Nabi Ibrahim Menghancurkan Berhala – Kisah Nabi Ibrahim A.S. – Kisah 25 Nabi & Rasul (2/2)

KISAH 25 NABI DAN RASŪL
Diserti Dalil-dalil al-Qur’ān
 
Penyusun: Mahfan, S.Pd.
Penerbit: SANDRO JAYA

Rangkaian Pos: Kisah Nabi Ibrahim A.S. - Kisah 25 Nabi & Rasul

Nabi Ibrāhīm Menghancurkan Berhala

Suatu ketika, raja Namrūd pergi meninggalkan negeri. Kampung-kampung mereka tertinggal kosong. Kesempatan itu dipergunakan Nabi Ibrāhīm a.s. untuk melaksanakan niat yang selama ini dipendamnya, yaitu menghancurkan berhala-berhala yang ada di tempat peribadatan raja Namrūd dan rakyatnya. Maka dengan menggunakan kampak, mulailah Nabi Ibrāhīm a.s. memecah-mecahkan berhala-berhala itu satu persatu. Tetapi, karena ada maksud tertentu, ada satu berhala yang tetap dibiarkan utuh, yakni berhala yang terbesar. Setelah selesai menghancurkan semua berhala yang lain, Nabi Ibrāhīm a.s. mengalungkan kampaknya pada leher berhala terbesar itu. Kemudian beliau pergi meninggalkan tempat peribadatan itu.

Beberapa lama kemudian Raja Namrūd dan para pengikutnya datang. Demi melihat keadaan rumah peribadatan mereka berantakan dan berhala-berhalanya hancur, maka murkalah sang raja. Tak pelak lagi Nabi Ibrāhīm a.s. langsung jadi orang yang tertuduh dalam hal itu, sebab sudah dikenal di seluruh negeri, bahwa Nabi Ibrāhīm a.s. sangat membenci sesembahan kaumnya. Maka beliau dihadapkan kepada raja Namrūd untuk diadili. Sang raja berkata dengan geram: “Wahai Ibrāhīm, bukankah engkau yang telah menghancurkan berhala-berhala kami di rumah peribadatan?”

“Bukan!” jawab Nabi Ibrāhīm singkat.

Mendengar jawaban itu. Raja Namrūd semakin naik pitam. Dengan nada lebih keras, ia berkata: “Lalu, siapa lagi kalau bukan engkau. Bukankah engkau berada di sini ketika kami semua pergi, dan bukankah engkau amat membenci sesembahan kami?”

“Ya, tapi aku tidak menghancurkan berhala-berhala itu. Aku pikir barangkali berhala besar itu yang telah melakukannya. Bukankah kampak yang ada dilehernya membuktikan perbuatannya?” Sahut Nabi Ibrāhīm dengan tenang.

“Mana mungkin berhala itu dapat berbuat seperti itu?” kata Raja Namrūd membantah pernyataan Nabi Ibrāhīm.

Mendengar itu, Nabi Ibrāhīm dengan tegas berkata: “Kalau begitu, mengapa engkau sembah berhala yang tidak dapat berbuat apa-apa?”

Mendengar pernyataan Nabi Ibrāhīm itu, orang-orang yang menyaksikan jalannya pengadilan itu terkejut dan banyak di antara mereka yang sadar. Terpikir oleh mereka, bahwa memang begitulah adanya, mereka telah menyembah sesuatu yang tak dapat melihat, mendengar, bergerak. meskipun demikian, Raja Namrūd semakin murka karenanya.

Nabi Ibrāhīm Dibakar

Kekalahan Raja Namrūd dalam perdebatan dengan Nabi Ibrāhīm a.s. malah mengundang kemurkaannya yang lebih besar. Dengan segera ia memerintahkan tentaranya untuk menghukum Nabi Ibrāhīm dengan hukuman yang seberat-beratnya. Demikianlah, Nabi Ibrāhīm menjalani hukuman mati dengan jalan dibakar hidup-hidup.

Api dinyalakan besar sekali dengan kayu sebagai bahan bakarnya. Nabi Ibrāhīm a.s. diikat dan diletakkan dalam tumpukan kayu itu. Namun dengan idzin Allah dan kuasa-Nya api tidak membakar Nabi Ibrāhīm hingga ia selamat dan tidak terluka sedikitpun. Firman Allah s.w.t:

قُلْنَا يَا نَارُ كُوْنِيْ بَرْدًا وَ سَلَامًا عَلَى إِبْرَاهِيْمَ

Artinya:

Kami berfirman: “Hai api menjadilah dingin, dan menjadi keselamatan bagi Ibrāhīm.” (QS. al-Anbiyā’: 69)

Menyaksikan peristiwa pembakaran Nabi Ibrāhīm, Raja Namrūd dan para pengikutnya tertawa dengan penuh rasa puas. Mereka mengira Nabi Ibrāhīm telah hancur menjadi abu di tengah tumpukan kayu bakar yang menyala dahsyat itu. Tetapi, betapa terkejutnya mereka demi melihat keajaiban yang terjadi setelah api itu padam. Nabi Ibrāhīm a.s., tiba-tiba berjalan keluar dari puing-puing pembakaran dengan selamat tanpa luka sedikit pun. Lalu beliau pergi meninggalkan mereka. Sejak kejadian itu, Nabi Ibrāhīm a.s. berhijrah ke negeri Kan‘ān (Palestina) dan di tanah suci (Bait-ul-Maqdis) itulah beliau hidup dan berketurunan.

Raja Namrūd dan Kaumnya Menerima ‘Adzab Allah

Karena keingkarannya, raja Namrūd beserta pengikutnya mendapatkan siksaan Allah s.w.t.. Pada suatu ketika, tiba-tiba datang serombongan nyamuk yang luar biasa banyaknya. Binatang-binatang itu langsung menyerbu manusia, menggigit bagian-bagian tubuh, masuk ke lubang hidung dan telinga orang-orang kafir itu. Maka binasalah Raja Namrūd dan para pengikutnya.

Sementara itu sejak pindah ke tanah suci (Bait-ul-Maqdis), Nabi Ibrāhīm a.s. kemudian berumah-tangga dan memperoleh anak-anak yang shāliḥ. Dari istrinya yang bernama Siti Sārah, Nabi Ibrāhīm a.s. memperoleh anak yang diberi nama Isḥāq. Dan dari istrinya yang bernama Siti Ḥajar, beliau memperoleh seorang putera yang bernama Ismā‘il. Isḥāq kemudian menjadi Nabi dan Rasūl, dan menurunkan seorang anak, Ya‘qūb namanya (kelak, Ya‘qūb juga menjadi Nabi dan Rasūl Allah, serta menurunkan anak-cucu sampai kepada Nabi Mūsā a.s.). Sedangkan Ismā‘īl juga menjadi Nabi dan Rasūl, dan darinyalah Nabi Besar Muḥammad s.a.w. mempunyai silsilah. Di dalam al-Qur’ān, Allah s.w.t. menerangkan:

فَلَمَّا اعْتَزَلَهُمْ وَمَا يَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَهَبْنَا لَهُ إِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَكُلًّا جَعَلْنَا نَبِيًّا.

Artinya:

Maka ketika Ibrāhīm sudah menjauhkan diri dari mereka dan dari apa yang mereka sembah selain Allah, Kami anugerahkan kepadanya Isḥāq dan Ya‘qūb. Dan masing-masingnya Kami angkat menjadi Nabi.” (QS. Maryam: 49)

Nabi Ibrāhīm Diuji Tuhan

Pada suatu malam, Nabi Ibrāhīm a.s. bermimpi, bahwa Allah s.w.t. memerintahkan supaya mengorbankan putranya Ismā‘īl. Karena yakin akan mimpinya itu, segera Nabi Ibrāhīm a.s. bermusyawarah dengan Ismā‘īl tentang hal itu. Dan di luar dugaan , Ismā‘īl a.s. menjawab pernyataan ayahnya itu dengan tenang, seraya berkata: “Wahai ayahku, jika ini memang perintah Allah s.w.t., maka taatilah, dan aku rela untuk dikurbankan.” Mendengar tekad putranya, Nabi Ibrāhīm a.s. segera bersiap-siap untuk mengorbankan Ismā‘īl a.s.. Tetapi, setelah segalanya selesai dan upacara kurban akan dimulai, terjadilah peristiwa yang menakjubkan. Dengan kekuasaan dan kebesaran Allah s.w.t., muncul seekor biri-biri yang menggantikan Ismā‘īl untuk disembelih. Maka legalah hati Nabi Ibrāhīm a.s.. Dipeluknya anak kesayangannya itu dengan penuh kasih, seraya mengucapkan pujian kepada Allah s.w.t.. Di dalam al-Qur’ān, Allah s.w.t. menerangkan peristiwa ini:

فَبَشَّرْنَاهُ بِغُلَامٍ حَلِيْمٍ. فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّيْ أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّيْ أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِيْ إِنْ شَاءَ اللهُ مِنَ الصَّابِرِيْنَ. فَلَمَّا أَسْلَمَا وَ تَلَّهُ لِلْجَبِيْنِ. وَ نَادَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيْمُ. قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِيْنَ. إِنَّ هذَا لَهُوَ الْبَلَاءُ الْمُبِيْنُ. وَ فَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيْمٍ. وَ تَرَكْنَا عَلَيْهِ فِي الْآخِرِيْنَ. سَلَامٌ عَلى إِبْرَاهِيْمَ. كَذلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِيْنَ. إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُؤْمِنِيْنَ

Artinya:

Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang sabar. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrāhīm. Ibrāhīm berkata: “Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu.” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, In syā’ Allāh kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrāhīm membaringkan anaknya atas pelipis (nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggil dia: “Hai Ibrāhīm, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu,” sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrāhīm itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, (yaitu) “Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrāhīm.” Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman.” (QS. ash-Shāffāt: 101-111)

Do’a Nabi Ibrāhīm

Bersama istri dan anaknya, Siti Ḥajar dan Ismā‘īl, Nabi Ibrāhīm a.s. lalu berhijrah ke Makkah. Di sanalah beliau membangun Ka‘bah sebagai pusat penyembahan manusia kepada Tuhannya. Nabi Ibrāhīm a.s. terkenal sebagai Nabi yang banyak berdo’a kepada Allah s.w.t.. Di dalam al-Qur’ān disebutkan beberapa do’a Nabi Ibrāhīm a.s., di antaranya:

إِذْ قَالَ إِبْرَاهِيْمُ رَبِّ اجْعَلْ هذَا بَلَدًا آمِنًا وَ ارْزُقْ أَهْلَهُ مِنَ الثَّمَرَاتِ مَنْ آمَنَ مِنْهُمْ بِاللهِ وَ الْيَوْمِ اْلآخِرِ قَالَ وَ مَنْ كَفَرَ فَأُمَتِّعُهُ قَلِيْلًا ثُمَّ أَضْطَرُّهُ إِلَى عَذَابِ النَّارِ وَ بِئْسَ الْمَصِيْرُ

Artinya:

Dan (ingatlah), ketika Ibrāhīm berdo’a; “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rizki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari kemudian.” Allah berfirman: “Dan kepada orang yang kafir pun Aku berikan kesenangan sementara, kemudian Aku paksa ia menjalani siksa neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. al-Baqarah: 126)

Nabi Ibrāhīm a.s. juga pernah berdo’a:

رَبَّنَا وَ اجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ وَ مِنْ ذُرِّيَّتِنَا أُمَّةً مُّسْلِمَةً لَّكَ وَ أَرِنَا مَنَاسِكَنَا وَ تُبْ عَلَيْنَا إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ

Artinya:

Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami ummat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadah haji kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkau Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 128)

Hikmah dari Kisah Nabi Ibrāhīm a.s.

  1. Nabi Ibrāhīm adalah orang yang cerdas. Ia sangat tanggap membaca fenomena kesesatan kaummnya dan mencari jalan keluar untuk mengingatkan mereka dengan sangat ‘ārif dan logis.
  2. Kesabaran dan kearifan Nabi Ibrāhīm a.s. dalam berdakwah adalah modal utama da‘wahnya hingga ia sukses mengangkat masyarakat dari jurang kesesatan dan menjadikan anak-anaknya rasūl-rasūl Allah di kemudian hari.

3. Tiada tuhan selain Allah. Segala bentuk kekuatan tidak akan sanggup menandingi keMahakuasaan Allah. Bahkan sebaliknya akan menghancurkan mereka yang berupaya membuat tandingan. Raja Namrūd celaka karena kecongkakannya dengan mengaku bahwa ia adalah tuhan.