat kedua dan setelah membaca al-Fātiḥah, maka rakaat pertama tadi dianggap gugur, dan rakaat kedua ini menjadi rakaat pertama.

Sedangkan keraguan yang mengharuskan sujud sahwī itu contohnya adalah sebagai berikut: Seseorang merasa ragu-ragu dalam meninggalkan atau jumlah rakaat, maka dalam kasus ini, ia harus menetapkan atas dasar yang lebih meyakinkan dan kemudian melakukan apa yang diragukanya. Sesudah selesai shalat dengan sempurna, barulah ia melakukan sujud sahwī. Cukup dua kali sujud saja untuk semua kelupaan, walaupun yang menyebabkannya berbilang. Sebab menurut mereka, tidak ada sujud sahwī karena banyak lupa. Maksudnya cukup satu sujud sahwī saja untuk lupa yang banyak.

Syāfi‘ī: Waktu sujud sahwī adalah sesudah tasyahhud dan shalawat atas Nabi s.a.w. dan sebelum salām. Adapun sifatnya adalah sama seperti madzhab-madzhab terdahulu. Sedangkan sebabnya adalah karena meninggalkan sunnah mu’akkadah, dan atau menambah sedikit perkataan, atau menambah bacaan al-Fātiḥah karena lupa. atau karena mengikuti orang yang dalam shalatnya ada kekurangan, atau karena ragu-ragu dalam jumlah rakaat, atau meninggalkan bagian tertentu.

Imāmiyyah: Dalam hal ini, Imāmiyyah telah membedakan antara hukum ragu-ragu dan hukum lupa itu. Mereka mengatakan: Keraguan dalam af‘āl shalat tidaklah diperhatikan jika terjadi setelah selesai mengerjakan shalat, juga terhadap keraguan Ma’mūm dalam jumlah rakaat dengan keyakinan Imām, dan keraguan Imām dengan keyakinan Ma’mūm, itu semua dikembalikan kepada apa yang diingat oleh yang lain. Dan tidak pula diperhatikan keraguan yang baik, dan keraguan dalam salah satu afāl setelah masuk kepada afāl lainnya yang berurutan dengannya. Apabila seseorang ragu-ragu dalam hal pembacaan al-Fātiḥah, dan ia sudah mulai membaca surat; atau ragu-ragu dalam pembacaan surat, sedangkan ia telah rukū‘, atau ragu-ragu dalam rukū‘ sedang dia telah sujud, maka dalam semua kasus ini ia harus meneruskan shalatnya dan tidak perlu memperhatikannya.

Adapun jika ia ragu-ragu sebelum masuk af‘āl (perbuatan) berikutnya, maka wajib atasnya melakukan apa yang ia ragukan itu. Orang yang ragu-ragu, apakah sudah membaca surat al-Fātiḥah atau belum, dan itu diingatnya sebelumnya memulai membaca surat, maka dalam hal ini, ia harus membaca al-Fātiḥah. Begitu juga kalau ia lupa membaca surat sebelum rukū‘, maka ia harus membacanya.

Sedangkan sujud sahwī itu dilakukan untuk semua kelebihan dan kekurangan selain dari membaca dengan suara keras (jahar) di kala seharusnya membaca pelan (ikhfat), atau membaca dengan pelan ketika harus membaca dengan keras, maka keduanya ini tidak diharuskan sujud sahwī. Begitulah juga rukun shalat, karena kelebihan atau kekurangan dalam rukun itu membatalkan shalat, baik karena lupa maupun sengaja.

Adapun rukun shalat menurut mereka ada lima: Niat, Takbīrat-ul-Iḥrām, qiyām (berdiri), rukū‘, ke dua sujud dalam satu rakaat.

Semua bagian surat yang tinggal karena lupa, tidak wajib diperbaiki sesudah shalat kecuali sujud dan tasyahhud. Yang mana kedua itu wajib di-qadhā’ (diulang) dan dilaksanakan sesudah shalat dan kemudian melakukan sujud sahwī. Sifat sujud sahwī menurut mereka adalah dua kali sujud, dan dalam sujud itu membaca:

بِسْمِ اللهِ وَ بِاللهِ، اللهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ آلِ مُحَمَّدٍ.

Kemudian membaca tasyahhud dan memberi salam. Sujud sahwī wajib dilakukan beberapa kali dengan beberapa sebab yang mengharuskannya. Dan bagi orang yang pelupa, tidak wajib melakukan sujud sahwī, begitu juga orang yang lupa dalam sujud sahwī-nya.

Ragu Tentang Jumlah Rakaat

Syāfi‘ī, Mālikī dan Ḥanbalī: Apabila seseorang merasa ragu-ragu dalam jumlah rakaat yang dikerjakannya, ia tidak tahu sudah berapa rakaat yang dikerjakan, maka hendaklah ditetapkannya atas dasar yang lebih meyakinkan, yaitu dengan jumlahnya paling sedikit, kemudian menyempurnakan shalat dengan sisa rakaat yang belum dikerjakan.

Ḥanafī: Jika keraguannya dalam shalat itu merupakan yang pertama kali dalam hidupnya, maka ia harus mengulangi shalat itu dari permulaan. Dan kalau sebelumnya ia pernah ragu-ragu dalam shalatnya, maka hendaklah kita renungkannya sejenak, dan kemudian melakukan menurut persangkaannya yang lebih kuat. Jika masih tetap ragu-ragu, maka ia harus menetapkan atas jumlah yang lebih sedikit, karena yang demikian lebih meyakinkan.

Imāmiyyah: Jika keraguan itu timbul pada shalat-shalat yang jumlahnya dua rakaat, seperti shalat Shubuḥ, shalat musāfir, shalat Jum‘at, shalat ‘īdain (dua hari raya), shalat gerhana atau pada shalat Maghrib, atau pada dua rakaat pertama pada shalat-shalat yang jumlahnya empat rakaat, yaitu ‘Isyā’, Zhuhur dan ‘Ashar, maka shalatnya menjadi batal dan harus diulang dari permulaan. Namun kalau keragu-raguan itu timbul pada dua rakaat terakhir pada shalat rubā‘iyyah (yang jumlahnya empat rakaat), maka hendaklah kita kerjakan shalat iḥtiyāth setelah menyelesaikan shalat dan sebelum melakukan hal-hal lain.

Contoh: Seseorang merasa ragu-ragu antara dua rakaat dan tiga rakaat sesudah menyelesaikan dua sujud, maka ia harus menetapkan atas jumlah yang lebih banyak, dan menyempurnakan shalat, kemudian shalat iḥtiyāth dua rakaat sambil duduk, atau satu rakaat sambil berdiri. Jika ia ragu-ragu antara tiga rakaat dan empat rakaat, maka ia harus menetapkan empat rakaat, lalu ia sempurnakan shalatnya, kemudia mengerjakan shalat iḥtiyāth satu rakaat sambil berdiri atau dua rakaat sambil duduk. Jika ia ragu-ragu antara dua rakaat dan empat rakaat, maka hendaklah ditetapkannya empat rakaat, kemudian kerjakan shalat iḥtiyāth dua rakaat sambil berdiri. Dan jika ragu-ragu antara dua rakaat, tiga rakaat dan empat rakaat, maka hendaklah ditetapkannya empat rakaat, kemudian ia kerjakan shalat iḥtiyāth dua rakaat sambil berdiri dan dua rakaat sambil duduk.

Mereka memberi alasan untuk menjaga hakekat shalat dan menghindarkan penambahan dan pengurangan dalam shalat. Jelasnya adalah seperti yang disebutkan dalam contoh berikut: Orang yang merasa ragu-ragu antara tiga rakaat dan empat rakaat, lalu ia menetapkannya empat rakaat, setelah itu ia mengerjakan satu rakaat terpisah setelah selesai shalat. Seandainya shalat yang sudah dikerjakan yaitu sempurna, maka satu rakaat terpisah yang ia kerjakan tadi dianggap sebagai nāfilah (shalat sunnah). Dan jika memang shalatnya kurang satu rakaat, maka rakaat terpisah tadi adalah sebagai pelengkapnya. Bagaimanapun, shalat iḥtiyāth dengan cara demikian ini hanya terdapat dalam madzhab Imāmiyyah.

Tata cara shalat iḥtiyāth seperti yang dijelaskan di atas, pada madzhab Imāmiyyah hanya terbatas pada shalat-shalat fardhu saja terutama pada shalat Zhuhur, ‘Ashar dan ‘Isyā’. Sedangkan untuk shalat-shalat sunnah, orang boleh memilih menetapkan antara yang lebih sedikit atau yang lebih banyak, kecuali bila merusak shalat, seperti kalau orang yang ragu-ragu apakah ia sudah mengerjakan shalat dua rakaat atau tiga rakaat, padahal diketahuinya shalat sunnah itu hanya dua rakaat, maka dalam hal ini harus menetapkan pada yang lebih sedikit. Memang, yang lebih utama adalah menetapkan pada bilangan yang lebih kecil secara mutlak pada shalat-shalat sunnah. Dan kalau ia merasa ragu-ragu dalam shalat iḥtiyāth, maka hendaklah ditetapkannya pada yang lebih banyak, kecuali kalau yang lebih banyak itu bisa membatalkan, maka dalam hal ini harus menetapkan pada jumlah rakaat yang lebih sedikit. Sebagian ulama Imāmiyyah menyatakan hendaknya dipilih antara menetapkan jumlah rakaat yang lebih sedikit dan yang lebih banyak.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *