Komentar ‘Ulama’ Tentang Tashawwuf – Tarekat dalam Timbangan Syariat (1/2)

TAREKAT dalam Timbangan SYARIAT
Jawaban atas Kritik Salafi Wahabi

Penulis: Nur Hidayat Muhammad
 
Penerbit: Muara Progresif

Rangkaian Pos: 001 Komentar 'Ulama' Tentang Tashawwuf - Tarekat dalam Timbangan Syariat

KOMENTAR ‘ULAMĀ’ TENTANG TASHAWWUF

 

Ilmu tashawwuf, menurut Ibnu Khaldun dalam al-Muqaddimah, tersiar mulai kurun kedua Hijriah di saat manusia mulai cenderung kepada duniawi. Dan karena itu, orang yang taat beribadah kepada Allah membuat predikat khusus dengan nama shūfī. Kendati demikian, menurut beliau, ilmu tersebut bukan hal baru yang dibuat-buat dalam agama (bid‘ah), tetapi sebuah ilmu pendidikan yang tersarikan dari prilaku Rasūlullāh s.a.w. dan kehidupan para sahabat sehari-hari. Dengan begitu, salah besar persepsi miring yang disebar-luaskan oleh musuh-musuh Islam, bahwa tashawwuf adalah ilmu yang lahir dari rahim ajaran Budha, Nasrani, Hindu atau Persia. Kalaupun di sana terdapat sedikit sisi kesamaan, maka itu bukan berarti bisa dibuat justifikasi jika sufisme bukan lahir dari kantong Islam. (11)

Lebih jauh, ‘ulamā’ shūfī menegaskan, bahwa ajaran tashawwuf berorientasi pada lima asas, yakni kebersihan hati dan muḥāsabah (introspeksi), ucapan dan ibadahnya karena Allah, berlaku zuhud di dunia, mencintai sesama muslim dan memberikan hak-haknya, serta menghiasi diri dengan akhlak yang diajarkan oleh Rasūlullāh s.a.w. (22)

Menurut Imām an-Nawawī, penulis syarah Shaḥīḥ Muslim, dalam kitabnya, al-Maqāshid, bahwa asas dalam tashawwuf adalah: Pertama, bertaqwa kepada Allah, baik dalam hati atau lahiriah. Kedua, mengikuti as-Sunnah, baik dalam prilaku atau ucapan. Ketiga, hatinya tidak terpasung melihat makhluk (dunia). Keempat, ridha kepada Allah, baik sedikit atau banyak. Kelima, kembali kepada Allah, baik saat lapang atau susah. (33).

Banyak penulis yang skeptis dengan ajaran tashawwuf berkata, bahwa tashawwuf yang dibawa oleh Imam Junaid dan shūfī yang sezaman dengannya adalah tashawwuf yang murni dan steril dari syirik dan bid‘ah. Tetapi setelah masa-masa itu, banyak shūfī yang sudah terkontaminasi “virus” Iblīs, hingga tanpa sadar mereka telah terjerumus kubangan bid‘ah dan keluar dari syarī‘at yang diridhai Allah dan Rasūl-Nya. Ironisnya, setelah itu mereka menghantam shūfī dan menggeneralisasinya dengan tuduhan yang tak semestinya dituduhkan. Tetapi, tentu saja mereka tidak obyektif dan hanya sepihak dalam membangun opininya. Fakta jika mereka hanya mengikuti pemikiran al-Ḥāfizh Ibn-ul-Jauzī dalam Talbīs-ul-Iblīs dengan setengah-setengah. Mereka lupa, jika beliau adalah ‘ulamā’ yang tidak anti sufisme secara absolut. Beliau pernah mengadakan perayaan maulid Nabi Muḥammad s.a.w. bersama para shūfī, dan bahkan pernah memuji shūfī. Rābi‘ah Adawiyyah. Sementara mereka yang kami lihat, secara absolut membenci ajaran shūfī dengan berbagai atributnya, termasuk kepada Rābi‘ah Adawiyyah.

Setiap ‘ulamā’ mempunyai penilaian dan ijtihad, termasuk al-Ḥāfizh Ibn-ul-Jauzī. Dan juga setiap ijtihad dan ucapan manusia berhak ditolak dan diterima kecuali Rasūlullāh s.a.w. sebagaimana ucapan Imām Mālik, Tetapi ketahuilah, kitab Talbīs-ul-Iblīs juga mendapat rangkaian sanggahan dari berbagai ‘ulamā’, termasuk Syaikh ‘Abd-ul-Wahhāb asy-Sya‘rānī, Imām Aḥmad Zarrūq, Imām Yāfi‘ī, sebagaimana keterangan nanti, in syā’ Allāh.

Mereka yang anti sufisme juga kerap tidak obyektif. Menggiring persepsi publik lewat buku dan majalah untuk menjauhi ajaran shufi, tetapi menyembunyikan komentar para ‘ulamā’ tentang ajaran tersebut. Dan praktik tidak amanah ilmiah seperti ini sudah biasa mereka lakukan demi kepentingan sektenya.

Sayyid Muḥammad ‘Alawī al-Mālikī dalam al-Ghuluw (44) bercerita bahwa dalam kurikulum (muqarrar) Tauhid kelas 3 Tsanawiy (‘Arab Saudi) cetakan tahun 1424 Hijriyyah berisi tentang pernyataan bahwa ajaran shūfī adalah syirik serta keluar dari agama Islam. Kemudian beliau memberikan tanggapan, bahwasanya perilaku para pengikut tarekat Sanusiyyah, Idrīsiyyah, Tijāniyyah, Qādiriyyah, Rifā‘iyyah, Syādziliyyah, Mahdiyyah, Naqsyābandiyyah dan Marghaniyyah memiliki jasa besar dalam memerangi penjajah, membela negara, menyebarkan agama dan mengajarkan ilmu kepada para muslimin. Dan sejarah yang obyektif dan tepercaya mengakui hal itu.

Beliau melanjutkan, bahwa generasi akhir pengamal tarekat, seperti Syaikh ‘Umar al-Mukhtar, Syaikh ‘Abd-ul-Qādir al-Jazā’irī, Imām Mahdī, Syaikh ‘Umar al-Fautī at-Tijānī, Syaikh ‘Utsmān bin Faudī al-Qādirī juga mempunyai jasa besar yang perlu dihargai dalam berjihad di jalan Allah, melayani agama, menyebar ilmu dan pengetahuan serta memerangi kebodohan dan bid‘ah. Sedangkan para Imām tashawwuf yang terkenal pada kurun-kurun terdahulu, seperti Imām ar-Rāfi‘ī, al-Badawī, asy-Syādzilī dan imam tashawwuf lain yang seperiode dengan mereka serta imam-imam generasi tābi‘īn dan pengikutnya, kegigihan dan jihad mereka semuanya tidak bisa dipungkiri, dan keluarnya mereka untuk berjuang di jalan Allah merupakan suatu yang memenuhi sejarah dan tercatat dalam kitab-kitab biografi.

Di akhir pembahasan, beliau berkata: “Meski demikian, kami tidak pernah mendakwahkan bahwa mereka terjaga (ma‘shūm), sebab setiap dari kita dan dari mereka diterima dan ditolak. Ijtihad mereka berkisar antara benar dan salah, diterima dan ditolak. Akan tetapi kami mengingkari bentuk hujatan dan penghukuman syirik kufur, fanatik madzhab dan keluar dari agama Islam terhadap mereka.”

Banyak ‘ulamā’ yang sangat apresiatif terhadap sufisme. Bahkan di antaranya juga dari ‘ulamā’ yang dipuja-puja Salafī Wahhābī dari kalangan ‘ulamā’ madzhab Ḥanbalī. Dan itu bisa dilihat pada kitab Mauqif A’immat-il-Ḥarakat-is-Salafiyyah min-at-Tashawwuf wash-Shūfiyyah karya Syaikh ‘Abd-ul-Ḥāfizh al-Makkī yang membicarakan tentang Imām Ibnu Taimiyyah, Imām Ibnu Rajab, Imām Ibnu Qayyim, dan Muḥammad bin ‘Abd-il-Wahhāb dan lain-lain yang menebar pujian terhadap ajaran shūfī. Bacalah kitab tersebut!

Dan berikut ini adalah komentar ‘ulamā’-‘ulamā’ Islam, termasuk ‘ulamā’ pujaan Salafī Wahhābī, tentang ajaran sufisme.

 

  • Imām Syāfi‘ī:

Imām Syāfi‘ī berkata: “Aku dibuat cinta dari dunia kalian akan tiga hal: Meninggalkan pemaksaan diri (takalluf), interaksi dengan sesama dengan belas-kasih, dan mengikuti jalan para shūfī.” (55)

Begitu juga berkata: “Aku bersama shūfī dan mengambil fa’idah dari mereka tiga kalimat: Pertama, waktu bak pedang yang jika engkau tidak mematahkannya, maka ia akan mematahkanmu. Kedua, jika jiwamu tidak engkau sibukkan dengan hal benar, niscaya engkau akan disibukkan dengan hal batil. Ketiga, ketiadaan adalah ‘ishmah (penjagaan)”. Demikian dikutip Imām Jalāl-ud-Dīn as-Suyūthī dalam Ta’yīd-ul-Ḥaqīqat-il-‘Āliyyah. (66).

Syair Imām Syāfi‘ī dalam ad-Dīwān cetakan Dar al-Jil, hal. 47 yang menganjurkan kita menjadi seorang ahli fiqh dan ahli tashawwuf.

فَقِيْهًا وَ صُوْفِيًّا فَكُنْ لَيْسَ وَاحِدًا

فَإِنِّيْ وَ حَقُّ اللهِ إِيَّاكَ أَنْصَحُ

Jadilah seorang faqih dan shūfī, dan jangan ambil salah satunya saja.
Sesungguhnya, demi Ḥaqq Allah, saya memberi nasehat kepada anda.”

Syair ini adalah salah satu syair yang disinyalir kuat dibuang dengan sengaja oleh Salafī Wahhābī dalam kitab Dīwān Imām Syāfi‘ī edisi cetakan Darul Kutub al-Ilmiah dan lain-lain.

(Catatan: Lihat situs: Salafy Tobat – Penghianatan Wahaby Terhadap Salafushalih dan Tasawwuf)

 

  • Imām Mālik bin Anas:

Telah shaḥīḥ dari Imām Mālik bin Anas bahwa beliau pernah berkata:

مَنْ تَفَقَّهَ وَ لَمْ يَتَصَوَّفْ فَقَدْ تَفَسَّقَ، وَ مَنْ تَصَوَّفَ وَ لَمْ يَتَفَقَهْ فَقَدْ تَزَنْدَقَ، وَ مَنْ جَمَعَ بَيْنَهُمَا فَقَدْ تَحَقَّقَ.

Siapa yang ber-fiqh tapi tidak bertashawwuf, maka dia akan menjadi fāsiq. Siapa yang bertashawwuf tapi tidak ber-fiqh, maka dia akan menjadi zindiq. Dan siapa yang menghimpun keduanya maka dia telah memilih jalan yang ḥaqq.” (77).

Ucapan Imām Mālik ini sudah sangat populer dan tak mampu dibantah oleh orang yang anti tashawwuf dengan bantahan yang baik.

Imām Mālik juga pernah mendapat surat nasehat dari shūfī, Yaḥyā bin Yazīd an-Naufalī, dan beliaupun menerima dan membalas surat tersebut dengan sangat baik dan melahirkan rasa hormatnya kepada shūfī tersebut. (88).

Catatan:

  1. 1). Yūsuf Kaththār Muḥammad, al-Mausū‘at-ul-Yūsufiyyah (Damaskus: Darut Taqwa, 2003 M.), juz I, hal. 17.
  2. 2). Ibid, juz I, hal. 8.
  3. 3). Ibid, juz I, hal. 77.
  4. 4). Makalah dialog nasional ke-II Sayyid Muḥammad ‘Alawī al-Mālikī dengan ‘ulamā’-‘ulamā’ Saudi Arabia pasca aksi teror pengeboman di kota Riyadh.
  5. 5). Al-Ḥāfizh al-Ajlūnī, Kasyf-ul-Khafā’ (Beirut Darul Kutub al-Ilmiyyah; 1998 M.), juz I, hal. 341.
  6. 6). Yūsuf Kaththār Muḥammad, op, cit, juz I, hal. 54.
  7. 7). Ibid, juz I, hal. 55.
  8. 8). Ḥasan al-Adawī al-Mālikī, an-Nafaḥāt-usy-Syādziliyyah (Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyyah, 2005), hal. 263-264.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *