Pada masa itu, sebelum usianya mencapai tiga tahun, ketika itulah terjadi cerita yang banyak dikisahkan orang. Yakni, bahwa sementara ia dengan saudaranya yang sebaya sesama anak-anak itu sedang berada di belakang rumah di luar pengawasan keluarganya, tiba-tiba anak yang dari Keluarga Sa‘d itu kembali pulang sambil berlari, dan berkata kepada ibu-bapanya: “Saudaraku yang dari Quraisy itu telah diambil oleh dua orang laki-laki berbaju putih. Dia dibaringkan, perutnya dibedah, sambil di balik-balikan.”
Dan tentang Ḥalīmah ini ada juga diceritakan, bahwa mengenai diri dan suaminya ia berkata: “Lalu saya pergi dengan ayahnya ke tempat itu. Kami jumpai dia sedang berdiri. Mukanya pucat-pasi. Kuperhatikan dia. demikian juga ayahnya. Lalu kami tanyakan: “Kenapa kau, nak?” Dia menjawab: “Aku didatangi oleh dua orang laki-laki berpakaian putih. Aku di baringkan, lalu perutku di bedah. Mereka mencari sesuatu di dalamnya. Tak tahu aku apa yang mereka cari.”
Ḥalīmah dan suaminya kembali pulang ke rumah. Orang itu sangat ketakutan, kalau-kalau anak itu sudah kesurupan. Sesudah itu, dibawanya anak itu kembali kepada ibunya di Makkah. Atas peristiwa ini Ibn Isḥāq membawa sebuah Ḥadīts Nabi sesudah kenabiannya. Tetapi dalam menceritakan peristiwa ini Ibn Isḥāq nampaknya hati-hati sekali dan mengatakan bahwa sebab dikembalikannya kepada ibunya bukan karena cerita adanya dua malaikat itu, melainkan – seperti cerita Ḥalīmah kepada Āminah – ketika ia dibawa pulang oleh Ḥalīmah sesudah disapih, ada beberapa orang Nashrānī Abisinia memperhatikan Muḥammad dan menanyakan kepada Ḥalīmah tentang anak itu. Dilihatnya belakang anak itu, lalu mereka berkata:
“Biarlah kami bawa anak ini kepada raja kami di negeri kami. Anak ini akan menjadi orang penting. Kamilah yang mengetahui keadaannya.” Ḥalīmah lalu cepat-cepat menghindarkan diri dari mereka dengan membawa anak itu. Demikian juga cerita yang dibawa oleh Thabarī, tapi ini masih diragukan; sebab dia menyebutkan Muḥammad dalam usianya itu, lalu kembali menyebutkan bahwa hal itu terjadi tidak lama sebelum kenabiannya dan usianya empatpuluh tahun.
Baik kaum Orientalis maupun beberapa kalangan kaum Muslimīn sendiri tidak merasa puas dengan cerita dua malaikat ini dan menganggap sumber itu lemah sekali. Yang melihat kedua laki-laki (malaikat) dalam cerita penulis-penulis sejarah itu hanya anak-anak yang baru dua tahun lebih sedikit umurnya. Begitu juga umur Muḥammad waktu itu. Akan tetapi sumber-sumber itu sependapat bahwa Muḥammad tinggal di tengah-tengah Keluarga Sa‘d itu sampai mencapai usia lima tahun. Andaikata peristiwa itu terjadi ketika ia berusia dua setengah tahun, dan ketika itu Ḥalīmah dan suaminya mengembalikannya kepada ibunya, tentulah terdapat kontradiksi dalam dua sumber cerita itu yang tak dapat diterima. Oleh karena itu beberapa penulis berpendapat, bahwa ia kembali dengan Ḥalīmah itu untuk ketiga kalinya.
Dalam hal ini Sir William Muir tidak mau menyebutkan cerita tentang dua orang berbaju putih itu, dan hanya menyebutkan, bahwa kalau Ḥalīmah dan suaminya sudah menyadari adanya suatu gangguan kepada anak itu, maka mungkin saja itu adalah suatu gangguan krisis urat-saraf, dan kalau hal itu tidak sampai mengganggu kesehatannya ialah karena bentuk tubuhnya yang baik. Barangkali yang lainpun akan berkata: Baginya tidak diperlukan lagi akan ada yang harus membelah perut atau dadanya, sebab sejak dilahirkan Tuhan sudah mempersiapkannya supaya menjalankan Risālah-Nya. Dermenghem berpendapat, bahwa cerita ini tidak mempunyai dasar kecuali dari yang diketahui orang dari teks ayat yang berbunyi: “Bukankah sudah Kami lapangkan dadamu? Dan sudah Kami lepaskan beban dari kau? Yang telah memberati punggungmu?” (Qur’ān 94: 1-3)
Apa yang telah diisyaratkan Qur’ān itu adalah dalam arti rohani semata, yang maksudnya ialah membersihkan (menyucikan) dan mencuci hati yang akan menerima Risālah Kudus, kemudian meneruskannya seikhlas-ikhlasnya, dengan menanggung segala beban karena Risālah yang berat itu.
Dengan demikian apa yang diminta oleh kaum Orientalis dan pemikir-pemikir Muslim dalam hal ini ialah bahwa peri hidup Muḥammad adalah sifatnya manusia semata-mata dan bersifat peri kemanusiaan yang luhur. Dan untuk memperkuat kenabiannya itu memang tidak perlu ia harus bersandar kepada apa yang biasa dilakukan oleh mereka yang suka kepada yang ajaib-ajaib. Dengan demikian mereka beralasan sekali menolak tanggapan penulis-penulis ‘Arab dan kaum Muslimīn tentang peri hidup Nabi yang tidak masuk akal itu. Mereka berpendapat bahwa apa yang dikemukakan itu tidak sejalan dengan apa yang diminta oleh Qur’ān supaya merenungkan ciptaan Tuhan, dan bahwa undang-undang Tuhan takkan ada yang berubah-ubah. Tidak sesuai dengan ekspresi Qur’ān tentang kaum Musyrik yang tidak mau mendalami dan tidak mau mengerti juga.
Muḥammad tinggal pada Keluarga Sa‘d sampai mencapai usia lima tahun, menghirup jiwa kebebasan dan kemerdekaan dalam udara sahara yang lepas itu. Dari kabilah ini ia belajar mempergunakan bahasa ‘Arab yang murni, sehingga pernah ia mengatakan kepada teman-temannya kemudian: “Aku yang paling fasih di antara kamu sekalian. Aku dari Quraisy tapi diasuh di tengah-tengah Keluarga Sa‘d bin Bakr.”
Lima tahun masa yang ditempuhnya itu telah memberikan kenangan yang indah sekali dan kekal dalam jiwanya. Demikian juga Ibu Ḥalīmah dan keluarganya tempat dia menumpahkan rasa kasih sayang dan hormat selama hidupnya itu.
Penduduk daerah itu pernah mengalami suatu masa paceklik sesudah perkawinan Muḥammad dengan Khadījah. Bilamana Ḥalīmah kemudian mengunjunginya, sepulangnya ia dibekali dengan harta Khadījah berupa unta yang dimuati air dan empat puluh ekor kambing. Dan setiap dia datang dibentangkannya pakaiannya yang paling berharga untuk tempat duduk Ibu Ḥalīmah sebagai tanda penghormatan. Ketika Syaimā’, puterinya berada di bawah tawanan bersama-sama pihak Hawāzin setelah Thā’if dikepung, kemudian dibawa kepada Muḥammad, ia segera mengenalnya. Ia dihormati dan dikembalikan kepada keluarganya sesuai dengan keinginan wanita itu.
Sesudah lima tahun, kemudian Muḥammad kembali kepada ibunya. Dikatakan juga, bahwa Ḥalīmah pernah mencari tatkala ia sedang membawanya pulang ke tempat keluarganya tapi tidak menjumpainya. Ia mendatangi ‘Abd-ul-Muththalib dan memberitahukan bahwa Muḥammad telah sesat jalan ketika berada di hulu kota Makkah. Lalu ‘Abd-ul-Muththalib pun menyuruh orang mencarinya, yang akhirnya dikembalikan oleh Waraqa bin Naufal, demikian setengah orang berkata.
Kemudian ‘Abd-ul-Muththalib yang bertindak mengasuh cucunya itu. Ia memeliharanya sungguh-sungguh dan mencurahkan segala kasih-sayangnya kepada cucu ini. Biasanya buat orang tua itu – pemimpin seluruh Quraisy dan pemimpin Makkah – diletakkannya hamparan tempat dia duduk di bawah naungan Ka‘bah, dan anak-anaknya lalu duduk pula sekeliling hamparan itu sebagai penghormatan kepada orang tua. Tetapi apabila Muḥammad yang datang maka didudukkannya ia di sampingnya di atas hamparan itu sambil ia mengelus-ngelus punggungnya. Melihat betapa besarnya rasa cintanya itu paman-paman Muḥammad tidak mau membiarkannya di belakang dari tempat mereka duduk itu.
Lebih-lebih lagi kecintaan kakek itu kepada cucunya ketika Āminah kemudian membawa anaknya itu ke Madīnah untuk diperkenalkan kepada saudara-saudara kakeknya dari pihak Keluarga Najjār.
Dalam perjalanan itu dibawanya juga Umm Aiman, budak perempuan yang ditinggalkan ayahnya dulu. Sesampai mereka di Madīnah kepada anak itu diperlihatkan rumah tempat ayahnya meninggal dulu serta tempat ia dikuburkan. Itu adalah yang pertama kali ia merasakan sebagai anak yatim. Dan barangkali juga ibunya pernah menceritakan dengan panjang lebar tentang ayah tercinta itu, yang setelah beberapa waktu tinggal bersama-sama, kemudian meninggal dunia di tengah-tengah pamannya dari pihak ibu. Sesudah Hijrah pernah juga Nabi menceritakan kepada sahabat-sahabatnya kisah perjalanannya yang pertama ke Madīnah dengan ibunya itu. Kisah yang penuh cinta pada Madīnah, kisah yang penuh duka pada orang yang ditinggalkan keluarganya.