Kisah Nabi Muhammad S.A.W. – Kisah 25 Nabi & Rasul (1/2)

KISAH 25 NABI DAN RASŪL
Diserti Dalil-dalil al-Qur’ān
 
Penyusun: Mahfan, S.Pd.
Penerbit: SANDRO JAYA

Rangkaian Pos: Kisah Nabi Muhammad S.A.W. - Kisah 25 Nabi & Rasul

25. KISAH NABI MUḤAMMAD S.A.W.

Kelahiran Nabi Muḥammad s.a.w.

Nabi Muḥammad s.a.w. adalah anak ‘Abdullāh bin ‘Abd-ul-Muththalib. Ibunya bernama Āminah binti Wahhāb. Kedua orang tuanya itu berasal dari suku Quraisy yang terpandang dan mulia. Nabi Muḥammad s.a.w. lahir pada hari Senin, 12 Rabī‘-ul-Awwal tahun Gajah (atau, 20 April 571 Masehi). Dinamakan tahun Gajah, karena ketika beliau, Kota Makkah diserbu oleh Raja Abrahah dan tentaranya dari negeri Ḥabasyah dengan menunggangi gajah. Mereka hendak menghancurkan Ka‘bah karena iri hati terhadapnya. Tetapi Allah s.w.t. melindungi bangunan suci itu dan seluruh penduduk Makkah, dengan menjatuhkan batu-batu Sijjīl (dari neraka) yang amat panas kepada tentara itu. Maka bisanalah mereka semua.

Ketika Nabi Muḥammad s.a.w. masih dalam kandungan ibunya, ‘Abdullāh, ayahnya pergi ke negeri Syām (Siria) untuk berdagang. Tetapi, sepulang dari sana, ketika sampai di kota Madīnah, ia menderita sakit dan wafat. ‘Abdullāh dimakamkan di kota Madīnah. Maka Nabi Muḥammad s.a.w. dilahirkan ke dunia dalam keadaan yatim, di tengah-tengah masyarakat jahiliyah penyembah berhala, penindasan kaum lemah, perampas hak orang, dan bahkan pembunuh kaum wanita.

Ḥalīmah as-Sa‘diyyah Menjadi Ibu Susu Nabi

Sudah menjadi adat bangsa ‘Arab ketika itu, bahwa bayi seseorang disusukan kepada wanita lain. Begitu pula halnya dengan Nabi Muḥammad s.a.w.. Beliau disusukan kepada wanita dusun bernama Ḥalīmah as-Sa‘diyyah. Empat tahun lamanya beliau tinggal di dusun Bani Sa’ad bersama ibu susunya itu. Selama memelihara Nabi Muḥammad s.a.w., keluarga Ḥalīmah as-Sa‘diyyah memperoleh limpahan rezeki dari Allah s.w.t., sebagai berkah.

Menjelang usia lima tahun, Ḥalīmah as-Sa‘diyyah mengembalikan Nabi Muḥammad s.a.w. kepada ibunya; karena telah terjadi peristiwa atas anak asuhnya itu yang mencemaskan hatinya. Ketika dalam permainan bersama kawan-kawannya, Nabi Muḥammad s.a.w. tiba-tiba didatangi dua laki-laki berpakaian serba putih, membaringkannya, kemudian melakukan sesuatu atas dada anak tersebut. Meskipun tidak sesuatu terjadi atas Nabi Muḥammad s.a.w.. Setelah peristiwa itu, Ḥalīmah as-Sa‘diyyah amat khawatir. Maka ia segera membawa Nabi Muḥammad s.a.w. kembali kepada orang tuanya di Makkah.

Di Bawah Asuhan Kakeknya, ‘Abd-ul-Muththalib

Siti Āminah amat setia kepada suaminya. Sering kali ia bersama anaknya pergi ke Madīnah untuk berziarah ke makam suaminya, sekaligus bersilaturahmi kepada keluarganya, Bani Najjār, di sana.

Suatu kali, dalam perjalanan pulang dari Madīnah, seusai berziarah, Siti Āminah jatuh sakit di desa Abwa’ (antar Makkah dan Madīnah). Beberapa saat kemudian, ia wafat di sana, meninggalkan Nabi Muḥammad s.a.w. yang ketika itu baru berusia enam tahun. Maka jadilah Nabi Muḥammad s.a.w. yatim piatu.

Bersama Ummu Aimān, pembantunya, Nabi Muḥammad s.a.w. kembali ke Makkah. Beliau kemudian dipelihara oleh kakeknya, ‘Abd-ul-Muththalib, hingga menjelang sembilan tahun.

Nabi Muḥammad s.a.w. Diasuh oleh Pamannya

Selama tiga tahun bersama kakeknya, Nabi Muḥammad s.a.w. akhirnya dipelihara oleh pamannya, Abū Thālib, karena kakeknya meninggal dunia. Abū Thālib adalah seorang sesepuh kaum Quraisy yang disegani oleh kaumnya. Meskipun demikian, dia bukanlah tergolong orang yang kaya. Abū Thālib hanyalah seorang pedagang biasa yang sering merantau ke negeri Syām bersama serombongan kafilah dagangnya.

Ketika berusia 12 tahun, Nabi Muḥammad s.a.w. diajak oleh pamannya itu pergi berdagang ke Syām. Sampai di suatu dusun perbatasan Syām, Abū Thālib bersama kemenakannya itu singgah di rumah seorang pendeta Nasrani yang saleh, bernama Bahira. Dari kitab Taurāt dan Injīl yang dipelajarinya, pendeta Bahira dapat mengetahui ciri-ciri ke-Nabi-an yang ada pada diri Nabi Muḥammad s.a.w. yang masih kecil itu. Maka, dengan serta merta, pendeta Bahira memberitahukan hal itu kepada Abū Thālib seraya berkata: “Wahai saudarku, sesungguhnya anakmu ini adalah manusia pilihan Allah, calon pemimpin ummat manusia di dunia ini. Maka jagalah ia baik-baik. Bawalah ia kembali, sebab aku khawatir ia diganggu oleh orang-orang Yahudi di negeri Syām. Bahkan, sekiranya kaum Yahudi itu mengetahui bahwa ia adalah calon Rasūl Allah, maka tentulah ia akan membunuhnya.” Maka pulanglah Abū Thālib ke Makkah bersama Nabi Muḥammad s.a.w.. Sebelum mereka sampai ke negeri Syām.

Ikut Berdagang ke Negeri Syām

Setelah Nabi Muḥammad s.a.w. berusia hampir 25 tahun, Abū Thālib merasa bahwa kemenakannya itu telah cukup dewasa. Maka dipanggilnya Nabi Muḥammad, lalu ditawarkanlah kepadanya suatu pekerjaan yang menguntungkan, seraya berkata: “Wahai anakku, sesungguhnya kita bukanlah keluarga yang berkecukupan. Bahkan, kurasakan akhir-akhir ini kebutuhan kita semakin sulit didapat. Alangkah baiknya jika engkau pergi kepada Khadījah untuk meminta idzinnya membawa barang-barang dagangannya ke negeri Syām. Mudah-mudahan dari usaha itu engkau akan memperoleh keuntungan yang besar.

Nabi Muḥammad s.a.w. menyetujui usul pamannya, sebab beliau memaklumi sepenuhnya akan kesulitan yang dihadapi pamannya itu dalam menanggung beban belanja rumah tangganya. Segera beliau pergi kepada Siti Khadījah untuk meminta idzinnya memperdagangkan barang-barangnya. Siti Khadījah adalah seorang janda kaya di Makkah. Ia dikenal sebagai wanita Quraisy yang mulia karena keturunan dan akhlaknya. Ia adalah wanita budiman, gemar membantu sesamanya, dan selalu menjaga kehormatan dirinya, sehingga mendapat gelar ath-Thāhirah (Wanita Suci).

Menanggapai permohonan Nabi Muḥammad s.a.w. , Siti Khadījah tanpa pikir panjang langsung menyambutnya dengan senang hati, karena ia telah cukup mengenal Nabi Muḥammad s.a.w. sebagai pemuda yang ramah, jujur, dan sopan-santun. Maka berangkatlah Nabi Muḥammad s.a.w. ke negeri Syām, ditemani oleh Maisarah, budak Siti Khadījah. Pulang dari Syām, Nabi Muḥammad s.a.w. memperoleh keuntungan yang besar, yang belum pernah dicapai oleh oleh para pedagang lain. Siti Khadījah amat kagum terhadap pemuda Muḥammad, lebih-lebih ketika ia mendengar sendiri dari Maisarah, bagaimana agungnya perangai Nabi Muḥammad selama di perjalanan maupun ketika berdagang. Maka berubahlah rasa kagum itu menjadi rasa cinta.

Perkawinan Nabi Muḥammad dengan Siti Khadījah

Hubungan perdagangan antara Nabi Muḥammad s.a.w. dengan Siti Khadījah akhirnya diteruskan ke jenjang perkawinan. Rupanya Allah s.w.t. menghendaki demikian, karena banyak hikmah di balik semua itu. Dalam suatu upacara yang sederhana, dilangsungkanlah akad nikah antara keduanya, suatu pernikahan yang telah menoreh lembaran sejarah Islam. Ketika itu Nabi Muḥammad s.a.w. berusia 25 tahun, sementara Siti Khadījah telah berusia 40 tahun. Perkawinan ini membuahkan empat anak puteri dan dua orang putera, masing-masing Zainab, Ruqayyah, Ummu Kaltsūm, Fāthimah, Qāsim, dan ‘Abdullāh. Tetapi, atas kehendak Allah s.w.t., kedua anak laki-laki beliau wafat ketika masih kanak-kanak.

Memperoleh Gelar “Al-Amīn”

Ketika Nabi Muḥammad berusia 35 tahun, di Makkah terjadi bencana banjir sehingga merusak sebagian dinding Ka‘bah. Setelah usai bencana, kaum Quraisy beramai-ramai memperbaiki dinding Ka‘bah yang runtuh itu. Pada saat pekerjaan telah selesai, dan tinggal Ḥajar Aswad (batu hitam) yang mesti dikembalikan di tempatnya semula, terjadilah perselisihan di antara mereka. Masing-masing suku ingin memperoleh kehormatan dengan meletakkan Ḥajar Aswad itu di tempatnya. Hampir saja terjadi pertumpahan darah di antara mereka. Tetapi, tiba-tiba salah seorang berkata: “Wahai kaumku, janganlah kalian saling bermusuhan karena ini. Sebaiknya kita tunggu esok pagi, siapa yang pertama kali datang ke pintu Masjid ini dialah yang berhak mengambil keputusan.

Pagi-pagi keesokan harinya, kaum Quraisy mendapati bahwa orang yang pertama kali masuk ke pintu Masjid adalah Nabi Muḥammad s.a.w.. Maka bersoraklah mereka menyambutnya, karena mereka yakin akan kejujuran pemuda Muḥammad, Jadilah Nabi Muḥammad s.a.w. sebagai hakim yang memutuskan perkara Ḥajar Aswad. Nabi Muḥammad s.a.w. kemudian menggelar kain sorbannya di atas tanah dan meletakkan Ḥajar Aswad di atasnya. Lalu, kepada masing-masing kepala suku, beliau memerintahkan untuk memegang tiap-tiap ujung kain itu dan mengangkatnya. Sampai di atas, beliau lalu mengangkat batu suci dengan tangannya sendiri, dan meletakkannya di tempat semula. Dengan cara itu, seluruh kaum Quraisy merasa puas, dan berseru: “Kami rela atas keputusan yang dibuat oleh orang yang dipercaya ini!” Sejak saat itu, Nabi Muḥammad s.a.w. mendapat gelar “al-Amīn” artinya “Yang Dipercaya.”

Diangkat Menjadi Rasūl

Selama hidup bersama Siti Khadījah, Nabi Muḥammad s.a.w. merasa bahagia dan tentram. Meskipun kaya raya, Siti Khadījah tidak pernah menampakkan keangkuhan terhadap suaminya itu, bahkan ia amat merendahkan hatinya. Nabi Muḥammad s.a.w. sering kali pergi bertahannuts (menyendiri dan beribadah) di Gua Ḥirā’, kira-kira 10 kilometer jaraknya dari kota Makkah. Beliau biasa berdiam diri di gua itu selama beberapa hari, kemudian pulang kembali setelahnya.

Suatu ketika, saat beliau di Gua Ḥirā’, tiba-tiba datang Malaikat Jibrīl a.s. melingkupinya seraya berkata: “Bacalah!” Nabi Muḥammad menjawab sambil gemetar: “Aku tidak bisa membaca.” Jibrīl berkata lagi: “Bacalah!” Kembali Nabi Muḥammad menjawab: “Aku tidak bisa membaca.” Untuk ketiga kalinya, Jibrīl berkata: “Bacalah!” Dan lagi-lagi Nabi Muḥammad menjawab: “Aku tidak bisa membaca.” Maka, berkatalah Jibrīl kemudian, seperti yang disebutkan oleh al-Qur’ān:

اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِيْ خَلَقَ. خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ. اقْرَأْ وَ رَبُّكَ الْأَكْرَمُ. الَّذِيْ عَلَّمَ بِالْقَلَمِ. عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ

Artinya:

Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantara kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahui.” (QS. al-‘Alaq: 1-5)

Setelah itu, Jibrīl a.s. menghilang. Nabi Muḥammad s.a.w. merasa amat ketakutan. Beliau segera meninggalkan gua itu dan kembali pulang sambil bergemetar badannya. Sampai di rumah, dia berkata kepada istrinya: “Selimuti aku, selimuti aku, selimuti aku.” Khadījah yang prihatin atas keadaan suaminya itu segera menidurkan Nabi Muḥammad s.a.w. dan menyelimutinya seraya menenangkan hatinya. Setelah beristirahat beberapa saat, Nabi Muḥammad s.a.w. lalu menceritakan kejadian yang dialaminya itu kepada istrinya. Mendengar cerita suaminya, Siti Khadījah kemudian berkata: “Wahai Muḥammad, tenangkanlah hatimu. Sesungguhnya Allah tidak akan menyia-nyiakanmu, sebab engkau adalah orang yang suka menolong, jujur, dan selalu menyambung tali persaudaraan.”

Siti Khadījah kemudian membawa Nabi Muḥammad s.a.w. kepada sepupunya yang bernama Waraqah, seorang ahli kitab yang banyak mempelajari Taurāt dan Injīl. Mendengar kisah Nabi Muḥammad s.a.w., Waraqah kemudian berkata: “Sesungguhnya suamimu ini adalah calon Nabi dan Rasūl Allah. Telah datang kepadanya Malaikat Jibrīl yang juga pernah datang kepada Mūsā dan ‘Īsā.”

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *