Kisah Musa Yang Sakit Gigi, dll – Terjemah Kifayat-ul-‘Awam

KIFĀYAT-UL-‘AWĀM
Pembahasan Ajaran Tauhid Ahl-us-Sunnah

Karya: Syaikh Muḥammad al-Fudhalī
 
Penerjemah: H. Mujiburrahman
Diterbitkan Oleh: MUTIARA ILMU Surabaya

49. KISAH MŪSĀ YANG SAKIT GIGI.

 

Dihikayatkan dari Sayyidina Mūsā a.s. bahwa dia pernah mengeluh dan mengadu kepada Allah s.w.t. perihal sakit giginya, maka Allah berfirman kepadanya: “Ambillah rumput anu,…. dan letakkan dia di atas gigimu (yang sakit itu)”. Lantas Nabi Mūsā mengambil rumput yang dimaksudkan itu dan kemudian meletakkannya di atas giginya yang sakit, maka dengan seketika sembuhlah sakit giginya itu.

Namun beberapa waktu kemudian kambuh lagi sakit giginya tersebut maka dia segera mengambil rumput yang pernah menyembuhkan sakit giginya itu dan meletakkannya di atas giginya yang sakit, tetapi sakit giginya itu bukannya sembuh melainkan lebih sakit dari yang semula, maka dia minta tolong kepada Allah sambil berkata: “Wahai Tuhanku, bukankah Engkau yang telah memerintahkan untuk berobat dengan rumput ini dan Engkau telah menunjukkanku kepadanya” maka Allah berfirman: “Wahai Mūsā, Akulah yang menyembuhkan dan Akulah yang mengobati, Akulah yang memberi mudharat dan Akulah yang memberi manfaat, engkau telah bermaksud kepadaku pada saat yang pertama maka Akupun menghilangkan sakitmu dan sekarang engkau bermaksud kepada rumput itu dan tidak bermaksud kepada-Ku.

Dengan demikian maka Dia-lah Allah yang menimbulkan kemanfaatan dan kemudharatan maka tidak ada kebaikan, kejahatan, kemanfaatan dan kemudharatan kecuali ditujukan kepada-Nya Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi.

 

فَمَنْ أَرَادَ قُرْبَهُ وَفَّقَهُ لِلطَّاعَةِ وَ مَنْ أَرَادَ خِذْلَانَهُ وَ بُعْدَهُ خَلَقَ فِيْهِ الْمَعْصِيَّةَ.

Maka barang siapa yang ingin dekat kepada-Nya niscaya Dia memberinya taufīq pada ketaatan dan barang siapa yang ingin berpaling dari pada-Nya serta menjauhi-Nya maka Dia menciptakan kepadanya kema‘shiyatan.”

فَجَمِيْعُ الْأُمُوْرِ مِنْ أَفْعَالِ الْخَيْرِ وَ الشَّرِّ بِخَلْقِ اللهِ تَعَالَى لِأَنَّهُ تَعَالَى خَلَقَ الْعَبْدَ وَ مَا عَمِلَهُ الْعَبْدُ لِقَوْلِهِ عَزَّ وَ جَلَّ: وَ اللهُ خَلَقَكُمْ وَ مَا تَعْمَلُوْنَ.

Maka semua perkara dari perbuatan-perbuatan baik dan buruk adalah dengan penciptaan Allah s.w.t. karena Allah s.w.t. menciptakan hamba dan apa-apa yang diperbuat oleh hamba itu berdasarkan firman Allah ‘azza wa jalla: “Dan Allah yang telah menciptakan kamu dan (menciptakan pula) apa-apa yang kamu kerjakan.

50. ALLAH JĀ’IZ DILIHAT DI AKHIRAT.

وَ مَا يَجِبُ اعْتِقَادُهُ أَنَّ اللهَ تَعَالَى يَجُوْزُ أَنْ يُرَى فِي الْآخِرَةِ لِلْمُؤْمِنِيْنَ لِأَنَّ اللهَ تَعَالَى عَلَّقَ الرَّأْيَةَ عَلَى اسْتِقْرَارِ الْجَبَلِ فِيْ قَوْلِهِ تَعَالَى: فَإِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهُ فَسَوْفَ تَرَانِيْ وَ اسْتِقْرَارُ الْجَبَلِ جَائِزٌ فَيَكُوْنُ الْمُعَلَّقُ عَلَيْهِ مِنَ الرَّأْيَةِ جَائِزٌ لِأَنَّ الْمُعَلَّقَ عَلَى الْجَائِزِ جَائِزٌ.

Dan di antara perkara yang wajib mengi‘tiqādkannya adalah bahwa Allah s.w.t. itu jā’iz dilihat di akhirat nanti bagi orang-orang mu’min karena Allah s.w.t. telah menghubungkan ru’yah atau melihat itu atas tetapnya gunung dalam firman Allah s.w.t.: “Maka jika tetap gunung itu pada tempatnya niscaya engkau melihat Aku.” Dan tetapnya gunung tersebut adalah jā’iz maka jadilah apa-apa yang dihubungkan atasnya berupa ru’yah adalah jā’iz karena sesuatu yang dihubungkan atas yang jā’iz adalah jā’iz.”

لكِنْ رُأْيَتُنَا لَهُ تَعَالَى بِلَا كَيْفٍ أَيْ لَيْسَتْ كَرُؤْيَةِ بَعْضِنَا بَعْضًا فَلَا يُرَى تَعَالَى فِيْ جِهَةٍ وَ لَا بِلَوْنٍ وَ لَا يُرَى جِسْمًا، تَنَزَّهَ اللهُ وَ تَعَالَى عَنْ ذلِكَ عُلُوًّا كَبِيْرًا.

Akan tetapi ru’yah kita kepada Allah s.w.t. adalah bilā kaifin (tanpa keadaan), artinya bukan seperti ru’yahnya sebagian kita kepada sebagian yang lain. Maka Allah s.w.t. itu tidak dilihat pada satu jihat (arah) dan tidak pula dengan warna-warna serta Allah s.w.t. itu tidak dilihat dalam bentuk jisim, Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari yang demikian itu dengan ketinggian yang besar.”

وَ نَفَى الرُّأْيِةَ اللهِ تَعَالَى الْمُعْتَزِلَةُ قَبَّحَهُمُ اللهُ وَ هِيَ مِنْ عَقَائِدِهِمُ الزَّائِغَةِ الْبَاطِلَةِ.

Dan Mu‘tazilah – semoga Allah menjelekkan mereka – telah menghilangkan ru’yah kepada Allah s.w.t. dan dia adalah bagian dari ‘aqīdah-‘aqīdah mereka yang sesat serta bāthil.

وَ مِنْ عَقَائِدِهِمُ الْفَاسِدَةِ أَيْضًا قَوْلُهُمْ إِنَّ الْعَبْدَ يَخْلُقُ أَفْعَالَ نَفْسِهِ وَ لِأَجْلِ قَوْلِهِمْ هذَا يُسَمُّوْنَ بِالْقَدَرِيَّةِ لِأَنَّهُمْ يَقُوْلُوْنَ بِأَنَّ أَفْعَالَ الْعَبْدِ بِقُدْرَتِهِ كَمَا سُمِّيَتِ الطَّائِفَةُ الْقَائِلُوْنَ بِأَنَّ الْعَبْدَ مَجْبُوْرٌ عَلَى الْأَفْعَالِ الَّتِيْ بَفْعَلُهَا بِالْجَبَرِيَّةِ نِسْبَةٌ إِلَى قَوْلِهِمْ بِجَبْرِ الْعَبْدِ وَ قَهْرِهِ وَ هِيَ عَقِيْدَةٌ زَائِعَةٌ أَيْضًا.

Dan di antara ‘aqīdah-‘aqīdah mereka yang rusak adalah perkataan mereka: “Sesungguhnya hamba itu menciptakan perbuatan-perbuatan dirinya” dan karena perkataan mereka ini mereka dinamakan dengan Qadariyyah karena mereka berkata bahwa perbuatan-perbuatan hamba itu adalah dengan qudratnya sebagaimana dinamakan akan satu golongan yang berkata bahwa hamba itu majbūr (terpaksa) atas perbuatan yang dia lakukan dengan Jabariyyah, nisbah kepada perkataan mereka dengan jabar (keterpaksaan) hamba itu serta keadaan tertekannya dan dialah satu ‘aqīdah yang sesat pula.

Golongan jabariyyah itu dinamakan juga dengan Jahamiyyah, dinisbahkan kepada pemimpinnya yang bernama Jaham bin Shafwān. Berdasarkan pendapat mereka tentang keterpaksaan hamba maka menurut mereka hamba itu adalah seperti bulu yang digantungkan di udara, dia akan condong ke barat jika angin bertiup ke barat, akan ke timur jika angin bertiup ke timur dan begitulah seterusnya, ke mana angin bertiup ke sanalah dia akan ikut.

51. KHILĀF MASALAH PERBUATAN-PERBUATAN HAMBA.

(وَ الْحَقُّ أَنَّ الْعَبْدَ لَا يَخْلُقُ أَفْعَالَ نَفْسِهِ وَ لَيْسَ مَجْبُوْرًا) بَلْ إِنَّ اللهض تَعَالَى يَخْلُقُ الْأَفْعَالَ الصَّادِرَةَ مِنَ الْعَبْدِ مَعَ كَوْنِ الْعَبْدِ لَهُ اخْتِيَارٌ فِيْهَا.

Dan yang benar adalah bahwa hamba itu tidak menciptakan perbuatan-perbuatan dirinya dan dia itu tidak majbur, melainkan sesungguhnya Allah s.w.t. menciptakan perbuatan-perbuatan yang timbul dari hamba itu beserta keadaan hamba itu mempunyai satu ikhtiyār (usaha) padanya.”

Dengan demikian, dalam hal perbuatan-perbuatan hamba itu terdapat tiga golongan:

  1. Mu‘tazilah yang mengatakan bahwa hamba itulah yang menciptakan perbuatan-perbuatan dirinya.

Pendapat ini menunjukkan tentang kekuasaan seorang hamba secara mutlak dalam hal perbuatan-perbuatannya. Golongan ini dinamakan pula dengan Qadariyyah.

  1. Jabariyyah yang mengatakan bahwa hamba itu terpaksa dalam segala perbuatannya tanpa ada sedikitpun kemampuan untuk berusaha dengan dirinya sendiri. Hamba itu tak ubahnya seperti bulu yang ditiup angin, betapa lemah dan terpaksanya.

Pendapat ini menunjukkan tentang keterpaksaan dan tidak berdayaan seorang hamba secara mutlak. Golongan ini dinamakan juga dengan Jahamiyyah.

  1. Ahl-us-Sunnah yang mengatakan bahwa hamba itu tidak berkuasa secara mutlak atas segala perbuatannya dan tidak pula terpaksa secara mutlak, melainkan di tengah-tengah antara berkuasa dan terpaksa. Maka golongan ini telah mengambil satu pendapat yang sangat baik yaitu di tengah-tengah antara dua perkara sebagaimana diisyaratkan dalam al-Qur’ān:

فَخَرَّجَ مِنْ بَيْنِ فَرَثٍ وَ دَمٍ لَبَنًا خَالِصًا سَائِغًا لِلشَّارِبِيْنَ.

Maka Ahl-us-Sunnah telah mengeluarkan: dari antara kotoran dan darah berupa susu murni yang mudah ditelan bagi para peminumnya.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *