Setelah Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī berkata:
وَ لَا تَخُضْ فِي الرُّوْحِ إِذْ مَا وَرَدَا | نَصٌّ مِنَ الشَّارِعِ لكِنْ وُجِدَا |
لِمَالِكٍ هِيْ صُوْرَةٌ كَالْجَسَدِ | فَحَسْبُكَ النَّصُّ بِهذَا السَّنَدِ. |
“Dan janganlah engkau mendalami pembahasan tentang rūḥ, karena tidak ada nash dari Syāri‘ (Allah s.w.t.), tetapi pengikut madzhab Mālik berpendapat bahwa rūḥ berbentuk seperti jasad. Maka, cukuplah bagi engkau nash dengan sanad ini.”
Kita semua, orang-orang Ahl-us-Sunnah wal-Jamā‘ah, tidak boleh membahas dan membicarakan tentang rūḥ (dalam redaksi lain menggunakan kata ta‘ruhah). Sehingga ma‘nanya adalah: “Wahai orang-orang mu’min, janganlah kalian semua membahas tentang rūḥ. Sebab, masalah rūḥ tidak disebutkan dalam al-Qur’ān dan Hadits,” maksudnya tidak ada penjelasan tentang hakikat rūḥ dalam al-Qur’ān dan Hadits. Akan tetapi, madzhab Imām Mālik menyatakan bahwa hakikat rūḥ adalah jisim yang mempunyai bentuk seperti jasad dalam bentuk dan sifatnya. Maka, cukupkanlah dengan pendapat yang disandarkan pada Imām Mālik ini.
Orang-orang mu’min tidak diperbolehkan membahas masalah rūḥ. Sebab, rūḥ hanya diketahui oleh sifat ‘ilmu Allah saja, tidak ada satu makhluq pun yang mengetahuinya. Oleh karenanya, seorang mu’min tidak diperkenankan membahasnya. Allah s.w.t. berfirman:
قُلِ الرُّوْحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّيْ وَ مَا أُوْتِيْتُمْ مِّنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيْلًا
“Katakanlah! Rūḥ adalah bagian dari urusan Tuhanku, dan Aku tidak memberi kalian ‘ilmu kecuali hanya sedikit.” (QS. al-Isrā’ [17]: 85).
Ayat ini menunjukkan bahwa makhluq sangat lemah. Bagaimana bisa ada sesuatu yang diyakini ada di antara lambungnya sendiri, tapi dia tidak tahu bentuk dan warnanya, tidak tahu tempatnya, di bagian atas atau bawah, berwarna merah, hijau atau putih, besar atau kecil. Kita hanya bisa meyakini bahwa rūḥ itu ada. Hakikatnya seperti apa, hanya Allah yang mengetahui. (1601).
Dalam hal ini, Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ رَبَّهُ.
“Barang siapa mengetahui rūḥnya (nafsu/dirinya – nafsahu), maka ia benar-benar mengetahui Tuhannya.”
Siapakah orang yang mengaku bisa mengetahui rūḥnya? Tidak ada. Barang siapa yang mengaku mengetahui rūḥnya, maka dia mengaku mengetahui Tuhannya. Padahal tidak ada yang bisa mengetahui Allah selain Allah sendiri.
Oleh karenanya, jangan sekali-kali tertipu dan terpedaya oleh keyakinan ahli filsafat yang mengatakan bahwa rūḥ tidak berada di dalam tubuh, ia bagaikan bayang-bayang. Jika seseorang mati, rūḥnya akan kembali kepada pemilik bayang-bayang. Ini adalah keyakinan orang kafir ahli filsafat.
Menurut Imām Mālik, rūḥ adalah jisim yang memiliki bentuk seperti jasad. Menurut satu pendapat, rūḥ memiliki jisim, dua tangan, dua mata, dan kepala. Pendapat yang membahas tentang hakikat rūḥ tidak ada yang mu‘tamad. Imām Nawawī berkata: “Pendapat yang mu‘tamad adalah pendapatnya Imām al-Ḥaramain yang menyatakan bahwa rūḥ adalah jisim yang halus, jernih dan bersinar, bertempat di tubuh sebagaimana getah dalam pohon, rūḥ bertempat secara merata di seluruh anggota tubuh”. Menurut pendapat lain, rūḥ berada di perut, ada juga yang menyatakan di hati atau di dekat hati. Adapun menurut pendapat yang mu‘tamad, hanya Allah yang tahu tempat rūḥ. (1612).
Semua pembahasan tadi adalah ketika manusia masih hidup. Adapun jika sudah mati, rūḥ orang-orang yang bahagia berada di pelataran kubur, ada juga yang berpendapat berada di dekat Nabi Ādam a.s. Sedangkan rūḥ orang-orang kafir berada di Sijjīn, ya‘ni bumi ke tujuh yang terbawah.
Adapula yang berpendapat bahwa setelah mati, rūḥ orang-orang mu’min berada di dalam sumur zamzam, sedangkan rūḥ orang-orang kafir berada di dalam sumur Barhut di tanah Ḥadhramaut. Wallāhu a‘lam.
Ketahuilah! Menurut Syaikh Ibnu ‘Abd-is-Salām, rūḥ ada dua:
Rūḥ ini jika menetap di tubuh, seseorang akan terjaga. Jika rūḥ ini berkelana, seseorang akan tertidur dan bisa melihat sesuatu dalam mimpi. Tempat rūḥ ini berada di antara dua alis.
Jika rūḥ ini menetap di tubuh, seseorang akan hidup. Jika ia tidak ada, seseorang akan mati. Tempatnya ada di dalam tubuh, tapi tidak tentu di sebelah mana. Wallāhu a‘lam.
Pendapat yang paling baik dalam masalah rūḥ adalah mauqūf, jangan membahasnya lagi. Hanya Allah Yang Maha Mengetahui tempat dan wujud rūḥ. Kita hanya wajib meyakini bahwa rūḥ kita ada. Jangan berpikir dan berangan-angan seperti apa warna, bentuk, dan tempatnya. Kita wajib meyakini dengan mantap bahwa Dzāt Allah s.w.t. wajib adanya. Jangan berangan-angan apapun, kita hanya wajib mengetahui sifat dan af‘āl-nya. Kita orang-orang awam jangan membahas rūḥ-ul-Idhāfī, rūḥ-ul-Jasmanī, rūḥ-ur-Rabbānī dan lainnya, karena dikhawatirkan malah akan menimbulkan kekufuran.