Setelah Maryam anak ‘Imrān dewasa, datanglah Malaikat Jibrīl a.s. menyerupai laki-laki menghadapnya seraya memberi kabar dari Allah akan lahirnya seorang anak laki-laki darinya. Di dalam al-Qur’ān, kisah ini disebutkan sebagai berikut:
قَالَ إِنَّمَا أَنَا رَسُوْلُ رَبِّكِ لَأَهَبَ لَكِ غُلَامًا زَكِيًّا. قَالَتْ أَنَّى يَكُوْنُ لِيْ غُلَامٌ وَ لَمْ يَمْسَسْنِيْ بَشَرٌ وَ لَمْ أَكُ بَغِيًّا. قَالَ كَذلِكِ قَالَ رَبُّكِ هُوَ عَلَيَّ هَيِّنٌ وَ لِنَجْعَلَهُ آيَةً لِلنَّاسِ وَ رَحْمَةً مِّنَّا وَ كَانَ أَمْرًا مَّقْضِيًّا
Artinya:
“Ia (Jibrīl) berkata: “Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang utusan Tuhanmu, untuk memberimu seorang anak laki-laki yang suci.” Maryam berkata: “Bagaimana akan ada bagiku seorang anak laki-laki, sedang tidak pernah seorang manusiapun menyentuhku dan aku bukan (pula) seorang penzina.” Jibril berkata: “Demikianlah. Tuhanmu berfirman: “Hal itu adalah mudah bagi-Ku; dan agar dapat Kami menjadikannya suatu tanda bagi manusia dan sebagai rahmat dari Kami; dan hal itu adalah suatu perkara yang sudah diputuskan.” (QS. Maryam: 19-21)
Maka Maryam mengandung. Lalu ia menjauh dari kaumnya karena malu. Ketika ia hampir melahirkan, disandarkannya tubuhnya pada sebatang pohon kurma, lalu ia berkeluh-kesah, sebagaimana dikisahkan dalam al-Qur’ān:
فَأَجَاءَهَا الْمَخَاضُ إِلَى جِذْعِ النَّخْلَةِ قَالَتْ يَا لَيْتَنِيْ مِتُّ قَبْلَ هذَا وَ كُنْتُ نَسْيًا مَّنْسِيًّا. فَنَادَاهَا مِنْ تَحْتِهَا أَلَّا تَحْزَنِيْ قَدْ جَعَلَ رَبُّكِ تَحْتَكِ سَرِيًّا. وَ هُزِّيْ إِلَيْكِ بِجِذْعِ النَّخْلَةِ تُسَاقِطْ عَلَيْكِ رُطَبًا جَنِيًّا. فَكُلِيْ وَ اشْرَبِيْ وَ قَرِّيْ عَيْنًا فَإِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ الْبَشَرِ أَحَدًا فَقُوْلِيْ إِنِّيْ نَذَرْتُ لِلرَّحْمنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنْسِيًّا
Artinya:
“Maka rasa sakit akan melahirkan anak memaksa ia (bersandar) pada pangkal pohon kurma, ia berkata: “Aduhai, alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi suatu yang tidak berarti, lagi dilupakan.” Maka Jibrīl menyerunya dari tempat yang rendah: “Janganlah kamu bersedih hati, sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu. Dan goyangkanlah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu. Maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu. Jika kamu melihat seorang manusia, maka katakanlah: “Sesungguhnya aku telah bernadzar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini.” (QS. Maryam: 23-26)
Tidak lama setelah itu, lahirlah seorang putra dari Maryam, yang diberi nama ‘Īsā a.s. yang kemudian diangkat menjadi Nabi dan Rasūl Allah. Meskipun di kampugnya Maryam dicemooh kaumnya dengan tuduhan berzina, namun ia hanya diam membisu sesuai dengan perintah Allah s.w.t.. Jadi, Nabi ‘Īsā a.s. adalah putera Maryam, tanpa seorang bapak. Beliau lahir pada tahun 622 sebelum Hijrah. Peristiwa kelahiran Nabi ‘Īsā a.s. itu sesungguhnya ujian bagi manusia, siapa di antara mereka yang beriman dan siapa yang ingkar kepada Allah s.w.t..
Ketika kaumnya bertanya kepada Maryam tentang anak yang digendongnya, Maryam tidak mau berbicara, tetapi memberi isyarat kepada mereka sambil menunjuk bayinya yang baru lahir. Kaumnya menjadi heran seraya bertanya: “Bagaimana kami dapat berbicara dengan seorang anak yang baru lahir?” Dengan idzin Allah s.w.t., tiba-tiba Nabi ‘Īsā a.s. yang masih berada di buaian ibunya itu dapat berbicara untuk menjawab mereka. Di dalam al-Qur’ān, Allah s.w.t. telah mengisahkan tentang hal ini dengan firman-Nya:
قَالَ إِنِّيْ عَبْدُ اللهِ آتَانِيَ الْكِتَابَ وَ جَعَلَنِيْ نَبِيًّا. وَ جَعَلَنِيْ مُبَارَكًا أَيْنَ مَا كُنْتُ وَ أَوْصَانِيْ بِالصَّلَاةِ وَ الزَّكَاةِ مَا دُمْتُ حَيًّا. وَ بَرًّا بِوَالِدَتِيْ وَ لَمْ يَجْعَلْنِيْ جَبَّارًا شَقِيًّا. وَ السَّلَامُ عَلَيَّ يَوْمَ وُلِدْتُّ وَ يَوْمَ أَمُوْتُ وَ يَوْمَ أُبْعَثُ حَيًّا
Artinya:
“Berkata ‘Īsā: “Sesungguhnya aku ini hamba Allah, Dia memberiku al Kitāb (Injīl) dan Dia menjadikan aku seorang nabi dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkahi di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup; dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka. Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali.” (QS. Maryam: 30-33)
Setelah peristiwa ajaib itu, Maryam hijrah ke negeri Mesir untuk melindungi anaknya, ‘Īsā a.s. dari maksud jahat kaumnya. Beberapa lama hidup di Mesir, mereka kemudian kembali pulang ke negeri Syām. Pada usia 30 tahun, ‘Īsā a.s. diangkat oleh Allah s.w.t. menjadi Nabi dan Rasūl-Nya untuk menyerukan agama yang benar kepada kaum Bani Isā’īl. Di dalam al-Qur’ān, Allah s.w.t. telah berfirman:
وَ يُعَلِّمُهُ الْكِتَابَ وَ الْحِكْمَةَ وَ التَّوْرَاةَ وَ الْإِنْجِيْلَ. وَ رَسُوْلًا إِلَى بَنِيْ إِسْرَائِيْلَ أَنِّيْ قَدْ جِئْتُكُمْ بِآيَةٍ مِّنْ رَّبِّكُمْ أَنِّيْ أَخْلُقُ لَكُمْ مِّنَ الطِّيْنِ كَهَيْئَةِ الطَّيْرِ فَأَنْفُخُ فِيْهِ فَيَكُوْنُ طَيْرًا بِإِذْنِ اللهِ وَ أُبْرِئُ الْأكْمَهَ وَ الْأَبْرَصَ وَ أُحْيِيَ الْمَوْتَى بِإِذْنِ اللهِ وَ أُنَبِّئُكُمْ بِمَا تَأْكُلُوْنَ وَ مَا تَدَّخِرُوْنَ فِيْ بُيُوْتِكُمْ إِنَّ فِيْ ذلِكَ لَآيَةً لَّكُمْ إِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ
“Dan Allah akan mengajarkan kepadanya al-Kitāb, Ḥikmah, Taurāt, dan Injīl. Dan (sebagai) Rasūl kepada Bani Isrā’īl (yang berkata kepada mereka): “Sesungguhnya aku telah datang kepadamu dengan membawa suatu tanda (mu‘jizat) dari Tuhanmu, yaitu aku membuat untuk kamu dari tanah berbentuk burung; kemudian aku meniupnya, maka ia menjadi seekor burung dengan seidzin Allah; dan aku menyembuhkan orang yang buta sejak dari lahirnya dan orang yang berpenyakit sopak; dan aku menghidupkan orang mati dengan seidzin Allah; dan aku kabarkan kepadamu apa yang kamu makan dan apa yang kamu simpan di rumahmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu adalah suatu tanda (kebenaran kerasulanku) bagimu, jika kamu sungguh-sungguh beriman.” (QS. Āli ‘Imrān: 48-49)
Sahabat-sahabat Nabi ‘Īsā a.s., yang disebut sebagai kaum Ḥawāriyyūn, hanya berjumlah 12 orang. Tetapi di antara kedua belas sahabatnya itu ada salah seorang yang murtad dan berkhianat terhadapnya, yakni Yahuza atau Iskarius. Karena hasutan Yahuza, lama-kelamaan banyak orang yang terpengaruh dan mengikuti ajakannya. Di dalam menyerukan agama Allah, Nabi ‘Īsā a.s. mendapat tantangan yang keras dari orang-orang Yahudi yang kafir. Mereka bahkan bermusyawarah untuk menangkap dan membunuh Nabi ‘Īsā a.s.. Pemimpin Yahudi kafir itu tak lain adalah Yahuza, sahabat Nabi ‘Īsā yang murtad.
Ketika itu, yang berkuasa atas seluruh negeri adalah raja Herodes. Ia adalah penguasa yang zhalim serta amat memusuhi seruan Nabi ‘Īsā a.s.. Raja Herodes kemudian memerintahkan tentaranya untuk menangkap Nabi ‘Īsā a.s. dan membunuhnya. Maka jadilah Nabi ‘Īsā a.s. sebagai orang buruan tentara kerajaan. Suatu ketika, Nabi ‘Īsā a.s. terkepung dalam suatu wilayah. Tetapi tentara kerajaan tidak berhasil menemukan tempat persembunyian Nabi ‘Īsā a.s. beserta beberapa pengikutnya yang bersembunyi pada suatu tempat yang terpencil, sehingga tentara kerajaan tidak berhasil menangkapnya. Akan tetapi, si pengkhianat Yahuza rupanya mencium tempat persembunyian Nabi ‘Īsā a.s.. Ia langsung melaporkan hasil pengintaiannya itu kepada raja Herodes, untuk memperoleh sejumlah besar hadiah. Maka segeralah raja itu memerintahkan balatentaranya mengikuti Yahuza ke tempat persembunyian Nabi ‘Īsā a.s..
Nabi ‘Īsā a.s. tidak berdaya ketika tentara kerajaan tiba-tiba menyerbu tempat persembunyiannya, yang dipimpin oleh Yahuza. Tetapi Allah s.w.t. berkehendak lain. Dengan Kudrat-Nya, Nabi ‘Īsā a.s. diangkat oleh Allah s.w.t. ke langit untuk diselamatkan dari kejahatan kaum kafir. Sementara itu, Yahuza yang memimpin pasukan kerajaan, dengan serta-merta, di ubah wajahnya oleh Allah s.w.t. menjadi serupa dengan Nabi ‘Īsā a.s.. Maka, ketika tentara kerajaan melihatnya, segera ditangkaplah Yahuza, meskipun ia meronta-ronta dan membela diri. Demikianlah, Yahuza tidak dapat membuktikan bahwa dirinya bukanlah Nabi ‘Īsā, sebab wajahnya amat serupa. Lagipula, satu-satunya orang yang berwajah Nabi ‘Īsā a.s. ketika itu adalah dia sendiri. Maka tidak ada alasan bagi tentara kerajaan untuk tidak menangkapnya dan kemudian membawanya ke hadapan raja Herodes. Oleh sang raja, Nabi ‘Īsā palsu itu dijatuhi hukuman mati dengan disalib di atas tiang kayu. Allah s.w.t. menjelaskan peristiwa ini dengan firman-Nya:
وَ قَوْلِهِمْ إِنَّا قَتَلْنَا الْمَسِيْحَ عِيْسَى ابْنَ مَرْيَمَ رَسُوْلَ اللهِ وَ مَا قَتَلُوْهُ وَ مَا صَلَبُوْهُ وَ لكِنْ شُبِّهَ لَهُمْ وَ إِنَّ الَّذِيْنَ اخْتَلَفُوْا فِيْهِ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ مَا لَهُمْ بِهِ مِنْ عِلْمٍ إِلَّا اتِّبَاعَ الظَّنِّ وَ مَا قَتَلُوْهُ يَقِيْنًا
Artinya:
“Dan karena ucapan mereka: “Sesungguhnya Kami telah membunuh al-Masīḥ, ‘Īsā putra Maryam, Rasūl Allah,” padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) meyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan ‘Īsā bagi mereka. Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) ‘Īsā, benar-benar dalam keraguan tentang siapa yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti prasangka belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah ‘Īsā.” (QS. an-Nisā’: 157)
Jika al-Qur’ān mengungkapkan serangkaian ajaran agama Islam, maka begitu pulalah ajaran yang dibawa Nabi ‘Īsā a.s.. Nabi ‘Īsā a.s. sebenarnya mengajarkan pokok-pokok ke-Tuhan-an yang sama dengan ajaran Islam kini. Akan tetapi, oleh sebagian orang dari golongan Yahudi, ajaran-ajaran tauhid itu telah diselewengkan. Yahuza yang diserupakan wajahnya dengan Nabi ‘Īsā, dan kemudian disalib hingga menemui ajal itu, oleh mereka dikatakan sebagai anak Tuhan yang menebus dosa ummat manusia. Padahal Allah s.w.t. dengan tegas telah berfirman di dalam al-Qur’ān:
مَا كَانَ للهِ أَنْ يَتَّخِذَ مِنْ وَلَدٍ سُبْحَانَهُ إِذَا قَضى أَمْرًا فَإِنَّمَا يَقُوْلُ لَهُ كُنْ فَيَكُوْنُ
“Tidak layak bagi Allah mempunyai anak, Maha Suci Dia. Apabila Dia telah menetapkan sesuatu, maka Dia hanya berkata kepadanya: “Jadilah,” maka jadilah ia.” (QS. Maryam: 35)
Di lain pihak, Islam memandang Nabi ‘Īsā a.s. sama seperti nabi-nabi yang lain. Beliau adalah manusia biasa yang kemudian diangkat oleh Allah s.w.t. menjadi Nabi dan Rasūl-Nya. Tentang kejadiannya yang tanpa ayah itu, bagi Allah s.w.t. adalah hal yang mudah, sama seperti kejadian Nabi Ādam a.s. yang tidak berbapak maupun beribu. Allah s.w.t. telah berfirman tentang Nabi ‘Īsā a.s. sebagai berikut:
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِيْنَ قَالُوْا إِنَّ اللهَ هُوَ الْمَسِيْحُ ابْنُ مَرْيَمَ وَ قَالَ الْمَسِيْحُ يَا بَنِيْ إِسْرَائِيْلَ اعْبُدُوا اللهَ رَبِّيْ وَ رَبَّكُمْ إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَ مَأْوَاهُ النَّارُ وَ مَا لِلظَّالِمِيْنَ مِنْ أَنْصَارٍ
“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah adalah al-Masīḥ putra Maryam,” padahal al-Masih (sendiri) berkata: “Hai Bani Isrā’īl, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu.” Sesungguhnya orang yang menyekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zhalim itu seorang penolong.” (QS. al-Mā’idah: 72)
Begitu pula dengan firman Allah yang lain:
مَّا الْمَسِيْحُ ابْنُ مَرْيَمَ إِلَّا رَسُوْلٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ وَ أُمُّهُ صِدِّيْقَةٌ كَانَا يَأْكُلَانِ الطَّعَامَ انْظُرْ كَيْفَ نُبَيِّنُ لَهُمُ الْآيَاتِ ثُمَّ انْظُرْ أَنَّى يُؤْفَكُوْنَ
“Al-Masīḥ putra Maryam hanyalah seorang Rasūl yang sesungguhnya telah berlalu sebelumnya beberapa rasūl, dan ibunya seorang yang sangat benar, kedua-duanya biasa memakan makanan. Perhatikan bagaimana Kami menjelaskan kepada mereka (ahli kitab) tanda-tanda kekuasaan (Kami), kemudian perhatikanlah bagaimana mereka berpaling (dari memperhatikan ayat-ayat Kami).” (QS. al-Mā’idah: 75)