Larangan Ketika Buang Air – Bab Thaharah – Ringkasan Fiqih Mazhab Syafi’i

RINGKASAN FIQIH MAZHAB SYAFI‘I
(Penjelasan Kitab Matan Abu Syuja‘ dengan Dalil al-Qur’an dan Hadits)
Oleh: Musthafa Dib al-Bugha

Penerjemah: Toto Edidarmo
Penerbit: Noura Books (PT Mizan Publika)

Rangkaian Pos: Bab 1 Bersuci (Thahārah) - Ringkasan Fiqih Mazhab Syafi'i

Larangan Ketika Buang Air.

Orang yang buang hajat di tempat terbuka(sahara) tidak boleh menghadap atau membelakangi arah qiblat. (1).

(1). Al-Bukhārī dan Muslim merawikan dari Abū Ayyūb al-Anshārī yang berkata:

عَنِ النَّبِيِّ (ص) قَالَ: إِذَا أَتَيْتُمُ الْغَائِطَ فَلَا تَسْتَقْبِلُوا الْقِبْلَةَ وَ لَا تَسْتَدْبِرُوْهَا بِبَوْلٍ وَ لَا غَائِطٍ وَ لكِنْ شَرِّقُوْا أَوْ غَرِّبُوْا.

“Dari Nabi s.a.w. yang bersabda: “Jika kalian hendak buang air kecil atau air besar, janganlah menghadap qiblat atau membelakanginya, tetapi menghadaplah ke barat atau ke timur.” (al-Bukhārī, al-Qiblah, Bab “Qiblatu Ahl-il-Madīnati wa Ahl-isy-Syāmi wal-Masyriq”, hadits no. 386; Muslim ath-Thahārah, Bab al-Istithābah”, hadits no. 264. Redaksi hadits dari riwayat Muslim). [Qiblat penduduk Madīnah adalah arah selatan sehingga yang dipeintah Nabi s.a.w. adalah menghadap barat atau tirmu – peny.]

Larangan menghadap dan membelakangi qiblat ini berlaku khusus untuk orang yang membuang hajat di gurun pasir serta tempat-tempat terbuka yang tidak ada penghalangnya. Hal ini dijelaskan oleh hadits yang diriwayatkan dari ‘Umar r.a.:

اِرْتَقَيْتُ فَوْقَ ظَهْرِ بَيْتِ حَفْصَةَ لِبَعْضِ حَاجَتِيْ، فَرَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ (ص) يَقْضِيْ حَاجَتَهُ مُسْتَدْبِرَ الْقِبْلَةِ مُسْتَقْبِلَ الشَّامِ.

Suatu ketika aku naik ke atap rumah Ḥafshah untuk suatu keperluan. Tidak sengaja, aku melihat Rasūlullāh s.a.w. sedang buang air dengan membelakangi qiblat, menghadap arah Syām (Suriah),” (al-Bukhārī, al-Wudhū’, Bab at-Tabarruz fil-Buyūt”, hadits no. 147; Muslim, ath-Thahārah, Bab “al-Istithābah”, hadits no. 266).

Hadits di atas menunjukkan bahwa membuang hajat dengan membelakangi qiblat itu dibolehkan jika tempat buang hajat tertutup atau ada penghalangnya. Hal ini diperkuat oleh kesaksian Jābir bin ‘Abdillāh r.a. yang berkata: “Nabi s.a.w. melarang buang air kecil dengan menghadap qiblat, tetapi aku (tidak sengaja) melihat beliau buang air kecil dengan menghadap qiblat (di tempat tertutup), setahun sebelum beliau wafat. (Lihat: Abū Dāūd, ath-Thahārah, Bab “ar-Rukhshatu fī Dzālika, hadits no. 13; at-Tirmidzī, ath-Thahārah, Bab “Mā Jā’a fī Rukhshati Dzālika, hadits no. 1029). Jadi, larangan menghadap qiblat dan membelakanginya pada saat buang hajat terbatas pada area buang hajat yang terbuka seperti sahara, dan pada saat tidak ada penghalang antara orang yang buang air dengan arah qiblat.

***

Seseorang tidak boleh buang air kecil atau air besar di air yang menggenang (1), di bawah pohon yang berbuah, di jalan (yang biasa dilalui manusia), di tempat berteduh (azh-zhill) (2), dan di lubang. (3)

(1). Hal tersebut dapat menyebabkan orang lain merasa jijik dengan kotoran yang tercampur, meskipun volume air yang menggenang itu banyak sehingga tidak menyebabkan air menjadi najis. Selain itu, ia dapat menyebabkan hilangnya air suci, bilamana kotoran yang dibuang sampai mencemari kesucian air yang menggenang tersebut. Hal ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan dari Jābir r.a. berikut:

عَنِ النَّبِيِّ (ص) أَنَّهُ نَهَى أَنْ يُبَالَ فِي الْمَاءِ الرَّاكِدِ.

Dari Nabi s.a.w. bahwasanya beliau melarang kencing di air yang menggenang.” (Muslim, ath-Thahārah, Bab “an-Nahyu ‘an-il-Bauli fil-Mā’-ir-Rākid”, hadits no. 281).

Buang air besar di air yang menggenang itu lebih dilarang dibandingkan kencing. Larangan ini berimplikasi pada hukum makrūh (dikerjakan boleh dan ditinggalkan mendapatkan pahala), apabila air yang menggenang itu banyak. Apabila air yang menggenang itu sedikit maka menurut Imām an-Nawawī, seperti dijelaskan dalam Syarḥ Muslim dan al-Majmū‘, larangan tersebut berimplikasi pada hukum haram (ditinggalkan mendapatkan pahala dan dikerjakan tidak boleh). Sebab, perbuatan tersebut menyebabkan kerusakan pada air dan mencemari linkungannya.

(2). Maksudnya, tempat istirahat di pinggir jalan atau tempat berteduh di bawah bangunan, pohon, dan di pinggir sungai. Perbuatan tersebut dilarang karena dapat mengganggu kenyamanan orang yang berjalan atau berteduh.

Dalam hadits yang diriwayatkan dari Abū Hurairah r.a., dikatakan:

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ (ص) قَالَ: اتَّقُوا اللَّعَّانَيْنِ! قَالُوْا: وَ مَا اللَّعَّانَانِ، يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: الَّذِيْ يَتَخَلَّى فِيْ طَرِيْقِ النَّاسِ أَوْ فِيْ ظِلِّهِمْ.

Bahwasanya Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Hindarilah dua hal yang menyebabkan orang sering dilaknat!” Para shahabat bertanya: “Apakah dua hal tersebut wahai Rasūlullāh?” Rasūlullāh s.a.w. menjawab: “Membuang hajat di jalanan atau di tempat orang berteduh.” (Muslim, ath-Thahārah, Bab “an-Nahyu ‘an-it-Takhalli fith-Tharīq wazh-Zhilāl”, hadits no. 269).

(3). Maksudnya, lubang yang terdapat di tanah, tembok, atau yang lain. Perbuatan dilarang karena dapat mengganggu orang lain. Selain itu, ia juga dapat membahayakan diri sendiri karena terkadang di dalam lubang itu ada hewan yang membahayakan, seperti kalajengking dan ular yang dapat keluar seketika lalu menggigitnya. Bisa juga di lubang itu terdapat hewan lemah yang akan tersiksa oleh kotoran yang dibuang ke sana.

Dalam sebuah hadits, ‘Abdullāh bin Sarjas r.a. berkata:

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ (ص) نَهَى أَنْ يُبَالَ فِي الْجُحْرِ.

Bahwasanya Rasūlullāh s.a.w. melarang kencing di lubang.” Abū Dāūd, ath-Thahārah, Bab “an-Nahyu ‘an-il-Bauli fil-Juhr,” hadits no. 29; an-Nasā’ī, ath-Thahārah, Bab “Karḥāat-ul-Bauli fil-Juhr”, hadits no. 34).

Dalam riwayat an-Nasā’ī disebutkan: Dari Qatādah r.a. yang berkata: “Hal itu karena liang di tanah adalah tempat tinggal jinn.

***

Seseorang juga tidak boleh berbicara ketika kencing atau buang air besar (1) dan tidak boleh menghadap atau membelakangi matahari dan bulan. (2).

(1). Maksudnya, berbicara atau sejenisnya di saat sedang membuang hajat adalah perbuatan yang makrūh. Hal ini sesuai dengan pesan hadits yang dituturkan oleh Ibnu ‘Umar r.a.: “Seorang laki-laki melewati Rasūlullāh s.a.w. yang sedang buang air kecil. Laki-laki itu mengucapkan salam kepada Rasūlullāh s.a.w., tetapi beliau tidak menjawabnya” (Muslim, al-Ḥaidh, Bab “at-Tayammum”, hadits no. 370).

Dalam hadits lain, Abū Sa‘īd r.a. menuturkan:

سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ (ص) يَقُوْلُ: لَا يَخْرُجُ الرَّجُلَانِ يَضْرِبَانِ الْغَائِطَ كَاشِفَيْنِ عَنْ عَوْرَتِهِمَا يَتَحَدَّثَانِ، فَإِنَّ اللهَ عَزَّ وَ جَلَّ يَمْقُتُ عَلَى ذلِكَ.

Aku mendengar Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Dua orang laki-laki yang sedang berada di jamban tidak boleh membuka (memperlihatkan) auratnya sambil bercakap-cakap. Sungguh, Allah ‘azza wa jalla membenci hal tersebut”.” Abū Dāūd, ath-Thahārah, Bab “Karāhat-ul-Kalāmi ‘ind-al-Ḥājah”, hadits no. 15; Ibnu Mājah, Bab “an-Nahyu ‘an-il-Ijtimā‘i ‘alal-Khalā’i wal-Ḥadītsi ‘anhu,” hadits no. 342).

Larangan berbicara ini menjadi analogi hukum untuk perbuatan yang lain, seperti makan, minum, bercanda, dan sebagainya.

(2). Imām an-Nawawī di dalam al-Majmū‘ (juz 1, hal. 103) menyebutkan bahwa kualitas hadits yang dijadikan sandaran ihwal larangan berbicara ketika buang hajat adalah hadits dha‘īf (lemah), bahkan bāthil (salah). Hadits yang shaḥīḥ (benar) dan masyhur adalah yang menyatakan bahwa menghadap qiblat dan membelakanginya itu makrūh.” Al-Khathīb di dalam al-Iqnā‘ (juz 1, hal. 46) menyatakan: “Pendapat ini (an-Nawawī) adalah yang dijadikan pegangan.”

Anjuran: Bagi orang yang membuang hajat, dianjurkan untuk membaca doa dan zikir yang bersumber dari hadits Rasūlullāh s.a.w., baik ketika akan masuk ke peturasan (kamar mandi) maupun setelah keluar darinya.

Ketika masuk ke peturasan (kamar mandi) atau jamban, dianjurkan membaca:

بِسْمِ اللهِ، اللهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْخُبُثِ وَ الْخَبَائِثِ.

Dengan nama Allah. Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari syaithan laki-laki dan syaithan perempuan.

Ketika keluar dari peturasan (kamar mandi) atau jamban, dianjurkan membaca:

غُفْرَانَكَ الْحَمْدُ للهِ الَّذِيْ أَذْهَبَ عَنِّي الْأَذَى وَ عَافَانِيْ.

Ampunilah aku, Segala puji bagi Allah yang telah melenyapkan penyakit dariku dan memberiku kesehatan.”

Doa ketika masuk ke peturasan atau jamban dapat dirujuk ke: Shaḥīḥ-ul-Bukhārī, al-Wudhū’, Bab “Mā Yaqūlu ‘Indal-Khalā’,” hadits no. 142; Shaḥīḥu Muslim, al-Ḥaidh, Bab “Mā Yaqūlu Idzā Arāda Dukhūl-ul-Khalā’,” hadits no. 375 (dalam riwayat ini tidak disebutkan kata (بِسْمِ اللهِ); tambahan redaksi (بِسْمِ اللهِ) hanya terdapat pada Sunan-ut-Tirmidzī, ath-Thahārah, Bab “Mā Dzukira minat-Tasmiyati ‘Inda Dukhūl-Khalā’,” hadits no. 606; Sunanu Ibni Mājah, ath-Thahāratu wa Sunnatuhā, Bab “Mā Yaqūl-ur-Rajūlu Idzā Dakhal-al-Khalā’,” hadits no. 297. Secara lengkap, doa tersebut dilaporkan oleh Ibnu Abī Syaibah di awal kitab Mushannaf-nya, ath-Thahārah, Bab “Mā Yaqūl-ur-Rajūlu idzā Dakhal-al-Khalā’,” juz 1, hal. 1.

Doa ketika keluar dari peturasan atau jamban, dapat dirujuk ke Sunanu Abī Dāūd, ath-Thahārah, Bab “Mā Yaqūl-ur-Rajūlu idzā Kharaj min-al-Khalā’,” hadits no. 30; Sunan-ut-Tirmidzī, ath-Thahārah, Bab “Mā Yaqūlu idzā Kharaj min-al-Khalā’,” hadits no. 300-301.

Selain doa keluar dari peturasan tersebut, ada doa lain yang dapat ditambahkan:

الْحَمْدُ للهِ الَّذِيْ أَذَاقَنِيْ لَذَّتَهُ، وَ أَبْقَى فِيْ قُوْتِهِ، وَ دَفَعَ عَنِّيْ أَذَاهُ.

Segala puji bagi Allah yang telah merasakan nikmat (makanan) kepadaku, menyisakan (gizinya) dalam tubuhku, dan menghilangkan penyakitnya dariku.” (Dirawikan oleh Ibn-us-Sunnī dan ath-Thabrānī, sebagaimana dikutip oleh an-Nawawī dalam al-Adzkār, Bab “Mā Yaqūlu Idzā Kharaja min-al-Khalā’.”).

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *