Sebagaimana perkataan Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī:
فَأَهْلُ بَدْرِ نِالْعَظِيْمُ الشَّانِ | فَأَهْلُ أُحْدٍ بَيْعَةُ الرِّضْوَانِ. |
“Lalu (mereka diiringi oleh) Ahlu Badar yang agung, lantas Ahlu Uḥud, lantas Ahlu Bai‘t-ir-Ridhwān.”
Setelah sepuluh sahabat tadi, urutan selanjutnya adalah para sahabat yang ikut serta dalam perang Badar yang agung karena diikuti oleh para malaikat, jinn, dan manusia. Lalu para sahabat yang ikut serta dalam peperangan di gunung Uḥud, dan orang-orang yang ikut serta dalam Bai‘t Ridhwān.
Urutan derajat keutamaan setelah sepuluh sahabat tadi adalah para sahabat yang ikut perang Badar baik yang mati syahid maupun yang masih hidup. Orang-orang mu’min berangkat dari Madīnah pada tanggal 12 Ramadhān tahun 2 Hijriyyah. Peperangan terjadi pada hari Jum‘at tanggal 17 Ramadhān, pasukan muslim berjumlah 313 orang, dalam riwayat yang lain 317 orang, terdiri dari 3 orang penunggang kuda, 70 penunggang unta, sisanya berjalan kaki. Adapun jumlah pasukan musyrik adalah 1000 orang, yang terdiri dari 100 penunggang kuda, 700 penunggang unta, sisanya berjalan kaki. Pasukan muslim yang gugur berjumlah 14 orang, terdiri dari 6 sahabat Muhājirīn dan 8 sahabat Anshār.
Pasukan musyrik sampai lebih dulu di sungai Badar dan mengepung sungai tersebut sehingga pasukan muslim tidak memiliki persediaan air sama sekali, kemudian Allah s.w.t. menurunkan hujan yang deras sehingga bisa mengisi penuh tempat air dan memberi minum unta-unta mereka.
Pada malam hari saat turun hujan. Nabi Muḥammad shalat di bawah pohon hingga pagi. Sedangkan para sahabat sibuk membuatkan tempat berteduh untuk Nabi dan Sayyidinā Abū Bakar r.a. Nabi keluar ke tempat yang akan ditempati barisan perang dan bersabda: “Ini akan menjadi tempat wafatnya fulan, ini akan menjadi tempat wafatnya fulan, in syā’ Allāh.” Dan ada beberapa tempat lagi yang beliau tunjukkan.
Setelah itu beliau menata pasukan muslim menjadi beberapa baris, dilanjutkan dengan berkhuthbah untuk menasihati para sahabat agar tetap berada di barisan. Beliau mengkhiri khuthbahnya dengan membaca doa yang sangat menyentuh hati, beliau berdoa: “Ya Allah, jika hari ini pasukan muslim binasa, tidak akan ada lagi manusia yang menyembah-Mu di bumi ini. Jika hari ini kaum musyrik menang, maka dunia akan dipenuhi dengan kemusyrikan dan agama-Mu tidak akan pernah tegak.” Lalu beliau melakukan shalat dua rakaat dan mengulangi doa tadi dalam sujudnya dan memperbanyak membaca lafazh: (يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ) hingga sangat lama, sampai-sampai Sayyidinā Abū Bakar r.a. berkata kepada beliau: “Wahai Rasūlullāh, sudah cukup kiranya engkau berdoa, karena apa yang engkau pinta pasti akan dikabulkan.”
Rasūlullāh ikut terjun ke medan perang dan mengobarkan semangat kaum muslimin, saat peperangan berkecamuk, pasukan mu’min menjaga beliau. Nabi mengambil segenggam batu berikil dan melemparnya ke arah pasukan musyrik seraya bersabda:
شَاهَتِ الْوُجُوْهُ: اللهُمَّ ارْعَبْ قُلُوْبَهُمْ وَ زَلْزلْ أَقْدَامَهُمْ.
“Semoga jelek-jelek wajah itu, ya Allah, gentarkanlah hati mereka dan goncangkan pendirian-pendirian mereka.”
Tidak satu pun lemparan yang tidak mengenai mata pasukan musyrik dan mereka pun terbirit-birit melarikan diri.
Dalam peperangan ini ada 70 pasukan musyrik yang tertawan dan 70 pemuka mereka mati terbunuh, di antaranya adalah Abū Jahal, Umayyah bin Khalaf, dan ‘Utbah bin Rabī‘ah.
Perang Badar juga diikuti oleh 70 pasukan jinn muslim dan 3.000 hingga 5.000 malaikat. Orang-orang musyrik yang berhasil ditawan hidup-hidup di antaranya adalah Sayyidinā ‘Abbās r.a. dan 70 pasukan musyrik lainnya. Pada akhirnya semuanya masuk Islam karena pemimpin mereka (Sayyidinā ‘Abbās r.a.) beserta putranya masuk Islam. Wallāhu a‘lam.
Urutan selanjutnya adalah orang-orang muslim yang terlibat dalam perang Uḥud yang terjadi pada tahun 3 H., pendapat yang lain menyatakan tahun 4 H. Orang-orang muslim berangkat dari Madīnah setelah melaksanakan shalat Jum‘at tanggal 11 Syawwāl, ada pula yang menyatakan tanggal 7 atau tanggal 8 Syawwāl. Peperangan dimulai pada hari Sabtu.
Latar belakang terjadinya perang ini adalah keinginan balas dendam pasukan kafir Quraisy yang selamat pada perang Badar, anak-anak pasukan kafir Quraisy, dan orang yang memiliki hubungan saudara dengan mereka yang mati dalam perang Badar. Semuanya berunding dengan Abū Sufyān untuk mengajak membalas dendam pada kaum muslimin. Abū Sufyān menyumbangkan hartnya sejumlah 50.000 dinar dan 1.000 unta untuk biaya peperangan. Tiap pemimpin membawa seorang penyanyi wanita dengan membawa rebana untuk menyanyi guna mengingat orang-orang musyrik yang tewas pada perang Badar. Abū Sufyān membawa Hindu bin ‘Utbah, ‘Ikrimah bin Abī Jahal membawa Ummu Ḥakīm, Ḥārits bin Hisyām membawa Fāthimah binti Walīd bin Mughīrah dan lainnya. Setiap pemimpin membawa seorang perempuan sebagai penyemangat dan bernyanyi untuk mereka.
Dalam pasukan orang-orang musyrik terdapat 15 orang perempuan, 3.000 tentara, 200 kuda, dan 1.000 unta. Ketika sudah yakin akan berangkat ke Madīnah, Sayyidinā ‘Abbās bin Muththalib mengirimkan surat kepada Rasūlullāh yang diantar oleh seorang dari Bani Ghaffār yang harus sampai di Madīnah dalam jangka waktu 3 hari. Ketika surat tersebut sampai kepada Nabi, beliau keluar dari masjid Quba, membuka surat tersebut, menyerahkannya kepada Ubai bin Ka‘ab, kemudian beliau bersabda: “Rahasiakanlah surat ini dan jangan sampai terdengar oleh banyak orang.” Setelah itu beliau kembali ke Madīnah
Orang-orang munāfiq mulai membuat desas-desus bahwa Nabi akan kedatangan pasukan musuh dari Makkah yang jumlahnya ribuan, itulah yang menjadikan Nabi terlihat gundah.
Beberapa hari kemudian, Nabi Muḥammad mengumpulkan seluruh sahabatnya baik tua maupun muda. Seorang munāfiq bernama ‘Abdullāh bin Ubay bin Salūl juga ikut serta. Nabi Muḥammad menceritakan mimpinya: “Negara Madīnah akan diserbu oleh pasukan musuh. Jika kita semua keluar dari Madīnah, kita akan mendapatkan musibah, dan jika kita tetap berada di Madīnah, kita akan selamat. Bermusyawarahlah kalian semua wahai orang-orang mu’min.”
Para pembesar sahabat, termasuk juga ‘Abdullāh bin Ubay bin Salūl berkata kepada Nabi: “Kami siap mengikuti apa yang engkau katakan dan inginkan, jika para musuh memaksa masuk ke Negara kami, maka seluruh penduduk, baik laki-laki maupun perempuan akan melempari mereka dari atas rumah masing-masing sampai mereka keluar dari negara kami.”
Salah seorang sahabat yang masih awam dan dulu tidak mengikuti perang Badar berkata: “Wahai Rasūlullāh, sudah lama aku ingin mengikuti peperangan layaknya perang Badar, aku ingin mati syahid dalam peperangan. Jika Engkau tidak keluar dari negara ini, para sahabat mu’min akan dianggap lemah dan takut menghadapi mereka.”
Para sahabat, baik para pembesar maupun yang masih awam banyak yang menyampaikan hal serupa. Sudah ma‘lum adanya bahwa para sahabat lebih banyak yang awam. Rasūlullāh kemudian masuk ke dalam rumah, lalu keluar sambil menggenggam pedang dan memakai tameng di punggung beliau.
Melihat hal itu para sahabat merasa menyesal telah berani lancang pada Nabi, mereka berkata: “Wahai Rasūlullāh, kami semua mengikuti apa yang Engkau kehendaki, kami tidak akan keluar dari negara ini”. Mereka mengatakan itu saat Nabi sudah membawa pedang dan peralatan perang lainnya. Akhir peperangan pun tetap harus dilangsungkan dan pasukan akan diberangkatkan setelah shalat Jum‘at.
Rasūlullāh berangkat seusai shalat Jum‘at. Beliau menata barisan pada hari Sabtu pagi di salah satu lereng gunung Uhud, sedangkan pasukan musyrik berada di lereng yang lain. Beliau mengangkat ‘Abdullāh bin Zubair yang ahli memanah sebagai pemimpin perang. Beliau bersabda: “Belakangilah arah gunung dan menghadaplah ke arah Madīnah. Aku berada di belakang kalian, tetaplah seperti itu baik kalian menang maupun kalah. Jangan sekali-kali berpindah, kecuali ada perintah dariku.”
Kala itu pasukan muslim ada 1.000 orang. Di tengah peperangan, 300 tentara ‘Abdullāh bin Ubay bin Salūl al-Munāfiq berpaling dan bergabung dengan pasukan musyrik, sehingga pasukan muslim hanya tersisa 700 orang.
Petugas pembawa bendera pasukan muslim adalah Mush‘ab bin ‘Umair, sedang pembawa bendera pasukan musyrik adalah Thalḥah. Abū Sufyān menampakkan diri di barisan depan yang diikuti oleh pasukan-pasukan musyrik dan perempuan-perempuan penabuh genderang sambil bernyanyi.
Pembawa bendera pasukan musyrik terbunuh oleh Sayyidinā Ḥamzah r.a., lalu digantikan oleh pasukan musyrik lain dan terbunuh di tangan Sayyidinā ‘Alī r.a. hingga digantikan oleh tujuh pasukan musyrik lain yang kesemuanya terbunuh. Pasukan musyrik akhirnya kocar-kacir dan mundur dari medan peperangan dengan robohnya bendera mereka.
Dengan mundurnya pasukan musyrik, perempuan-perempuan musyrik yang mengikuti peperangan tertinggal di belakang pasukan laki-laki. Mereka ikut berlari hingga lengan tangannya yang kuning langsat, betis, dan gelang kaki mereka kelihatan. Hal ini membuat nafsu birahi sebagian kaum mu’min bergolak sehingga mereka mendatangi perempuan-perempuan musyrik tadi. Lalu ada pasukan kafir yang bernama Ufarā’ yang menyadarinya. Ia langsung menabuh genderang untuk memberi tahu pasukan musyrik lainnya, sehingga pasukan musyrik yang tadinya berlari mundur, maju kembali dan mengepung pasukan mu’min yang turun tadi, sehingga mereka pun gugur di medan pertempuran begitu pula Mush‘ab bin ‘Umair yang membawa bendera, saat itu ia memakai pakaian yang hampir sama dengan yang dikenakan oleh Rasūlullāh sehingga kaum musyrik menyangka bahwa Nabi sudah wafat.
Pasukan musyrik beramai-ramai memberi tahu pasukan lain bahwa Nabi Muḥammad sudah wafat. Pasukan muslim sangat terkejut mendengar hal itu. Karena sangat terkejut, sahabat Ḥamzah r.a. terjatuh dari kendaraannya sehingga baju rajutan beliau terlepas dan tersingkap hingga pusarnya terlihat. Melihat hal ini, seorang musyrik yang bernama Waḥsyī, budak yang dibeli Zubair bin Muth‘am, langsung mengarahkan tombak pada tubuh Ḥamzah r.a. sehingga seketika itu juga beliau wafat.
Waḥsyī pun merdeka karena tuannya berjanji memerdekakannya jika berhasil membunuh Sayyidinā Ḥamzah r.a. yang telah membunuh pamannya Zubair di perang Badar. Setelah Sayyidinā Ḥamzah r.a. wafat, hatinya diambil dan diberikan kepada Hindun binti Rabī‘ah, lalu Hindun memakannya dalam keadaan mentah.
Pasukan mu’min yang gugur berjumlah 70 orang dan 20 orang terluka parah. Rasūlullāh juga terluka karena kening beliau terkena lemparan batu dan wajah beliau juga luka-luka. Begitu pula Abū Bakar, ‘Umar bin Khaththāb, ‘Alī bin Abī Thālib. Sedangkan ‘Utsmān bin ‘Affān berlari bersama pasukan mu’min lainnya saat terdengar suara bahwa Nabi Muḥammad telah wafat.
Mendengar hal itu, Rasūlullāh langsung naik ke atas batu yang paling besar dan berdiri di sana agar pasukan mu’min bisa melihat beliau dan mengetahui beliau belum wafat. Beliau tidak mampu naik karena sangat kepayahan, lalu sahabat Thalḥah tengkurap agar Rasūlullāh bisa naik ke atas punggungnya, padahal saat itu di tubuh sahabat Thalḥah ada 70 luka atau bahkan lebih. Thalḥah mampu melakukannya karena keinginannya yang menggebu untuk bisa menjaga Rasūlullāh. Mengetahui banyaknya luka di tubuh Thalḥah, Nabi langsung mengusap bagian tubuh yang luka, atas idzin Allah, luka-luka itu sembuh seketika. Lalu Nabi bersabda: “Wahai Thalḥah, Wajib bagimu masuk surga.”
Pasukan masyrik berbalik ke medan perang karena melihat bendera mereka kembali berdiri tegak. Ada pula yang berpendapat bahwa pasukan mu’min berlari kocar-kacir meninggalkan markas karena ingin mengambil ghanīmah (harta rampasan perang). Mereka melanggar perintah Rasūlullāh agar menetap di tempat yang sudah beliau tentukan.
Setelah peperangan usai, jenazah Sayyidinā Ḥamzah r.a. dimaqamkan di bawah Gunung Uḥud beserta 70 syuhadā’ yang gugur di peperangan. Wallāhu a‘lam bis-shawāb.
Urutan selanjutnya adalah orang-orang yang berada dalam perjanjian Bai‘at Ridhwān, yakni perjanjian perang tatkala Rasūlullāh melaksanakan ‘umrah Ḥudaibiyyah. Ini terjadi pada tahun 6 H.
Kisahnya adalah, Saat Rasūlullāh pergi ke Makkah untuk melaksanakan ‘umrah, beliau berangkat bersama 1.500 orang mu’min. Lalu beliau beristirahat di daerah Ḥudaibiyyah. Rasūlullāh mengutus ‘Utsmān bin ‘Affān r.a. untuk menyampaikan surat kepada Abū Sufyān yang menjadi kepala negara kota Makkah. Isi surat tersebut berbunyi:
“Saya (Rasūlullāh) hendak berziarah ke Baitullāh untuk melaksanakan ‘umrah, tidak untuk berperang, hanya melaksanakan fardhu thawaf dan sa‘i. Setelah selesai, saya akan kembali. Saya membawa 1.500 orang mu’min.”
‘Utsmān bin ‘Affān r.a. berangkat (dari) Ḥudaibiyyah (ke Makkah) menunggang unta Rasūlullāh. Setelah bertemu, Abū Sufyān berkata: “Wahai ‘Utsmān, aku tidak mengidzinkan Muḥammad masuk ke Makkah pada tahun ini, tapi jika tahun depan, aku mengidzinkannya. Sedangkan engkau wahai ‘Utsmān, jika engkau hendak thawaf di Makkah seorang diri, aku akan mengidzinkanmu.
‘Utsmān menjawab: “Aku tidak akan thawaf dan sa‘i jika tidak bersama Rasūlullāh”. Mendengar jawaban itu, Abū Sufyān langsung marah karena melihat begitu dalamnya ‘Utsmān mengimani Nabi Muḥammad. ‘Utsmān akhirnya ditahan agar tidak bisa kembali kepada Nabi Muḥammad.
Pada malam harinya Abū Sufyān mengirim 80 orang untuk memastikan orang-orang mu’min hanya melakukan ‘umrah ataukah juga berniat perang. Mereka semua ditangkap dan diikat oleh orang-orang mu’min. Pada pagi harinya mereka dibawa ke hadapan Rasūlullāh. Beliau bersabda: “Lepaskan 80 orang ini agar mereka bisa kembali ke Makkah, jangan mengganggu mereka.”
Karena ‘Utsmān bin ‘Affān r.a. lama tidak kembali, Iblīs membuat desas-desus bahwa ‘Utsmān telah dibunuh orang-orang kafir Quraisy. Orang-orang mu’min berkabung dan kabar itu menjadi ramai. Lalu Rasūlullāh memanggil semua orang mu’min agar menghadap beliau, tangan kiri beliau memegang bahu kanan seraya bersabda: “Wahai orang-orang yang beriman, ‘Utsmān bin ‘Affān ibarat tangan kananku, apakah kalian semua rela jika tangan kananku ini terpotong?”
Orang-orang mu’min menjawab dengan serentak: “Kami tidak akan rela, wahai Rasūlullāh.” Rasūlullāh bersabda: “Apakah kalian semua berani berperang?” Mereka menjawab sambil saling berpegangan tangan: “Demi Allah, selama ruh masih dikandung badan, kami tidak akan pernah mundur dari peperangan.” Orang-orang musyrik mendengar bahwa Rasūlullāh beserta orang mu’min membuat perjanjian perang untuk sahabat ‘Utsmān r.a.
Sesampainya 80 orang musyrik ke Makkah, mereka langsung menghadap Abū Sufyān dan menyampaikan permohonan maaf Rasūlullāh. Mereka juga menceritakan bahwa Rasūlullāh tidak menyakiti mereka sedikit pun. Oleh sebab itu, ia bergegas memulangkan ‘Utsmān bin ‘Affān r.a. Kaum mu’min sangat bahagia melihat kedatangan ‘Utsmān di Ḥudaibiyyah. Lantas Rasūlullāh memerintahkan untuk taḥallūl (1342) serta membayar dam-ul-iḥshār (1353). Setelah itu, Nabi beserta orang-orang mu’min lainnya kembali ke Madīnah. Wallāhu a‘lam.
“Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit) maka (sembelihlah) qurban yang mudah didapat.” (QS. al-Baqarah [2]: 196).