Kurun Terbaik – Terjemah Tauhid Sabilul Abid KH. Sholeh Darat (1/2)

TERJEMAH TAUHID

سَبِيْلُ الْعَبِيْدِ عَلَى جَوْهَرَةِ التَّوْحِيْدِ
Oleh: Kiyai Haji Sholeh Darat
Mahaguru Para Ulama Besar Nusantara
(1820-1903 M.)

Penerjemah: Miftahul Ulum, Agustin Mufrohah
Penerbit: Sahifa Publishing

Rangkaian Pos: 003 Tentang Kenabian (Nabawiyyat) - Terjemah Tauhid Sabilul Abid

Kurun Terbaik

Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī berkata:

وَ صَحْبُهُ خَيْرُ الْقُرُوْنِ فَاسْتَمعْ فَتَابِعِيْ فَتَابِعٌ لِمَنْ تَبِعْ.

Sahabat Nabi s.a.w. adalah sebaik-baik kurun, maka dengarkanlah! Lantas tābi‘īn, lalu yang mengikuti tābi‘īn.”

Zaman para sahabat Nabi adalah sebaik-baiknya kurun, yakni zaman dan masa yang paling baik. Maka dengarkanlah nasihat ini! Kemudian tābi‘īn, yaitu orang-orang yang berkumpul dengan sahabat, lalu tābi‘it tābi‘īn, yaitu orang-orang yang berkumpul dengan para tābi‘īn.

Penjelasan

Para sahabat Nabi adalah kurun terbaik. Sahabat yaitu orang yang hidup sezaman serta beriman kepada Nabi, walaupun saat itu dia belum baligh dan tidak pernah melihat atau bertemu Nabi.

Qurūn adalah orang yang hidup dalam suatu masa. Masa hidupnya Nabi adalah masa yang paling utama, kemudian masa tābi‘īn, yaitu orang yang pernah berkumpul dengan para sahabat tapi tidak menemui masa hidup Nabi. (1281).

Rasūlullāh pernah bersabda: “Jika salah satu dari kalian wahai orang-orang yang hidup setelahku menafkahkan emas sebesar gunung Uḥud, maka tidak akan bisa menyamai satu mudnya emas yang dinafkahkan para sahabat dan bahkan juga tidak bisa menyamai setengah mudnya.”

Maksudnya, nafkah setengah mud emas yang diberikan oleh para sahabat lebih utama daripada nafkah emas sebesar gunung Uḥud yang diberikan oleh tābi‘īn ataupun tābi‘it tābi‘īn.”

Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī berkata:

وَ خَيْرُهُمْ مَنْ وُلِّيَ الْخِلَافَةْ وَ أَمْرُهُمْ فِي الْفَضْلِ كَالْخِلَافَةْ.

Sebaik-baik sahabat adalah yang memegang tampuk khalīfah (pemerintahan), dan perkara mereka dalam keutamaan adalah seperti (urutan) khilāfah.”

Sahabat yang paling utama adalah yang diangkat menjadi khalīfah (pengganti) Rasūlullāh dan urutan keutamaan para khalīfah sesuai dengan urutan masa kekhalīfahannya.

Penjelasan

Sahabat yang paling utama adalah yang pernah menjadi khalīfah Nabi Muḥammad, seperti Sayyidinā Abū Bakar r.a. yang menjadi khalīfah pertama. Ini sesuai dengan ketetapan Rasūlullāh dalam sabdanya:

الْخِلَافَةُ بَعْدِيْ ثَلَاثُوْنَ (أَيْ سَنَةٍ) ثُمَّ تَصِيْرُ مُلْكًا عَضُوْضًا.

Masa khalīfah sesudahkan adalah 30 tahun kemudian berubah menjadi kerajaan yang menyengsarakan.”

Masa kekhalīfahan Sayyidinā Abū Bakar ash-Shiddīq r.a. selama 2 tahun 3 bulan 10 hari. Berdasarkan wasiat dari Sayyidinā Abū Bakar r.a., kekhalifahan dilanjutkan oleh Sayyidinā ‘Umar bin Khaththāb r.a. selama 10 tahun 6 bulan 8 hari. Melalui kemufakatan para sahabat Muhājirīn dan Anshār, kekhalīfahan diteruskan oleh Sayyidinā ‘Utsmān bin ‘Affān r.a. selama 11 tahun 11 bulan 9 hari. Setelah itu, melalui kemufakatan seluruh sahabat, kekhalīfahan dilanjutkan oleh Sayyidinā ‘Alī bin Abī Thālib r.a. selama 4 tahun 9 bulan 4 hari. (1292).

Jika dijumlahkan semua, ternyata masa kekhalīfahan 4 sahabat tersebut belum mencapai 30 tahun sebagaimana yang telah disabdakan Rasūlullāh. Hitungan 30 tahun baru bisa sempurna jika ditambah dengan sedikit masa kekhalīfahan Sayyidinā Ḥasan bin ‘Alī r.a. yang hanya 6 bulan 5 hari. Kemudian kekhalīfahan Sayyidinā Ḥasan dilengserkan (1303) dan digantikan dengan masa kerajaan yang dipimpin Sayyidinā Mu‘āwiyah bin Abī Sufyān r.a. (1314).

Sayyidinā Mu‘āwiyah pernah berkata: “ana awwal-ul-muluk (aku adalah awal dari para raja)”. Gelar muluk (raja) akan memberikan dampak buruk kepada rakyat. Setelah masa empat sahabat tadi, tidak diperkenankan memberi gelar seseorang dengan sebutan Khalīfah Rasūlullāh, juga tidak diperkenankan memberikan gelar Khalīfatullāh. Sebab yang mempunyai gelar Khalīfatullāh hanyalah Nabi Ādam a.s. dan Nabi Dāwūd a.s. sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’ān. Adapun para rasūl diperbolehkan diberi gelar Khalīfatullāh.

Kesimpulannya, raja-raja saat ini tidak boleh diberi julukan Khalīfah Rasūlullāh atau Khalīfatullāh. Sebab, perilakunya tak sedikit pun bisa menyamai perilaku para sahabat atau salaf-ush-shāliḥ, apalagi menyamai perilaku Rasūlullāh.

Pemerintahan dengan sistem khalīfah setelah masa 4 sahabat yang telah disebutkan tadi (Abū Bakar, ‘Umar bin Khaththāb, ‘Utsmān bin ‘Affān, dan ‘Alī bin Abī Thālib) bisa dijuluki dengan amīr-ul-mu’minīn (Pemimpin orang-orang mu’min) (????? sepertinya ada yang kurang di sini…… SH.) yang merupakan keturunan Bani ‘Abbās, paman Nabi.

Setelah masa Bani ‘Abbās habis, lalu dijuluki sultan. Adapun orang pertama yang dijuluki sultan adalah Sultan Salīm bin Muḥammad bin Bayazīd bin ‘Utsmān yang merupakan pendiri daulah ‘Utsmāniyyah.

Sayyidinā ‘Abbās r.a., paman Nabi, berkata kepada putranya: “Wahai putraku, jika engkau mendapat ujian berupa dekat dengan khaliīfah, amīr-ul-mu’minīn, raja ataupun sultan, maka aku mewasiatkan 4 kalimat padamu, ingat-ingatlah ini:

  1. Jangan suka mengumbar kata ketika berada di dekat 4 orang yang aku sebutkan tadi.
  2. Jangan berbicara bohong.
  3. Jangan suka bertamu untuk memberi nasihat.
  4. Jangan suka menggunjingkan orang lain di hadapan mereka.

Ini adalah wasiatku. Jauhilah 4 perkara tadi!”

Sayyidinā ‘Abdullāh bin ‘Abbās (putra Sayyidinā ‘Abbās r.a.) berkata: “Satu nasihat lebih berharga dibanding uang 1.000 atau 10.000 dinar.”

Para ahli hikmah berkata: “Jika seorang sultan atau raja menghormatimu, semakin hormatilah ia; jika engkau dianggap sebagai anaknya, jadikanlah ia tuanmu; jika engkau dijadikan saudara, jadikanlah ia orangtuamu, jangan menganggapnya sultan, jangan banyak meminta sesuatu darinya, jangan bertamu menghadap sultan jika tidak ada panggilan, jangan tertipu dan merasa bangga karena penghormatan sultan padamu.”

اللهُمَّ لَا تَجْعَلْنَا مِنْ خَادِمِ الظُّلْمَةِ، آمِيْن.

Ya Allah, jangan Engkau jadikan kami sebagai pelayan kezhaliman.”

Khalīfah yang paling mulia adalah Sayyidinā Abū Bakar ash-Shiddīq r.a., lalu Sayyidinā ‘Umar bin Khaththāb r.a., lalu Sayyidinā ‘Utsmān bin ‘Affān r.a., lalu Sayyidinā ‘Alī bin Abī Thālib r.a., kemudian 6 sahabat yang telah masyhur.

 

Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī berkata:

يَلِيْهِمُ قَوْمٌ كِرَامٌ بَرَرَهْ عِدَّتُهُمْ سِتٌّ تَمَامُ الْعَشْرَةْ.

(yang terakhir dari) mereka diiringi oleh sekelompok orang mulia yang banyak berbuat kebaikan, jumlah mereka enam sebagai penyempurna bagi yang sepuluh.”

Dalam hal keutamaan, setelah masa Sayyidinā ‘Alī bin Abī Thālib, ada sahabat-sahabat yang mulia, hatinya baik, dan ahli berbuat kebajikan. Jumlah mereka ada 6 orang, sehingga jika dijumlahkan, genap menjadi 10 orang.

Adapun 6 orang tersebut adalah: (1325).

  1. Thalḥah bin ‘Ubaidillāh.
  2. Zubair bin ‘Awwām.
  3. ‘Abd-ur-Raḥmān bin ‘Auf.
  4. Sa‘d bin Abī Waqqāsh.
  5. Sa‘īd bin Zaid.
  6. Abū ‘Ubaidah ‘Āmir bin Jarrāḥ.

Urutan derajat keutamaan mereka semua setelah Sayyidinā ‘Alī bin Abī Thālib. Kesepuluh orang tadi sudah ditetapkan masuk surga berdasar sabda Nabi:

أَبُوْ بَكْرٍ فِي الْجَنَّةِ، وَ عُمَرُ فِي الْجَنَّةِ، وَ عُثْمَانُ فِي الْجَنَّةِ، وَ عَلِيٌّ فِي الْجَنَّةِ، وَ طَلْحَةُ فِي الْجَنَّةِ، وَ وَ الزُّبَيْرُ فِي الْجَنَّةِ، وَ عَبْدُ الرَّحْمنِ فِي الْجَنَّةِ، وَ سَعْدٌ وَ سَعِيْدٌ فِي الْجَنَّةِ، وَ أَبُوْ عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ فِي الْجَنَّةِ.

Abū Bakar di surga, ‘Umar di surga, ‘Utsmān di surga, ‘Alī di surga, Thalḥah di surga, Zubair di surga, Abd-ur-Raḥmān di surga, Sa‘d dan Sa‘īd di surga, Abū ‘Ubaidah bin Jarrāḥ di surga.”

Setelah kesepuluh orang ini, urutan selanjutnya adalah sahabat yang mengikuti perang Badar.

Catatan:

  1. 128). Tuḥfat al-Murīd, hal. 235.
  2. 129). Ibid., hal. 237.
  3. 130). Menurut para Sejarawan, dalam pemerintahan Islam, setiap terjadi 6 pergantian pemimpin, maka pemimpin ke-6 akan lengser. Sayyidinā Ḥasan bin ‘Alī adalah khalifah ke-6 terhitung dari Rasūlullāh s.a.w. ‘Abdullāh bin Zubair adalah khalīfah ke-6 dari Dinasti Bani Umayyah. Keduanya dilengserkan dan dibunuh. Telah menjadi ‘ādatullāh (kebiasaan Allah) bahwa pemimpin ke-6 akan lengser. (Sabīl-ul-‘Abīd, hal. 225).
  4. 131). Tuḥfat al-Murīd, hal. 234.
  5. 132). Ibid., hal. 238-239.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *