Kisah Tiga Orang yang Tidak Ikut Perang (Tabuk) – Nurul Yaqin

NŪR-UL-YAQĪN
 
Judul Asli:
Nūr-ul-Yaqīn fī Sīrati Sayyid-il-Mursalīn
Penulis: Muhammad al-Khudhari Bek

 
Alih Bahasa: Muhammad Faisal Fadhil
Penerbit: UMMUL QURA
 
(Diketik oleh: Zulfa)

Kisah Tiga Orang yang Tidak Ikut Perang (Tabūk) (261)

Pada saat itu, Ka‘ab bin Mālik al-Khazrajī, serta Murārah bin ar-Rabī‘ dan Hilāl bin Umayyah, yang keduanya dari kabilah Aus, datang menghadap kepada Nabi s.a.w. untuk mengakui dosa-dosa mereka—karena tidak ikut berperang. Ketika Ka‘ab menghadap Rasūlullāh s.a.w., beliau tersenyum sinis lalu bertanya: “Apakah yang menyebabkanmu tidak ikut berperang?”

Ka‘ab bin Mālik berkata: “Wahai Rasūlullāh, seandainya aku duduk di depan orang selain dirimu di antara penduduk dunia ini, niscaya aku akan berpikir untuk menghindar dari kemarahannya dengan beberapa alasan, dan aku telah dianugerahi keahlian dalam berdebat. Namun, demi Allah, aku telah mengetahui sendainya hari ini aku menyampaikan alasan dusta kepada Baginda yang membuat ridhā kepadaku, niscaya Allah akan menurunkan murka kepadaku karenanya. Dan seandainya aku berbicara jujur kepada Baginda, niscaya Baginda akan murka kepadaku. Namun, sungguh dengan itu aku memohon semoga Allah s.w.t. memaafkan diriku. Sesungguhnya aku tidak mempunyai alasan apa-apa ketika tidak ikut berperang.”

Rasūlullāh s.a.w. berkata: “Orang ini berkata jujur. Sekarang pergilah hingga Allah memutuskan perkaramu.” Demikian pula kedua temannya yang tidak ikut berperang, mereka menyampaikan hal yang sama maka Rasūlullāh s.a.w. mengatakan seperti yang beliau katakan kepada Ka‘ab.

Kemudian Rasūlullāh s.a.w. melarang kaum Muslimīn berbicara dengan ketiga orang tersebut sehingga orang-orang mengucilkan mereka. Beberapa waktu kemudian, Rasūlullāh s.a.w. memerintahkan mereka untuk menjauhi istrinya. Namun, istri Hilāl bin Umayyah meminta idzin kepada Rasūlullāh s.a.w. supaya diperbolehkan melayani suaminya karena sudah tua dan tidak memiliki pelayan. Lalu beliau s.a.w. mengidzinkannya.

Mereka menjalani hukuman seperti itu sehingga bumi yang luas ini terasa sempit oleh mereka, dan jiwa mereka juga terasa sempit, serta mereka telah mengetahui bahwa tiada tempat berlindung selain kepada Allah s.w.t. Kemudian Allah s.w.t. menerima tobat mereka. Lalu Rasūlullāh s.a.w. mengutus seseorang untuk menyampaikan berita gembira ini kepada ketiga orang tersebut. Maka orang-orang pun berbondong-bondong menemui mereka untuk mengucapkan selamat karena Allah s.w.t. telah menerima tobatnya.

Ketika Ka‘ab memasuki masjid, ia disambut oleh Rasūlullāh s.a.w. dengan hangat. Beliau s.a.w. berkata: “Hai Ka‘ab, bergembiralah dengan sebaik-baik hari sejak engkau dilahirkan ibumu.

Lalu Ka‘ab bertanya: “Wahai Rasūlullāh, apakah tobat (ampunan) ini berasal dari dirimu ataukah dari sisi Allah?”

Rasūlullāh s.a.w. menjawab: “Bahkan ia datangnya dari sisi Allah.”

Ka‘ab berkata: “Wahai Rasūlullāh, sebagai pertanda tobatku ini, aku akan memberikan harta bendaku sebagai sedekah kepada Allah dan Rasūl-Nya.”

Lalu Rasūlullāh s.a.w. berkata kepadanya: “Peganglah sebagian daripadanya, hal itu lebih baik bagimu.

Selanjutnya, Rasūlullāh membacakan ayat-ayat yang berkenaan dengan pengampunan dirinya dan kedua temannya seperti yang tertera dalam surah Barā’ah (At-Taubah):

Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan tobatnya) hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa mereka pun telah sempit (terasa pula) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah selain kepada-Nya. Kemudian Allah menerima tobat mereka agar mereka tetap dalam tobatnya. Sesungguhnya Allahlah yang Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (At-Taubah: 118)

Utusan Orang Tsaqīf (272)

Setelah kedatangan Nabi s.a.w. dari Tabūk, datanglah beberapa utusan dari Bani Tsaqīf. Kisah kedatangan mereka bermula ketika Rasūlullāh s.a.w. pulang dari mengepung Bani Tsaqīf. Lalu ‘Urwah bin Mas‘ūd ats-Tsaqafī menyusul Rasūlullāh s.a.w. sehingga ia berhasil menyusul sebelum beliau sampai di Madīnah. Lalu ‘Urwah masuk Islam, dan ia meminta kepada Rasūlullāh s.a.w. supaya mengidzinkannya kembali kepada kaumnya untuk mengajak mereka masuk Islam. Rasūlullāh s.a.w. menasihatinya: “Sesungguhnya (jika engkau kembali) mereka pasti akan membunuhmu.” ‘Urwah menjawab: “Wahai Rasūlullāh, aku adalah orang yang paling mereka cintai.”

Maka berangkatlah ‘Urwah menemui kaumnya dan berharap mereka mau mematuhinya karena mengingat kedudukannya di tengah kaumnya. Di samping ia juga orang yang sangat mereka cintai dan taati. Maka ketika sampai di Thā’if, ia menampakkan kepada mereka apa yang dibawanya, tetapi mereka menghujaninya dengan anak panah sehingga ia mati terbunuh.

Setelah satu bulan sejak ‘Urwah terbunuh, mereka (Bani Tsaqīf) bermusyāwarah dan mengambil keputusan bahwa mereka tidak akan mampu menghadapi semua orang ‘Arab yang berada di sekitar mereka—karena telah masuk Islam. Mereka sepakat untuk mengutus seorang lelaki dari kalangan mereka untuk berunding dengan Rasūlullāh s.a.w. Kemudian mereka menunjuk ‘Abdu Yālīl bin ‘Amr (283) untuk mengemban tugas ini, tetapi ‘Abdu Yālīl menolak tugas tersebut (294) seraya berkata: “Aku tidak mau mengerjakan tugas ini kecuali bilamana kalian menunjuk pula orang-orang yang menemani aku.” Akhirnya, mereka menunjuk lima orang dari kalangan orang terhormatnya untuk menemani ‘Abdu Yālīl. Maka ‘Abdu Yālīl bersama rombongannya berangkat menuju Madīnah.

Ketika mereka telah mengadakan pertemuan dengan Rasūlullāh s.a.w., beliau mendirikan perkemahan untuk tempat tinggal mereka di salah satu halaman dekat masjid. Maksudnya supaya mereka dapat mendengarkan bacaan al-Qur’ān dan melihat orang-orang yang melakukan shalat.

Setiap hari mereka menemui Rasūlullāh s.a.w., dan mereka meninggalkan seseorang yang paling muda, yaitu ‘Utsmān bin Abul-‘Āsh untuk menjaga hewan-hewan kendaraan mereka. Apabila mereka kembali maka ‘Utsmān pergi menemui Nabi s.a.w. untuk belajar al-Qur’ān kepada beliau. Apabila Nabi s.a.w. sedang tidur maka ia belajar kepada Abū Bakar r.a. Oleh sebab itu, ia banyak menghafal ayat-ayat al-Qur’ān, tetapi ia menyembunyikan hal tersebut dari teman-temannya. Tidak lama kemudian rombongan itu pun masuk Islam semua, lalu mereka meminta supaya Rasūlullāh s.a.w. menunjuk seseorang dari kalangan mereka yang menjadi imam untuk mereka. Maka Rasūlullāh s.a.w. mengangkat ‘Utsmān bin Abul-‘Āsh sebagai pemimpin mereka karena Rasūlullāh s.a.w. telah melihat kesungguhannya mempelajari agama Islam, membaca al-Qur’ān dan mempelajarinya.

Surat kepada Penduduk Thā’if

Kemudian Rasūlullāh s.a.w. menulis surat kepada penduduk Thā’if yang isinya sebagai berikut:

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang Dari Muḥammad Nabi dan Rasūl Allah kepada orang-orang yang beriman. Sesungguhnya pohon – pohonan Thā’if terlindungi dan binatang-binatang buruannya haram untuk dibunuh dan tetumbuhannya tidak boleh ditebang. Barang siapa yang ditemukan telah melakukan hal-hal yang telah dilarang tersebut, ia harus didera dan bajunya dilepaskan.

Kemudian mereka meminta kepada Rasūlullāh s.a.w. supaya menangguhkan penghancuran berhala mereka dalam waktu sebulan. Maksudnya supaya agama Islam dapat tertanam kuat di dalam hati kaumnya terlebih dahulu sehingga orang-orang yang bodoh dari kalangan kaum wanita mereka tidak ragu-ragu lagi merobohkannya. Rasūlullāh s.a.w. menyetujui permintaan mereka itu. Ketika mereka meninggalkan Rasūlullāh s.a.w., pemimpin mereka berkata: “Aku adalah orang yang paling mengetahui di antara kalian tentang watak orang Tsaqīf. Kuminta supaya kalian menyembunyikan keislaman kalian. Kemudian mari kita takut-takuti mereka dengan peperangan dan pertumpahan darah, dan kabarkanlah kepada mereka bahwa Muḥammad meminta persyaratan yang berat-berat sehingga kita menolaknya. Ia meminta kepada kita menghancurkan thāghiyah (berhala), meninggalkan zina, minum khamar, dan ribā’.”

Ketika mereka telah sampai di tempat tinggal mereka, datanglah orang-orang Tsaqīf menemui mereka. Para utusan itu berkata kepada mereka: “Kami baru datang dari seorang lelaki (Nabi Muḥammad) yang berhati keras dan kasar. Ia telah menunjukkan pedangnya (kekuatan) sehingga semua orang tunduk kepadanya. Ia menawarkan hal-hal yang sangat berat kepada kami.” Ia menyebutkan hal-hal tersebut di atas. Orang-orang Thā’if menjawab: “Demi Allah, kami tidak akan menaatinya untuk selama-lamanya.” Para utusan itu pun berkata kepada mereka: “Sekarang persiapkanlah semua senjata kalian, dan tutuplah rapat-rapat benteng kalian. Kemudian bersiap-siaplah untuk berperang.” Mereka melakukan hal itu sehingga berlangsung selama dua atau tiga hari.

Kemudian Allah s.w.t. menimpakan rasa takut ke dalam hati mereka. Akhirnya, mereka berkata: “Demi Allah, kami tidak akan kuat bertempur melawan dia (Nabi Muḥammad). Kembalilah kalian (para utusan) kepadanya, dan berikanlah kepadanya semua yang dimintanya.” Pada saat itu, para utusan baru mengatakan hal yang sebenarnya: “Kami telah menyetujuinya dan kami telah masuk Islam.” Mereka berkata dengan nada jengkel: “Mengapa kalian menyembunyikan hal itu dari kami?” Para utusan menjawab: “Ya, sengaja kami lakukan itu supaya kesombongan kalian lenyap terlebih dahulu.” Akhirnya, semua penduduk Thā’if masuk Islam.

Dihancurkannya Berhala Lāta

Ketika Rasūlullāh s.a.w. mendengar kabar bahwa penduduk Thā’if kini telah masuk Islam, beliau mengutus shahabat Abū Sufyān dan al-Mughīrah bin Syu‘bah ats-Tsaqafī untuk menghancurkan berhala Lāta, sesembahan penduduk Tsaqīf dahulu, di Thā’if. Abū Sufyān dan al-Mughīrah berangkat menuju Thā’if. Sesampainya di sana, mereka menghancurkan berhala Lāta itu hingga rata dengan tanah.

Shahabat Abū Bakar r.a. Berhaji (305)

Pada akhir bulan Dzul-Qa‘dah, Rasūlullāh s.a.w. mengutus shahabat Abū Bakar r.a. untuk menjalankan ‘ibādah haji bersama para shahabat. Maka Abū Bakar r.a. berangkat bersama tiga ratus orang dari Madīnah. Ia membawa hewan kurban sebanyak dua puluh ekor untuk pemberian Rasūlullāh, sedangkan ia sendiri membawa hewan kurban sebanyak lima ekor unta.

Ketika shahabat Abū Bakar r.a. dan jamaahnya telah berangkat, turunlah kepada Rasūlullāh s.a.w. permulaan surat at-Taubah. Rasūlullāh s.a.w. mengutus shahabat ‘Alī untuk menyampaikan ayat-ayat tersebut kepada kaum Muslimīn pada hari Haji Akbar nanti. Rasūlullāh s.a.w. berkata: “Tiada seorang pun yang akan menyampaikannya dariku kecuali seorang lelaki dari kalangan keluargaku.

Maka ‘Alī segera menyusul Abū Bakar dan rombongannya. Ia dapat menyusulnya sewaktu masih di tengah perjalanan. Abū Bakar bertanya: “Apakah Rasūlullāh mengangkatmu menjadi pemimpin haji?”

‘Alī menjawab: “Tidak, tetapi beliau mengirimkan aku untuk membacakan surah al-Barā’ah kepada semua orang. Ketika mereka berkumpul di Minā pada hari Qurbān.”

‘Alī membacakan kepada mereka tiga belas ayat dari awal surah al-Barā’ah. Makna ayat-ayat tersebut mengandung pernyataan pemutusan hubungan perjanjian dengan semua kaum musyrikin, yaitu mereka yang tidak pernah menunaikan perjanjian mereka. Selanjutnya, mereka diberi masa tangguh selama empat bulan. Dalam masa tangguh itu mereka boleh pergi ke mana saja di muka bumi ini sesuka mereka.

Adapun perjanjian dengan kaum musyrikin yang belum pernah menentang kaum Muslimīn dan juga belum pernah berbuat khianat maka ditangguhkan sampai masa perjanjian selesai.

Setelah itu, ‘Alī berseru: “Tidak boleh melakukan haji sesudah tahun ini seorang musyrik pun, dan tidak boleh thawaf di Baitullāh dalam keadaan telanjang.”

Dalam perjalanan ini, ‘Alī selalu shalat di belakang Abū Bakar sebagai ma’mūm.

Meninggalnya Ibnu Ubay

Pada bulan Dzul-Qa‘dah, ‘Abdullāh bin Ubay mati. Rasūlullāh s.a.w. melakukan shalat jenazah cukup lama, tidak seperti biasanya. Kemudian beliau juga mengantarkan jenazahnya sampai di kuburan. Rasūlullāh s.a.w. sengaja melakukan hal itu untuk menghibur hati anaknya, yaitu shahabat ‘Abdullāh bin ‘Abdullāh bin Ubay, sekaligus guna melunakkan hati kabilah Khazraj karena Ibnu Ubay mempunyai kedudukan yang terhormat di kalangan mereka. Ternyata, sesudah peristiwa itu banyak orang dari kaum munāfiqīn yang meninggalkan kemunāfiqan mereka karena mereka telah melihat sendiri perlakuan Rasūlullāh s.a.w. yang begitu baik terhadap pemimpin mereka.

Namun, sesudah peristiwa itu, Rasūlullāh s.a.w. dilarang oleh Allah s.w.t. melakukan shalat jenazah untuk orang-orang munāfiq. Untuk itu Allah s.w.t. menurunkan firman-Nya.

Allah s.w.t. berfirman:

Dan janganlah kamu sekali-kali melakukan shalat (jenazah) seseorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri di kuburnya.” (At-Taubah: 84) (316)

Wafatnya Ummu Kultsūm

Pada tahun itu juga, Ummu Kultsūm binti Rasūlullāh s.a.w., istri shahabat ‘Utsmān bin ‘Affān r.a., meninggal dunia.

Catatan:

  1. 26). HR. al-Bukhārī (4418) dan Muslim (2769).
  2. 27). As-Sīrat-un-Nabawiyyah, Ibnu Hisyām (4/193), Al-Maghāzī, Al-Wāqidī (3/968).
  3. 28). Dia adalah ‘Abdu Yālīl bin ‘Amru ats-Tsaqafī, seorang terhormat di Bani Tsaqīf.
  4. 29). Ia khawatir sekiranya terjadi padanya seperti apa yang terjadi pada ‘Urwah bin Mas‘ūd.
  5. 30). Shaḥīḥu Sīrat-in-Nabawiyyah, hlm. 625, Al-Bidāyatu wan-Nihāyah (7/136), Ath-Thabaqāt-ul-Kubrā (2/168).
  6. 31). Shaḥīḥ-ul-Bukhārī (4670), Shaḥīḥu Sīrat-in-Nabawiyyah, hlm. 621- 622.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *