(وَ يَدُلُّ النَّهْيُ) الْمُطْلَقُ شَرْعًا (عَلَى فَسَادِ الْمَنْهِيِّ عَنْهُ) فِي الْعِبَادَاتِ سَوَاءٌ أَنُهِيَ عَنْهَا لِعَيْنِهَا كَصَلَاةِ الْحَائِضِ وَ صَوْمِهَا أَوْ لِأَمْرٍ لَازِمٍ لَهَا كَصَوْمِ يَوْمِ النَّحْرِ وَ الصَّلَاةِ فِي الْأَوْقَاتِ الْمَكْرُوْهَةِ. وَ فِي الْمُعَامَلَاتِ إِنْ رَجَعَ إِلَى نَفْسِ الْعَقْدِ كَمَا فِيْ بَيْعِ الْحَصَاةِ أَوْ لِأَمْرٍ دَاخِلٍ فِيْهَا كَمَا فِيْ بَيْعِ الْمَلَاقِيْحِ أَوْ لِأَمْرٍ خَارِجٍ عَنْهُ لَازِمٍ لَهُ كَمَا فِيْ بَيْعِ دِرْهَمٍ بِدِرْهَمَيْنِ فَإِنْ كَانَ غَيْرَ لَازِمٍ لَهُ كَالْوُضُوْءِ بِالْمَاءِ الْمَغْصُوْبِ مَثَلًا وَ كَالْبَيْعِ وَقْتَ نِدَاءِ الْجُمُعَةِ لَمْ يَدُلُّ عَلَى الْفَسَادِ خِلَافًا لِمَا يُفْهِمُهُ كَلَامُ الْمُصَنِّفِ.
Nahi mutlak secara syara‘ menunjukkan fasād (rusaknya) perbuatan yang dilarang dalam persoalan ‘ibādah. Baik dilarang karena faktor ‘ain-nya (internal ‘ibādah), seperti larangan shalat dan puasa bagi wanita yang sedang mengalami ḥaidh, atau karena faktor yang menetap dari ‘ibādah tersebtu, seperti larangan puasa hari nahar (10 Dzū-l-Ḥijjah) dan larangan shalat di waktu-waktu makrūh.
Juga dalam persoalan mu‘āmalah manakala larangan tersebut diarahkan pada bentuk akad ini sendiri, seperti jual beli ḥashāt (kerikil), atau mu‘āmalah tersebut dilarang karena faktor internal dari sebuah mu‘āmalah, seperti jual-beli janin dalam perut induknya. Atau dilarang karena faktor eksternal yang tidak terpisah dari sebuah mu‘āmalah, seperti menjual satu dirham, dibeli dengan dua dirham. Namun apabila mungkin terpisah, seperti berwudhū’ menggunakan air hasil ghashab dan jual beli yang dilakukan tepat saat adzān Jum‘at, maka larangan ini tidak menunjukkan rusaknya perbuatan yang dilarang. Berbeda dengan kesimpulan yang dipahami dari pernyataan pengarang.
Nahi mutlak menunjukkan fasād (rusaknya) perbuatan yang dilarang. Kaidah ini berlaku dalam beberapa bidang fiqh.
Contoh dzātiyyah adalah larangan shalat dan puasa bagi wanita yang sedang mengalami ḥaidh. Dengan dalil HR. Bukhārī:
أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَ لَمْ تَصُمْ.
“Bukankah jika sedang mengalami ḥaidh maka ia tidak dapat melakukan shalat dan puasa?”
Dalīl ini menunjukkan shalat dan puasa dilarang dari segi dzātiyyah (bentuknya) sebagai shalat dan puasa.
Contoh faktor internal (أَمْرٌ دَاخِلٌ) adalah larangan-larangan merusak salah satu rukun dari beberapa rukunnya shalat.
يُنْهَى عَنْ صِيَامَيْنِ وَ بَيْعَتَيْنِ الْفِطْرِ وَ النَّحْرِ وَ الْمُلَامَسَةِ وَ الْمُنَابَذَةِ
“Dilarang melakukan dua macam puasa dan dua macam jual-beli. Yaitu, puasa pada hari raya Fithri dan hari raya Qurbān, jual-beli mulāmasah dan munābadzah (301)”.
Larangan di sini bukan dari segi bentuk puasanya, namun dari sisi penolakan atas suguhan Allah s.w.t. berupa daging qurbān. Hal ini bukan dzātiyyah ataupun juz dari puasa, namun berbentuk faktor di luar puasa (eksternal) yang tidak terpisahkan (lāzim). Penolakan ini terwujūd dengan cara melakukan hal yang bertentangan, ya‘ni puasa. Karena maksud dari menerima suguhan adalah bersedia memakan daging qurbān pada hari itu, meskipun tidak benar-benar memakannya, selama tidak melakukan hal yang bertentangan, seperti puasa.
Contoh kedua, melakukan shalat sunnah mutlak (312) di waktu-waktu makrūh (323). Hukumnya adalah makrūh taḥrīm menurut pendapat shaḥīḥ.
Namun apabila sasaran nahi diarahkan pada (أَمْرٍ خَارِجٍ غَيْرِ لَازِمٍ) “faktor eksternal yang terpisah”, maka tidak menunjukkan fasād (rusaknya) perbuatan yang dilarang. Contoh:
Apa yang dimaksud dengan fasād (rusaknya) perbuatan yang dilarang?
Jawab:
Maksudnya, apabila perbuatan tersebut dilakukan, maka dianggap tidak memenuhi kriteria syara‘.
Referensi:
(قَوْلُهُ عَلَى فَسَادِ) وَ الْمُرَادُ بِهِ عَدَمُ الْاعْتِدَادِ بِهِ إِذَا وَقَعَ لِأَنَّ الْفَسَادَ هُوَ مُخَالَفَةُ الْفِعْلِ ذِي الْوَجْهَيْنِ الشَّرْعَ وَ هذَا الْمَنْهِيْ مُخَالِفٌ لِلشَّرْعِ فَهُوَ غَيْرُ مُعْتَدٍ بِهِ (النَّفَحَاتُ صـــ 66).
“(Ucapan pengarang: menunjukkan rusaknya perbuatan yang dilarang) yang dikehendaki dengan rusak adalah perbuatan tersebut dilakukan, maka dianggap tidak memenuhi kriteria syara‘. Karena pengertian fāsid adalah menyalahi syara‘ dari perbuatan yang memiliki dua aspek (mungkin sesuai syara‘ dan mungkin tidak sesuai). Hal yang dilarang ini menyalahi syara‘ sehingga tidak dianggap memenuhi kriteria syara‘.” (an-Nafaḥāt, hal. 66).
Apa yang dimaksud dengan amr lāzim dalam kaidah di atas?
Jawab:
Amr lāzim yang dimaksud adalah faktor yang tidak perpisah dan berada di luar sebuah ‘ibādah. Karena pengertian luzūm (tidak terpisah) adalah tidak mungkin terlepasnya satu perkara dari perkara yang lain, atau tidak ditemukannya sesuatu tersebut bersama dengan perkara lain.
Lāzim ada dua macam, (مُسَاوٍ) “menyamai” dan (أَعَمُّ) “lebih umum”. Lāzim (مُسَاوٍ) adalah keadaan di mana wujūdnya salah satu diri dari dua hal yang saling terkait menetapkan wujūdnya perkara yang lain. Seperti kemampuan berfikir yang menjadi kelāziman manusia. Sedangkan lāzim (أَعَمُّ) adalah keadaan di mana wujūdnya (مَلْزُوْمٌ) “perkara yang ditetapi) tidak menetapkan wujūdnya (لَازِمٌ) “yang menetapi”. Seperti kehewanan yang menjadi kelāziman dari manusia. Dalam hal ini wujūdnya hewan tidak selalu menetapkan wujūdnya manusia, karena kehewanan bisa dijumpai pada kuda, meskipun tanpa adanya manusia. Lāzim model yang pertama adalah yang dikehendaki pengarang dalam pembahasan ini.
Referensi:
(قَوْلُهُ لِأَمْرٍ لَازِمٍ لَهَا) أَيْ لَازِمٍ خَارِجٍ عَنِ الْعِبَادَاتِ ….. وَ الْمُرَادُ بِاللُّزُوْمِ هُنَا كَمَا يُعْلَمُ مِنْ أَمْثِلَتِهِ عَدَمُ انْفِكَاكِ شَيْءٍ عَنْ شَيْءٍ آخَرَ أَيْ عَدَمُ وُجُوْدِهِ مَعَ غَيْرِهِ (النَّفَحَاتُ صــــ 66).
“(Ucapan pensyarah: karena amr lāzim dari ‘ibādah tersebut) artinya amr lāzim di luar ‘ibādah…. yang dimaksud dengan kelāziman di sini, seperti yang difahami dari contoh-contohnya adalah tidak mungkin terlepasnya satu perkara dari perkara yang lain, atau tidak ditemukannya sesuatu tersebut bersama dengan perkara lain.” (an-Nafaḥāt, hal. 66).
لِأَنَّ اللَّازِمَ يَنْقَسِمُ إِلَى قِسْمَيْنِ مُسَاوٍ وَ أَعَمَّ فَالْأَوَّلُ مَا لَزِمَ مِنْ وُجُوْدِ أَحَدِ الْمُتَلَازِمَيْنِ وُجُوْدُ الْآخَرِ كَالنُّطْقِ اللَّازِمِ لِلْإِنْسَانِ وَ الثَّانِيْ مَا لَا يَلْزَمُ مِنْ وُجُوْدِ الْمَلْزُوْمِ وُجُوْدُ اللَّازِمِ كَلُوْزُوْمِ الْحَيَوَانِيَّةِ لِلْإِنْسَانِ فَإِنَّهُ لَا يَلْزَمُ مِنْ وُجُوْدِ الْحَيَوَانِ وُجُوْدُ الْإِنْسَانِ إِذْ قَدْ تُوْجَدُ الْحَيَوَانِيَّةُ فِي الْفَرَسِ بِدُوْنِ الْإِنْسَانِ…..وَ الْمُرَادُ هُنَا الْأَوَّلُ وَ إِنْ كَانَ كُلٌّ مِنْهُمَا لَازِمًا (النَّفَحَاتُ صـــ 66).
“Karena lāzim terbagi dua, musāwi (menyamai) dan a‘amm (lebih umum). Yang pertama, lāzim musāwi adalah keadaan di mana wujūdnya salah satu dari dua hal yang saling terkait menetapkan wujūdnya perkara yang lain. Seperti kemampuan berfikir yang menjadi kelāziman manusia. Sedangkan yang kedua, lāzim a‘amm adalah keadaan di mana wujūdnya malzūm (perkara yang ditetapi) tidak menetapkan wujūdnya lāzim (yang menetapi). Seperti kehewanan yang menjadi kelāziman dari manusia. Dalam hal ini wujūdnya hewan tidak selalu menetapkan wujūdnya manusia….. sedangkan yang dikehendaki pengarang dalam pembahasan ini adalah lāzim model pertama, meskipun keduanya sama-sama lāzim.” (an-Nafaḥāt, hal. 66).
Alasan apa yang membedakan hukum shalat di waktu makrūh dan shalat di tempat makrūh?
Jawab:
Perbedaannya adalah waktu makrūh merupakan perkara yang tidak terlepas, di mana ketika shalat mulai dilaksanakan pada waktu tersebut, maka waktu tidak mungkin dilepaskan dan diganti dengan sifat lain. Sedangkan dalam tempat makrūh memungkinkan dilepaskan dengan cara merubahnya menjadi sifat lain, seperti merubah pemandian hangat menjadi masjid dan lain sebagainya.
Referensi:
وَ الْفَرْقُ بَيْنَ الزَّمَانِ وَ الْمَكَانِ حَيْثُ كَانَ النَّهْيُ لِأَمْرِ لَازِمٍ فِي الْأَوَّلِ دُوْنَ الثَّانِيْ أَنَّ الْفِعْلَ حَالَ إِيْجَادٍ فِي الزَّمَانِ الْمَخْصُوْصِ لَا يَكُوْنُ انْفِكَاكُهُ عَنْهُ بِخِلَافِ الْفِعْلِ حَالَ إِيْجَادِهِ فِي الْمَكَانِ الْمَخْصُوْصِ فَإِنَّهُ يُمْكِنُ انْفِكَاكُهُ عَنْهُ بِتَغْيِيْرِ ذلِكَ الْمَكَانِ بِصِفَةٍ أُخْرَى كَجَعْلِهِ مَسْجِدًا فِيْ مَسْئَلَةِ الْحَمَامِ وَ شِرَاءُ الْمَغْصُوْبِ. (النَّفَحَاتُ صـــ 67).
“Perbedaan antara waktu dan tempat (sekira hal pertama sasaran nahi pada amr lāzim, tidak pada hal kedua) adalah bahwa perbuatan saat diwujūdkan pada waktu tertentu, maka waktu tidak mungkin dilepaskan. Berbeda dengan perbuatan saat diwujūdkan di tempat tertentu, maka mungkin dilepaskan dengan cara merubahnya menjadi sifat lain, seperti merubah pemandian hangat menjadi masjid dan memberi bumi yang dighashab.” (an-Nafaḥāt, hal. 67).