Konsekuensi Nahi Mutlak – Terjemah Syarah al-Waraqat

Ushul Fiqh
Terjemah Syarah al-Waraqat
 
Judul (Asli): Syarh al-Waraqat
(Penjelasan dan Tanya Jawab Ushul Fiqh)
 
 
Penyusun: Darul Azka, Nailul Huda, Munawwir Ridlwan
 
Penerbit: Santri salaf press.

Konsekuensi Nahi Mutlak.

 

(وَ يَدُلُّ النَّهْيُ) الْمُطْلَقُ شَرْعًا (عَلَى فَسَادِ الْمَنْهِيِّ عَنْهُ) فِي الْعِبَادَاتِ سَوَاءٌ أَنُهِيَ عَنْهَا لِعَيْنِهَا كَصَلَاةِ الْحَائِضِ وَ صَوْمِهَا أَوْ لِأَمْرٍ لَازِمٍ لَهَا كَصَوْمِ يَوْمِ النَّحْرِ وَ الصَّلَاةِ فِي الْأَوْقَاتِ الْمَكْرُوْهَةِ. وَ فِي الْمُعَامَلَاتِ إِنْ رَجَعَ إِلَى نَفْسِ الْعَقْدِ كَمَا فِيْ بَيْعِ الْحَصَاةِ أَوْ لِأَمْرٍ دَاخِلٍ فِيْهَا كَمَا فِيْ بَيْعِ الْمَلَاقِيْحِ أَوْ لِأَمْرٍ خَارِجٍ عَنْهُ لَازِمٍ لَهُ كَمَا فِيْ بَيْعِ دِرْهَمٍ بِدِرْهَمَيْنِ فَإِنْ كَانَ غَيْرَ لَازِمٍ لَهُ كَالْوُضُوْءِ بِالْمَاءِ الْمَغْصُوْبِ مَثَلًا وَ كَالْبَيْعِ وَقْتَ نِدَاءِ الْجُمُعَةِ لَمْ يَدُلُّ عَلَى الْفَسَادِ خِلَافًا لِمَا يُفْهِمُهُ كَلَامُ الْمُصَنِّفِ.

Nahi mutlak secara syara‘ menunjukkan fasād (rusaknya) perbuatan yang dilarang dalam persoalan ‘ibādah. Baik dilarang karena faktor ‘ain-nya (internal ‘ibādah), seperti larangan shalat dan puasa bagi wanita yang sedang mengalami ḥaidh, atau karena faktor yang menetap dari ‘ibādah tersebtu, seperti larangan puasa hari nahar (10 Dzū-l-Ḥijjah) dan larangan shalat di waktu-waktu makrūh.

Juga dalam persoalan mu‘āmalah manakala larangan tersebut diarahkan pada bentuk akad ini sendiri, seperti jual beli ḥashāt (kerikil), atau mu‘āmalah tersebut dilarang karena faktor internal dari sebuah mu‘āmalah, seperti jual-beli janin dalam perut induknya. Atau dilarang karena faktor eksternal yang tidak terpisah dari sebuah mu‘āmalah, seperti menjual satu dirham, dibeli dengan dua dirham. Namun apabila mungkin terpisah, seperti berwudhū’ menggunakan air hasil ghashab dan jual beli yang dilakukan tepat saat adzān Jum‘at, maka larangan ini tidak menunjukkan rusaknya perbuatan yang dilarang. Berbeda dengan kesimpulan yang dipahami dari pernyataan pengarang.

Penjelasan:

Nahi mutlak menunjukkan fasād (rusaknya) perbuatan yang dilarang. Kaidah ini berlaku dalam beberapa bidang fiqh.

  1. Bidang ‘Ibādah, apabila sasaran nahi diarahkan pada aspek sebagai berikut:
  2. (عَيْنُ الْعِبَادَةِ) ya‘ni dzātiyyah (bentuk) atau faktor internal (أَمْرٌ دَاخِلٌ).

Contoh dzātiyyah adalah larangan shalat dan puasa bagi wanita yang sedang mengalami ḥaidh. Dengan dalil HR. Bukhārī:

أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَ لَمْ تَصُمْ.

Bukankah jika sedang mengalami ḥaidh maka ia tidak dapat melakukan shalat dan puasa?

Dalīl ini menunjukkan shalat dan puasa dilarang dari segi dzātiyyah (bentuknya) sebagai shalat dan puasa.

Contoh faktor internal (أَمْرٌ دَاخِلٌ) adalah larangan-larangan merusak salah satu rukun dari beberapa rukunnya shalat.

  1. (أَمْرٍ خَارِجٍ لَازِمٍ) “faktor eksternal yang tidak terpisah”. Contoh larangan puasa di hari raya ‘Īd-ul-Adhḥā dalam HR. Bukhārī:

يُنْهَى عَنْ صِيَامَيْنِ وَ بَيْعَتَيْنِ الْفِطْرِ وَ النَّحْرِ وَ الْمُلَامَسَةِ وَ الْمُنَابَذَةِ

Dilarang melakukan dua macam puasa dan dua macam jual-beli. Yaitu, puasa pada hari raya Fithri dan hari raya Qurbān, jual-beli mulāmasah dan munābadzah (301)”.

Larangan di sini bukan dari segi bentuk puasanya, namun dari sisi penolakan atas suguhan Allah s.w.t. berupa daging qurbān. Hal ini bukan dzātiyyah ataupun juz dari puasa, namun berbentuk faktor di luar puasa (eksternal) yang tidak terpisahkan (lāzim). Penolakan ini terwujūd dengan cara melakukan hal yang bertentangan, ya‘ni puasa. Karena maksud dari menerima suguhan adalah bersedia memakan daging qurbān pada hari itu, meskipun tidak benar-benar memakannya, selama tidak melakukan hal yang bertentangan, seperti puasa.

Contoh kedua, melakukan shalat sunnah mutlak (312) di waktu-waktu makrūh (323). Hukumnya adalah makrūh taḥrīm menurut pendapat shaḥīḥ.

  1. Bidang Mu‘āmalah, apabila sasaran nahi diarahkan pada aspek sebagai berikut:
  2. (نَفْسُ الْعَقْدِ) “bentuk akad”. Contoh jual-beli ḥashāt (kerikil) (334). Namun hal ini ditanggapi, bahwa semua bentuk jual beli ḥashāt pada dasarnya dilarang karena tidak adanya shīghat dalam tranksaksi. Dan shīghat termasuk rukun akad yang tergolong faktor internal (أَمْرٌ دَاخِلٌ), bukan (نَفْسُ الْعَقْدِ)
  3. (أَمْرٌ دَاخِلٌ) “faktor internal”. Contoh jual-beli janin dalam perut induknya. Karena janin tersebut tidak memenuhi sifat berupa terlihat dan mampu diserahterima saat akad. Sehingga nahi terarah pada barang yang diperjualbelikan yang termasuk rukun akad dan merupakan faktor internal (di dalam akad).
  4. (أَمْرٍ خَارِجٍ لَازِمٍ) “faktor eksternal yang tidak terpisah”. Contoh menjual satu dirham, dibeli dengan dua dirham. Dilarang karena faktor tambahan dalam salah satu alat tukarnya. Faktor ini termasuk di luar struktur akad, karena barang yang ditransaksikan dilihat dari bentuknya berupa dirham sebenarnya sah diperjualbelikan. Tambah atau kurang termasuk sifat yang menetap (tidak terpisah) dari barang tersebut. Sehingga sasaran nahi adalah sifat yang menetap, bukan bentuk akadnya.

Namun apabila sasaran nahi diarahkan pada (أَمْرٍ خَارِجٍ غَيْرِ لَازِمٍ) “faktor eksternal yang terpisah”, maka tidak menunjukkan fasād (rusaknya) perbuatan yang dilarang. Contoh:

  1. Bidang ‘Ibādah. Contoh, berwudhū’ menggunakan air hasil ghashab, shalat di atas tanah ghashab. Sasaran larangan di sini bukan dzātiyyah wudhū’ dan shalatnya, namun pada faktor eksternal yang membarengi keduanya, berupa ghashab yang diḥarāmkan. Sehingga shalatnya sah, namun ghashabnya tetap ḥarām.
  2. Bidang Mu‘āmalah. Contoh, jual beli yang dilakukan tepat saat adzān Jum‘at. Nahi dalam hal ini mengarah pada faktor eksternal berupa khawatir kehilangan shalat Jum‘at, tidak mengarah pada dzātiyyah jual-belinya. Karena yang diḥarāmkan bukan hanya jual-beli, namun segala tindakan yang mengakibatkan hilangnya shalat Jum‘at. Hilangnya shalat merupakan unsur yang berbarengan dengan jual-beli. Dan hal ini tidak menetap (mungkin terpisah), karena terkadang bisa terjadi akibat jual-beli, bisa juga akibat selain jual-beli.

Pertanyaan:

Apa yang dimaksud dengan fasād (rusaknya) perbuatan yang dilarang?

Jawab:

Maksudnya, apabila perbuatan tersebut dilakukan, maka dianggap tidak memenuhi kriteria syara‘.

Referensi:

(قَوْلُهُ عَلَى فَسَادِ) وَ الْمُرَادُ بِهِ عَدَمُ الْاعْتِدَادِ بِهِ إِذَا وَقَعَ لِأَنَّ الْفَسَادَ هُوَ مُخَالَفَةُ الْفِعْلِ ذِي الْوَجْهَيْنِ الشَّرْعَ وَ هذَا الْمَنْهِيْ مُخَالِفٌ لِلشَّرْعِ فَهُوَ غَيْرُ مُعْتَدٍ بِهِ (النَّفَحَاتُ صـــ 66).

(Ucapan pengarang: menunjukkan rusaknya perbuatan yang dilarang) yang dikehendaki dengan rusak adalah perbuatan tersebut dilakukan, maka dianggap tidak memenuhi kriteria syara‘. Karena pengertian fāsid adalah menyalahi syara‘ dari perbuatan yang memiliki dua aspek (mungkin sesuai syara‘ dan mungkin tidak sesuai). Hal yang dilarang ini menyalahi syara‘ sehingga tidak dianggap memenuhi kriteria syara‘.” (an-Nafaḥāt, hal. 66).

Pertanyaan:

Apa yang dimaksud dengan amr lāzim dalam kaidah di atas?

Jawab:

Amr lāzim yang dimaksud adalah faktor yang tidak perpisah dan berada di luar sebuah ‘ibādah. Karena pengertian luzūm (tidak terpisah) adalah tidak mungkin terlepasnya satu perkara dari perkara yang lain, atau tidak ditemukannya sesuatu tersebut bersama dengan perkara lain.

Lāzim ada dua macam, (مُسَاوٍ) “menyamai” dan (أَعَمُّ) “lebih umum”. Lāzim (مُسَاوٍ) adalah keadaan di mana wujūdnya salah satu diri dari dua hal yang saling terkait menetapkan wujūdnya perkara yang lain. Seperti kemampuan berfikir yang menjadi kelāziman manusia. Sedangkan lāzim (أَعَمُّ) adalah keadaan di mana wujūdnya (مَلْزُوْمٌ) “perkara yang ditetapi) tidak menetapkan wujūdnya (لَازِمٌ) “yang menetapi”. Seperti kehewanan yang menjadi kelāziman dari manusia. Dalam hal ini wujūdnya hewan tidak selalu menetapkan wujūdnya manusia, karena kehewanan bisa dijumpai pada kuda, meskipun tanpa adanya manusia. Lāzim model yang pertama adalah yang dikehendaki pengarang dalam pembahasan ini.

Referensi:

(قَوْلُهُ لِأَمْرٍ لَازِمٍ لَهَا) أَيْ لَازِمٍ خَارِجٍ عَنِ الْعِبَادَاتِ ….. وَ الْمُرَادُ بِاللُّزُوْمِ هُنَا كَمَا يُعْلَمُ مِنْ أَمْثِلَتِهِ عَدَمُ انْفِكَاكِ شَيْءٍ عَنْ شَيْءٍ آخَرَ أَيْ عَدَمُ وُجُوْدِهِ مَعَ غَيْرِهِ (النَّفَحَاتُ صــــ 66).

(Ucapan pensyarah: karena amr lāzim dari ‘ibādah tersebut) artinya amr lāzim di luar ‘ibādah…. yang dimaksud dengan kelāziman di sini, seperti yang difahami dari contoh-contohnya adalah tidak mungkin terlepasnya satu perkara dari perkara yang lain, atau tidak ditemukannya sesuatu tersebut bersama dengan perkara lain.” (an-Nafaḥāt, hal. 66).

 

لِأَنَّ اللَّازِمَ يَنْقَسِمُ إِلَى قِسْمَيْنِ مُسَاوٍ وَ أَعَمَّ فَالْأَوَّلُ مَا لَزِمَ مِنْ وُجُوْدِ أَحَدِ الْمُتَلَازِمَيْنِ وُجُوْدُ الْآخَرِ كَالنُّطْقِ اللَّازِمِ لِلْإِنْسَانِ وَ الثَّانِيْ مَا لَا يَلْزَمُ مِنْ وُجُوْدِ الْمَلْزُوْمِ وُجُوْدُ اللَّازِمِ كَلُوْزُوْمِ الْحَيَوَانِيَّةِ لِلْإِنْسَانِ فَإِنَّهُ لَا يَلْزَمُ مِنْ وُجُوْدِ الْحَيَوَانِ وُجُوْدُ الْإِنْسَانِ إِذْ قَدْ تُوْجَدُ الْحَيَوَانِيَّةُ فِي الْفَرَسِ بِدُوْنِ الْإِنْسَانِ…..وَ الْمُرَادُ هُنَا الْأَوَّلُ وَ إِنْ كَانَ كُلٌّ مِنْهُمَا لَازِمًا (النَّفَحَاتُ صـــ 66).

“Karena lāzim terbagi dua, musāwi (menyamai) dan a‘amm (lebih umum). Yang pertama, lāzim musāwi adalah keadaan di mana wujūdnya salah satu dari dua hal yang saling terkait menetapkan wujūdnya perkara yang lain. Seperti kemampuan berfikir yang menjadi kelāziman manusia. Sedangkan yang kedua, lāzim a‘amm adalah keadaan di mana wujūdnya malzūm (perkara yang ditetapi) tidak menetapkan wujūdnya lāzim (yang menetapi). Seperti kehewanan yang menjadi kelāziman dari manusia. Dalam hal ini wujūdnya hewan tidak selalu menetapkan wujūdnya manusia….. sedangkan yang dikehendaki pengarang dalam pembahasan ini adalah lāzim model pertama, meskipun keduanya sama-sama lāzim.” (an-Nafaḥāt, hal. 66).

Pertanyaan:

Alasan apa yang membedakan hukum shalat di waktu makrūh dan shalat di tempat makrūh?

Jawab:

Perbedaannya adalah waktu makrūh merupakan perkara yang tidak terlepas, di mana ketika shalat mulai dilaksanakan pada waktu tersebut, maka waktu tidak mungkin dilepaskan dan diganti dengan sifat lain. Sedangkan dalam tempat makrūh memungkinkan dilepaskan dengan cara merubahnya menjadi sifat lain, seperti merubah pemandian hangat menjadi masjid dan lain sebagainya.

Referensi:

وَ الْفَرْقُ بَيْنَ الزَّمَانِ وَ الْمَكَانِ حَيْثُ كَانَ النَّهْيُ لِأَمْرِ لَازِمٍ فِي الْأَوَّلِ دُوْنَ الثَّانِيْ أَنَّ الْفِعْلَ حَالَ إِيْجَادٍ فِي الزَّمَانِ الْمَخْصُوْصِ لَا يَكُوْنُ انْفِكَاكُهُ عَنْهُ بِخِلَافِ الْفِعْلِ حَالَ إِيْجَادِهِ فِي الْمَكَانِ الْمَخْصُوْصِ فَإِنَّهُ يُمْكِنُ انْفِكَاكُهُ عَنْهُ بِتَغْيِيْرِ ذلِكَ الْمَكَانِ بِصِفَةٍ أُخْرَى كَجَعْلِهِ مَسْجِدًا فِيْ مَسْئَلَةِ الْحَمَامِ وَ شِرَاءُ الْمَغْصُوْبِ. (النَّفَحَاتُ صـــ 67).

Perbedaan antara waktu dan tempat (sekira hal pertama sasaran nahi pada amr lāzim, tidak pada hal kedua) adalah bahwa perbuatan saat diwujūdkan pada waktu tertentu, maka waktu tidak mungkin dilepaskan. Berbeda dengan perbuatan saat diwujūdkan di tempat tertentu, maka mungkin dilepaskan dengan cara merubahnya menjadi sifat lain, seperti merubah pemandian hangat menjadi masjid dan memberi bumi yang dighashab.” (an-Nafaḥāt, hal. 67).

Catatan:

  1. 30). Jual-beli mulāmasah ialah ketika penjual mengatakan: “Jika menyentuh kain (tanpa melihatnya dalamnya), maka harus membeli”. Munābadzah, ketika penjual mengatakan: “Jika aku melemparmu baju ini, maka harus membeli.”
  2. 31). Shalat yang dilarang adalah shalat yang tidak memiliki waktu khusus atau tidak dilatarbelakangi sabab yang mendahului (مُتَقَدَّمٌ) seperti shalat yang diqadhā’, atau sabab yang membarengi (مُقَارِنٌ) seperti shalat janazah.
  3. 32). Ya‘ni saat terbit matahari, istiwā’ di selain hari Jum‘at, setelah shalat ‘Ashar dan Shubuḥ, dan saat kuningnya matahari menjelang tenggelam.
  4. 33). Ada beberapa penafsiran bai‘ ḥashāt, 1). Penjual mengatakan: “Aku jual pakaian yang terkena lemparan kerikil dari beberapa pakaian yang ada di sini.” 2). Salah satu dari dua orang yang bertransaksi mengatakan: “Jika kamu melempar kerikil ini, maka baju ini dijual dengan harga seribu”. 3). Penjual mengatakan: “Aku jual barang ini, dan kamu berhak khiyār sampai adanya lemparan batu.” (Tuḥfat-ul-Muḥtāj, vol. IV, hal. 294).

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *