Kisah Nabi Musa & Nabi Harun A.S. – Kisah 25 Nabi & Rasul (2/2)

KISAH 25 NABI DAN RASŪL
Diserti Dalil-dalil al-Qur’ān
 
Penyusun: Mahfan, S.Pd.
Penerbit: SANDRO JAYA

Rangkaian Pos: Kisah Nabi Musa & Nabi Harun A.S. - Kisah 25 Nabi & Rasul

Nabi Mūsā Menghadap Fir‘aun

Sampai di negeri Mesir, Nabi Mūsā a.s. menghadap Fir‘aun, kemudian mengajak kembali ke jalan yang benar seraya mempertunjukkan kedua mu‘jizat yang telah beliau terima dari Allah s.w.t.. Demi melihat itu, bukan main murkanya Fir‘aun kepada Nabi Mūsā a.s.. Segera ia panggil semua ahli sihirnya untuk melawan mu‘jizat Mūsā a.s. di suatu arena yang telah ditetapkan dan waktunya.

Acara pertandingan pun dimulai. Masing-masing ahli sihir Fir‘aun mengeluarkan ilmunya. Ada yang melempar tali menjadi ular, ada yang melempar tongkatnya menjadi ular berbisa yang berjalan mengelilingi Nabi Mūsā a.s. Melihat hal itu, Nabi Mūsā a.s. mulai merasa ngeri dan ketakutan. Tetapi, segera Allah s.w.t. menolong Nabi Mūsā a.s. Hal ini sesuai dengan firman-Nya:

قُلْنَا لَا تَخَفْ إِنَّكَ أَنْتَ الْأَعْلَى. وَ أَلْقِ مَا فِيْ يَمِيْنِكَ تَلْقَفْ مَا صَنَعُوْا إِنَّمَا صَنَعُوْا كَيْدُ سَاحِرٍ وَ لَا يُفْلِحُ السَّاحِرُ حَيْثُ أَتَى

Artinya:

Kami berkata: “Janganlah kamu takut, sesunggguhnya kamulah yang paling unggul (menang). Dan lemparkanlah apa yang ada di tangan kananmu, niscaya ia akan menelan apa yang mereka perbuat. Sesungguhnya apa yang mereka perbuat itu adalah tipu daya tukang sihir (belaka). Dan tidak akan menang tukang sihir itu, dari mana saja ia datang.” (QS. Thāhā: 68-69).

Nabi Mūsā a.s. melemparkan tongkatnya. Maka jadilah ia seekor ular besar yang kemudian menelan semua ular buatan para tukang sihir Fir‘aun. Bukan main terkejutnya tukang-tukang sihir itu, dan mereka sadar bahwa kebenaran berada di pihak Mūsā a.s. Maka dengan sera-merta mereka mengakui keunggulan dan beriman kepada Nabi Mūsā a.s.. Allah s.w.t. menjelaskan hal ini dengan firman-Nya:

فَأُلْقِيَ السَّحَرَةُ سُجَّدًا قَالُوْا آمَنَّا بِرَبِّ هَارُوْنَ وَ مُوْسَى

Artinya:

Lalu tukang-tukang sihir itu tersungkur dan bersujud, seraya berkata: “Kami telah percaya kepada Tuhan Hārūn dan Mūsā.” (QS. Thāhā: 70).

Mendapati kenyataan itu, ditambah lagi dengan kenyataan istrinya (Siti Asiah) juga beriman kepada Mūsā a.s., maka bertambah marahlah Fir‘aun, sehingga ia bertindak sewenang-wenang. Para tukang sihir itu dihukum mati, istrinya kemudian disiksa hingga menemui ajalnya, begitu pula semua orang yang beriman. Maka larilah Mūsā a.s. bersama para pengikutnya keluar dari Mesir.

Laut Merah Dibelah, dan Fir‘aun pun Tenggelam

Karena dikejar oleh Fir‘aun dan tentaranya, Nabi Mūsā a.s. beserta para pengikutnya lari terus hingga di tepi Laut Merah. Sampai di situ Nabi Mūsā a.s. menemuai jalan buntu dan kebingungan. Maka turunlah firman Allah untuk menolongnya, sebagaimana disebutkan di dalam al-Qur’ān yang artinya:

وَ إِذْ فَرَقْنَا بِكُمُ الْبَحْرَ فَأَنْجَيْنَاكُمْ وَ أَغْرَقْنَا آلَ فِرْعَوْنَ وَ أَنْتُمْ تَنْظُرُوْنَ

Artinya:

Dan (ingatlah), ketika Kami membelah laut untukmu, lalu kami selamatkan kamu dan Kami tenggelamkan (Fir‘aun) dan pengikut-pengikutnya sedang kamu sendiri menyaksikan.” (QS. al-Baqarah: 50).

Nabi Mūsā dan Nabi Hārūn

Fir‘aun dan tentaranya telah binasa. Tetapi, warisan kekufurannya masih saja tertanam dalam jiwa rakyatnya, sehingga Nabi Mūsā a.s. merasakan kesulitan untuk memperbaiki budi pekerti yang telah rusak itu, apalagi dengan sekedar nasehat-nasehat. Untuk itu, Nabi Mūsā a.s. memohon kepada Allah s.w.t., sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’ān:

وَ أَخِيْ هَارُوْنُ هُوَ أَفْصَحُ مِنِّيْ لِسَانًا فَأَرْسِلْهُ مَعِيَ رِدْءًا يُصَدِّقُنِيْ إِنِّيْ أَخَافُ أَنْ يُكَذِّبُوْنِ

Artinya:

Dan saudaraku Hārūn dia lebih fasih lidahnya daripadaku, maka utuslah dia bersamaku sebagai pembantuku untuk membenarkan (perkataan)ku; sesungguhnya aku khawatir mereka akan mendustakanku.” (QS. al-Qashash: 34)

Permohonan Nabi Mūsā a.s. dijawab oleh Allah s.w.t.:

قَالَ سَنَشُدُّ عَضُدَكَ بِأَخِيْكَ وَ نَجْعَلُ لَكُمَا سُلْطَانًا فَلَا يَصِلُوْنَ إِلَيْكُمَا بِآيَاتِنَا أَنْتُمَا وَ مَنِ اتَّبَعَكُمَا الْغَالِبُوْنَ

Artinya:

Allah berfirman: “Kami akan membantumu dengan saudaramu, dan Kami berikan kepadamu berdua kekuasaan yang besar, maka mereka tidak dapat mencapaimu; (berangkatlah kamu berdua) dengan membawa mu‘jizat Kami, kamu berdua dan orang yang mengikuti kamulah yang menang.” (QS. al-Qashash: 35).

Nabi Mūsā Menerima Wahyu

Ketika pergi ke Gunung Sinai, Nabi Mūsā a.s. menerima firman dari Allah s.w.t., selama 40 malam. Selama itu, ditinggalkannya ummatnya di bawah pimpinan Nabi Hārūn a.s.. Tetapi selama kepergian Nabi Mūsā a.s. itu, ummatnya ternyata menjadi lupa dan murtad.

Sāmirī Membuat Patung

Salah seorang ummat Nabi Mūsā a.s., adalah Sāmirī, ia pandai membuat patung sapi betina dari emas. Kemudian dimasukkannya segumpal tanah dari bekas telapak kaki kuda Malaikat Jibrīl a.s., sehingga patung itu dapat bersuara. Menurut riwayat, sewaktu Nabi Mūsā a.s. dan kudanya akan menyeberangi Laut Merah bersama kaumnya. Malaikat Jibrīl a.s. dengan mengendarai kuda betina membimbing perjalan mereka di muka. Itu adalah perintah Allah s.w.t., karena semula kuda Nabi Mūsā a.s. dan kaumnya tidak mau melewati Laut Merah. Rupanya Sāmirī, si tukang sihir itu, melihat mu‘jizat Allah itu, dan segera memanfaatkannya untuk tujuan jahat.

Setelah patung anak sapi selesai dibuat, maka berserulah Sāmirī kepada orang-orang di sekitarnya: “Wahai kawan-kawanku, agaknya Mūsā a.s. sudah tidak ada lagi, maka tidak ada gunanya kita menyembah Tuhannya Mūsā a.s.. Sekarang, marilah kita sembah patung anak sapi yang terbuat dari emas ini. Dia pun dapat bersuara, dan inilah tuhan yang patut kita sembah.” Maka banyak di antara ummat Nabi Mūsā a.s. yang berbalik murtad dan mengikuti ajakan Sāmirī. Mereka beramai-ramai menyembah patung anak sapi itu. Nabi Hārūn a.s. telah berusaha sekuat tenaga untuk mencegah mereka dari kemurtadan itu, tetapi mereka menentangnya.

Ketika Nabi Mūsā a.s. kembali kepada kaumnya, dan melihat perbuatan mereka yang sesat itu, murka dan duka-citanya bukan kepalang. Di dalam al-Qur’ān, Allah s.w.t. menerangkan hal itu dengan firman-Nya:

فَرَجَعَ مُوْسَى إِلَى قَوْمِهِ غَضْبَانَ أَسِفًا قَالَ يَا قَوْمِ أَلَمْ يَعِدْكُمْ رَبُّكُمْ وَعْدًا حَسَنًا أَفَطَالَ عَلَيْكُمُ الْعَهْدُ أَمْ أَرَدْتُّمْ أَنْ يَحِلَّ عَلَيْكُمْ غَضَبٌ مِّنْ رَّبِّكُمْ فَأَخْلَفْتُمْ مَّوْعِدِيْ

Artinya:

Kemudian Mūsā kembali kepada kaumnya dengan marah dan bersedih hati. Berkata Mūsā: “Hai kaumku, bukankah Tuhanmu telah menjanjikan kepadamu suatu janji yang baik? Maka apakah terasa lama masa yang berlalu itu bagimu atau kamu menghendaki agar kemurkaan dari Tuhanmu, lalu kamu melanggar perjanjianmu dengan aku?” (QS. Thāhā: 86).

Kemudian Nabi Mūsā a.s. menegur Nabi Hārūn a.s. atas ketidakmampuannya menjaga ummatnya, sebagaimana disebutkan di dalam al-Qur’ān yang artinya:

قَالَ يَا هَارُوْنُ مَا مَنَعَكَ إِذْ رَأَيْتَهُمْ ضَلُّوْا. أَلَّا تَتَّبِعَنِ أَفَعَصَيْتَ أَمْرِيْ

Artinya:

Berkata Mūsā: “Hai Hārūn, apa yang menghalangi kamu ketika kamu melihat mereka telah sesat, (sehingga kamu tidak mengikuti aku? Maka apakah kamu telah (sengaja) mendurhakai perintahku?” (QS. Thāhā: 92-93).

قَالَ يَا ابْنَ أُمَّ لَا تَأْخُذْ بِلِحْيَتِيْ وَ لَا بِرَأْسِيْ إِنِّيْ خَشِيْتُ أَنْ تَقُوْلَ فَرَّقْتَ بَيْنَ بَنِيْ إِسْرَائِيْلَ وَ لَمْ تَرْقُبْ قَوْلِيْ

Artinya:

Nabi Hārūn a.s. menjawab: “Hai putera ibuku, janganlah kamu pegang janggutku dan jangan (pula) kepalaku; sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan berkata (kepadaku): “Kamu telah memecah antara Bani Isrā’īl dan kamu tidak memelihara amanatku.” (QS. Thāhā: 94).

Kepada Sāmirī, Nabi Mūsā a.s. kemudian menghardik seperti yang disebutkan dalam al-Qur’ān:

قَالَ فَمَا خَطْبُكَ يَا سَامِرِيُّ. قَالَ بَصُرْتُ بِمَا لَمْ يَبْصُرُوْا بِهِ فَقَبَضْتُ قَبْضَةً مِّنْ أَثَرِ الرَّسُوْلِ فَنَبَذْتُهَا وَ كَذلِكَ سَوَّلَتْ لِيْ نَفْسِيْ. قَالَ فَاذْهَبْ فَإِنَّ لَكَ فِي الْحَيَاةِ أَنْ تَقُوْلَ لَا مِسَاسَ وَ إِنَّ لَكَ مَوْعِدًا لَّنْ تُخْلَفَهُ وَ انْظُرْ إِلَى إِلهِكَ الَّذِيْ ظَلْتَ عَلَيْهِ عَاكِفًا لَّنُحَرِّقَنَّهُ ثُمَّ لَنَنْسِفَنَّهُ فِي الْيَمِّ نَسْفًا

Artinya:

Berkata Mūsā: “Apakah yang mendorongmu (berbuat demikian) hai Sāmirī?” Sāmirī menjawab: “Aku mengetahui sesuatu yang mereka tidak mengetahuinya, maka aku ambil segenggam dari jejak rasul lalu aku melemparkannya, dan demikianlah nafsuku membujukku.” Berkata Mūsā: “Pergilah kamu, maka sesungguhnya bagimu di dalam kehidupan di dunia ini (hanya dapat) mengatakan: “Janganlah menyentuh (aku).” Dan sesungguhnya bagimu hukuman (di akhirat) yang kamu sekali-kali tidak dapat menghindarinya, dan lihatlah tuhanmu itu yang kamu tetap menyembahnya. Sesungguhnya kami akan membakarnya, kemudian kami sungguh-sungguh akan menghamburkannya ke dalam laut (berupa abu yang berserakan).” (QS. Thāhā: 95-97).

Kemudian, kepada ummatnya yang lain, Nabi Mūsā a.s. memerintahkan untuk bertaubat atas kesalahan dan dosa mereka itu. Nabi Mūsā a.s. memohonkan ampun pula kapada Allah s.w.t., sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’ān:

وَ إِذْ قَالَ مُوْسَى لِقَوْمِهِ يَا قَوْمِ إِنَّكُمْ ظَلَمْتُمْ أَنْفُسَكُمْ بِاتِّخَاذِكُمُ الْعِجْلَ فَتُوْبُوْا إِلَى بَارِئِكُمْ فَاقْتُلُوْا أَنْفُسَكُمْ ذلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ عِنْدَ بَارِئِكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ

Artinya:

Dan (ingatlah), ketika Mūsā berkata kepada kaumnya: “Hai kaumku, sesungguhnya kamu telah menganiaya dirimu sendiri karena kamu telah menjadikan anak lembu (sesembahanmu), maka bertaubatlah kepada Tuhan yang menjadikan kamu dan bunuhlah dirimu. Hal itu adalah lebih baik bagimu pada sisi Tuhan yang menjadikan kamu; maka Allah akan menerima taubatmu. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. al-Baqarah: 54).

Ummat Nabi Mūsā Ingin Melihat Tuhan

Ummat Nabi Mūsā a.s. yakni Bani Isrā’īl, memiliki sifat keras kepala dan hati. Sifat kekufuran yang ada pada mereka tidak mudah hilang begitu saja. Mereka senantiasa mencari alasan untuk dapat lepas dari kewajiban dan bebas dari segala yang diharamkan. Mengenai itu, Allah s.w.t. telah berfirman:

وَ إِذْ قُلْتُمْ يَا مُوْسَى لَنْ نُّؤْمِنَ لَكَ حَتَّى نَرَى اللهَ جَهْرَةً فَأَخَذَتْكُمُ الصَّاعِقَةُ وَ أَنْتُمْ تَنْظُرُوْنَ. ثُمَّ بَعَثْنَاكُم مِّنْ بَعْدِ مَوْتِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ

Artinya:

Dan (ingatlah), ketika kamu berkata: “Ha Mūsā, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang,” karena itu kamu disambar halilintar, sedang kamu menyaksikannya. Setelah itu Kami bangkitkan kamu sesudah kamu mati, supaya kamu bersyukur.” (QS. al-Baqarah: 55-56).

Bani Isrā’īl ragu terhadap Allah s.w.t.. Karena itu mereka menyerupakan Tuhan dengan makhluk hidup, padahal seisi alam ini tidak ada yang menyerupai Allah. Dzāt Allah tidak dapat dilihat oleh mata manusia. Tetapi Allah s.w.t. dapat melihat (dengan Kesucian dan Kekuasaan-Nya) segala makhluk ciptaan-Nya.

Ummat Nabi Mūsā Terkurung di Padang Tih

Bani Isrā’īl yang telah menjadi pengikut Nabi Mūsā a.s. mudah sekali terpengaruh oleh kaum yang kafir. Jika mereka bertemu, maka para pengikut Nabi Mūsā a.s. akan segera kembali kepada kebiasaan lamanya. Itulah sebabnya Allah s.w.t. kemudian menyuruh mereka agar berhijrah ke negeri Suriya (Bait-ul-Maqdis). Tetapi mereka menolak perintah itu dengan banyak mengemukakan alasan yang dibuat-buat. Maka Allah s.w.t. mengurung mereka di Padang Tih selama 40 tahun. Di dalam al-Qur’ān, Allah s.w.t. menerangkan:

وَ إِذْ قُلْنَا ادْخُلُوْا هذِهِ الْقَرْيَةَ فَكُلُوْا مِنْهَا حَيْثُ شِئْتُمْ رَغَدًا وَ ادْخُلُوا الْبَابَ سُجَّدًا وَ قُوْلُوْا حِطَّةٌ نَّغْفِرْ لَكُمْ خَطَايَاكُمْ وَ سَنَزِيْدُ الْمُحْسِنِيْنَ

Artinya:

Dan (ingatlah), ketika Kami berfirman: “Masuklah kalian ke negeri ini (Bait-ul-Maqdis), dan makanlah dari hasil buminya, yang banyak lagi enak di mana yang kamu sukai, dan masukilah pintu gerbangnya sambil bersujud, dan katakanlah: “Bebaskanlah kami dari dosa,” niscaya Kami ampuni kesalahan-kesalahanmu. Dan kelak Kami akan menambahkan (pemberian Kami) kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. al-Baqarah: 58).

Kaum Nabi Mūsā a.s. dilimpahkan berbagai nikmat yang banyak dari Allah, Allah selalu menolong mereka ketika dalam kesusahan, namun durhaka kepada Allah. Walaupun mereka selalu memperoleh pertolongan Allah s.w.t. ketika dalam kesempitan, namun mereka sering kufur dan tidak mensyukurinya.

Nabi Mūsā a.s. wafat di Padang Tih dalam usia 120 tahun, sedangkan Nabi Hārūn a.s. wafat lebih dahulu daripada beliau.

Hikmah dari Kisah Nabi Mūsā dan Nabi Hārūn:

  1. Allah Maha Berkuasa atas segala sesuatu. Nabi Mūsā a.s. kecil selamat dari ancaman pembunuhan ketika lahir adalah karena Kuasa Allah.
  2. Nabi Mūsā a.s. adalah orang yang sangat bersahaja, sehat jasmani dan rohani, cerdas serta tanggap terhadap fenomena masyarakatnya.
  3. Nabi Mūsā a.s. memahami keterbatasan pada dirinya, bahwa ia tidak fasih berbicara, maka ia mengangkat saudaranya Nabi Hārūn yang lebih fasih bicaranya sebagai temannya dalam menegakkan risalah Allah. Satu sifat yang harus diteladani; bahwa setiap diri mempunyai kekurangan dan kelebihan masing-masing. Berani mengakui kelemahan diri dan mengagumi kelebihan orang lain adalah kunci memperoleh kebahagiaan hidup.

4. Allah s.w.t. mengekalkan jasad Fir‘aun sampai saat ini sebagai pelajaran ummat manusia akan kesombongan seorang dengan mengaku sebagai tuhan yang akhirnya binasa dan tidak berkutik di hadapan Allah s.w.t..

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *