Hati Senang

Kisah Abrahah dan Gajah – Sejarah Hidup Muhammad – Haekal

حَيَاةُ مُحَمَّدٍ (ص) SEJARAH HIDUP MUHAMMAD Oleh: Muhammad Husain Haekal   Diterjemahkan dari bahasa ‘Arab oleh: Ali Audah
Penerbit: PUSTAKA JAYA

14. Kisah Abrahah dan Gajah

Akan tetapi setelah ternyata bahwa tujuan orang-orang ‘Arab itu hanya Rumah Purba itu juga, dan orang-orang Yaman sendiripun meninggalkan rumah yang dibangunnya itu serta menganggap ziarah mereka tidak sah kalau tidak ke Makkah, maka sekarang tak ada jalan lain bagi penguasa Negus itu kecuali ia harus menghancurkan rumah Ibrāhīm dan Ismā‘īl itu. Dengan pasukan yang besar didatangkan dari Abisinia dia sudah mempersiapkan perang dan dia sendiri di depan sekali di atas seekor gajah besar.

Tatkala pihak ‘Arab mendengar hal itu, besar sekali kekuatirannya akan akibat yang mungkin ditimbulkan karenanya. Suatu hal yang luar biasa bagi mereka, kedatangan seorang laki-laki Abisinia akan menghancurkan rumah suci mereka dan tempat berhala-berhala mereka. Seorang laki-laki bernama Dhū-Nafar – salah seorang bangsawan dan terpandang di Yaman – tampil ke depan mengerahkan masyarakatnya dan orang ‘Arab lainnya yang bersedia berjuang melawan Abrahah serta maksudnya yang hendak menghancurkan Baitullāh. Tetapi dia tak dapat menghalangi Abrahah. Malah dia sendiri terpukul dan menjadi tawanan. Nasib yang demikian itu juga yang menimpa Nufail bin Ḥabīb al-Khath‘amī ketika ia mengerahkan masyarakatnya dari kabilah Syahrān dan Nāhis, malah dia sendiri yang tertawan, yang kemudian menjadi anggota pasukannya dan menjadi penunjuk jalan. Ketika Abrahah sampai di Thā’if penduduk tempat itu mengatakan, bahwa rumah suci mereka bukanlah rumah suci yang dimaksudkan Abrahah. Itu adalah rumah Lāta. Kemudian ia diantar oleh orang-orang yang bersedia menunjukkan jalan ke Makkah.

Bila Abrahah sudah mendekati Makkah dikirimnya pasukan berkuda sebagai kurir. Dari Tihāmah mereka dapat membawa harta benda Quraisy dan yang lain-lain, di antaranya seratus ekor unta kepunyaan ‘Abd-ul-Muththalib bin Hāsyim. Pada mulanya orang-orang Quraisy bermaksud mengadakan perlawanan. Tapi kemudian berpendapat, bahwa mereka takkan mampu. Sementara itu Abrahah sudah mengirimkan salah seorang pengikutnya sebagai utusan bernama Hunata dan Ḥimyar untuk menemui pemimpin Makkah. Ia diantar menghadap ‘Abd-ul-Muththalib bin Hāsyim, dan kepadanya ia menyampaikan pesan Abrahah, bahwa kedatangannya bukan akan berperang melainkan akan menghancurkan Baitullāh. Kalau Makkah tidak mengadakan perlawanan tidak perlu ada pertumpahan darah.

Begitu ‘Abd-ul-Muththalib mendengar, bahwa mereka tidak bermaksud berperang, ia pergi ke markas pasukan Abrahah bersama Hunata, bersama anak-anaknya dan beberapa pemuka Makkah lainnya. Kedatangan delegasi ‘Abd-ul-Muththalib ini disambut baik oleh Abrahah, dengan menjanjikan akan mengembalikan unta ‘Abd-ul-Muththalib. Akan tetapi segala pembicaraan mengenai Ka‘bah serta supaya menarik kembali maksudnya yang hendak menghancurkan tempat suci itu ditolaknya belaka. Juga tawaran delegasi Makkah yang akan mengalah sampai sepertiga harta Tihama baginya, ditolak. ‘Abd-ul-Muththalib dan rombongan kembali ke Makkah. Dinasehatkannya supaya orang meninggalkan tempat itu dan pergi ke lereng-lereng bukit, menghindari Abrahah dan pasukannya yang akan memasuki kota suci dan menghancurkan Rumah Purba itu.

Malam gelap gelita tatkala mereka memikirkan akan meninggalkan kota itu dan di mana pula akan tinggal. Malam itulah ‘Abd-ul-Muththalib pergi dengan beberapa orang Quraisy, berkumpul sekeliling pintu Ka‘bah. Dia bermohon, mereka pun bermohon minta bantuan berhala-berhala terhadap agresor yang akan menghancurkan Baitullāh itu.

Ketika mereka sudah pergi dan seluruh Makkah sunyi dan tiba waktunya bagi Abrahah mengerahkan pasukannya menghancurkan Ka‘bah dan sesudah itu akan kembali ke Yaman, ketika itu pula wabah cacar datang berkecamuk menimpa pasukan Abrahah dan membinasakan mereka. Serangan ini hebat sekali, belum pernah dialami sebelumnya. Barangkali kuman-kuman wabah itu yang datang dibawa angin dari jurusan laut, dan menular menimpa Abrahah sendiri. Ia merasa ketakutan sekali. Pasukannya diperintahkan pulang kembali ke Yaman, dan mereka yang tadinya menjadi penunjuk jalan sudah lari, dan ada pula yang mati. Bencana wabah ini makin hari makin mengganas dan anggota-anggota pasukan yang mati sudah tak terbilang lagi banyaknya.

Sampai juga Abrahah ke Shan‘ā’ tapi badannya sudah dihinggapi penyakit. Tidak berselang lama kemudian diapun mati seperti anggota pasukannya yang lain. Dan dengan demikian orang Makkah mencatatnya sebagai Tahun Gajah. Dan ini yang diabadikan dalam Qur’ān:

Tidakkah kau perhatikan, bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap pasukan orang-orang bergajah? Bukankah Dia gagalkan rencana mereka? Dan dilepaskan di atas mereka pasukan-pasukan burung. Melempari mereka dengan batu yang keras membakar. Sehingga mereka seperti daun-daun kering yang binasa berserakan.” (Qur’ān 105: 1-4)

Peristiwa yang luar biasa ini lebih memperkuat kedudukan Makkah dalam arti agama, di samping itu telah memperkuat pula kedudukannya dalam arti perdagangan. Juga menyebabkan penduduknya lebih banyak memperhatikan dan memelihara kedudukan yang tinggi dan istimewa itu serta mempertahankannya dari segala usaha yang akan mengurangi arti atau akan menyerang kota ini. Orang-orang Makkah lebih bersemangat lagi mempertahankan kota mereka, mengingat kehidupan yang mereka peroleh karenanya, hidup makmur dan mewah sejauh yang dapat kita bayangkan kemewahan hidup mereka di daerah padang-pasir ini, gersang dan tandus.

Kegemaran penduduk daerah ini yang luarbiasa ialah minum nabīdh (minuman keras). Dalam keadaan mabuk itu mereka menemukan suatu kenikmatan yang tak ada taranya! Suatu kenikmatan yang akan memudahkan mereka melampiaskan hawa nafsu, akan menjadikan dayang-dayang dan budak-budak belian yang diperjual-belikan sebagai barang dagangan itu lebih memikat hati mereka. Yang demikian ini mendorong semangat mereka mempertahankan kebebasan pribadi dan kebebasan kota mereka serta kesadaran mempertahankan kemerdekaan dan menangkis segala serangan yang mungkin datang dari musuh. Yang paling enak bagi mereka bersenang-senang waktu malam sambil minum-minum hanyalah di pusat kota sekeliling bangunan Ka‘bah.

Di tempat itu – di samping tiga ratus buah berhala atau lebih, masing-masing kabilah dengan berhalanya – pembesar-pembesar Quraisy dan pemuka-pemuka Makkah duduk-duduk; masing-masing menceritakan hal-hal yang berhubungan dengan keadaan pedalaman, dengan Yaman, orang-orang Mundhir di Ḥirā’ dan orang-orang Ghassān di Suria, tentang datangnya kafilah serta lalu-lintas orang-orang pedalaman.

Kejadian demikian itu sampai kepada mereka dalam bentuk cerita, dari suatu kabilah kepada kabilah yang lain. Setiap kabilah mempunyai “pemancar” dan “pesawat radio” yang menerima berita-berita kemudian disiarkan kembali. Masing-masing membawa cerita yang ada hubungannya dengan berita-berita orang pedalaman, kisah-kisah tetangga dan handai-tolan sambil minum-minum nabīdh. Dan sesudah mereka bermalam suntuk di Ka‘bah mereka menyiapkan diri untuk hal yang sama guna lebih memuaskan kehendak hawa-nafsu. Dengan mata batu permata berhala-berhala itu menjenguk melihat kepada mereka yang sedang berdagang itu, dan mereka merasa mendapat perlindungan, karena Ka‘bah itu dijadikan Rumah Suci dan Makkah menjadi kota aman sentosa. Demikian juga berhala-berhala mendapat jaminan mereka, bahwa tak seorangpun Ahli Kitāb akan memasuki Makkah kecuali tenaga kerja yang takkan bicara tentang agama atau kitabnya.

Itulah sebabnya di sana tak ada koloni-koloni Yahudi seperti di Yathrib atau Nashrānī seperti di Najrān. Bahkan Ka‘bah yang dijadikan tempat paganisma yang paling suci ketika itu mereka lindungi dari semua yang akan menghinanya, dan merekapun berlindung ke sana dari segala serangan. Begitulah seterusnya Makkah itu bebas berdiri sendiri, seperti kabilah-kabilah ‘Arab yang bebas pula berdiri sendiri-sendiri. Mereka tidak mau kalau kebebasannya itu diganti, dan mereka tidak pedulikan cara hidup lain selain kebebasannya ini di bawah perlindungan berhala-berhala. Masing-masing kabilah tidak pula terganggu, dan tidak pula terpikir oleh mereka akan mengadakan suatu kesatuan bangsa yang kuat, seperti yang dilakukan oleh Rumawi dan Persia dalam meluaskan kekuasaan dan melakukan peperangan.

Oleh karena itu tetaplah kabilah-kabilah itu semua tidak mempunyai sesuatu bentuk apapun selain cara-cara hidup pedalaman, tempat mereka mencari padang rumput untuk ternak, kemudian hidup di tengah-tengah itu dengan cara hidup yang kasar, tertarik oleh segala kebebasan, kemerdekaan, kebanggaan dan kepahlawanan.

Pada dasarnya tempat-tempat tinggal di Makkah mengelilingi lingkungan Ka‘bah. Jauh dekatnya rumah-rumah itu dari Ka‘bah tergantung dari penting dan tingginya kedudukan sesuatu keluarga atau suku. Kaum Quraisy adalah yang terdekat letaknya dan paling banyak berhubungan dengan Rumah Suci itu. Merekalah yang memegang kuncinya dan kepengurusan air Zamzam, juga segala gelar-gelar kebangsawanan menurut paganisma ada pada mereka, yang sampai menimbulkan perang karenanya, menyebabkan adanya persekutuan, atau perjanjian-perjanjian perdamaian antar kabilah, yang tetap tersimpan di dalam Ka‘bah, supaya dapat disaksikan oleh sang berhala untuk kemudian menurunkan murkanya bagi mereka yang melanggar.

Di belakang rumah-rumah Quraisy itu menyusul pula rumah-rumah kabilah yang agak kurang penting kedudukannya, diikuti oleh yang lebih rendah lagi, sampai kepada tempat-tempat tinggal kaum budak dan sebangsa kaum gelandangan. Termasuk umat Kristen dan Yahudi di Makkah, seperti kita sebutkan tadi – adalah juga budak. Tempat-tempat tinggal mereka jauh dari Ka‘bah malah sudah berbatasan dengan sahara. Oleh karena itu percakapan mereka tentang kisah-kisah agama, baik Kristen atau Yahudi, tidak sampai mendekati telinga pemuka-pemuka Quraisy dan penduduk Makkah umumnya. Letak mereka yang lebih jauh itu benar-benar membuat mereka lebih rapat lagi menutup telinga. Mereka tidak mau menyibukkan diri dengan itu. Dalam perjalanan mereka melalui biara-biara dan tempat-tempat para rahib sudah biasa mereka mendengar cerita serupa itu.

Hanya saja apa yang sudah mulai diperkatakan orang tentang akan datangnya seorang nabi di tengah-tengah orang ‘Arab waktu itu, sudah cukup menimbulkan heboh. Abū Sufyān pernah marah kepada Umayyah bin Abi-sh-Shalt karena orang ini sering mengulang-ulang cerita para rahib tentang hal serupa itu. Dan barangkali sesuai dengan kedudukan Abū Sufyān juga ketika itu ketika ia berkata kepada kawannya itu: Para rahib itu suka membawa cerita semacam itu karena mereka tidak mengerti soal agama mereka sendiri. Mereka memerlukan sekali adanya seorang nabi yang akan memberi petunjuk kepada mereka. Tetapi kita yang sudah punya berhala-berhala, yang akan mendekatkan kita kepada Tuhan, tidak memerlukan lagi hal serupa itu. Kita harus menentang semua pembicaraan semacam itu.

Dapat saja ia bicara begitu. Dia, yang begitu fanatik kepada Makkah dan kehidupan paganismanya, tak pernah membayangkan bahwa saatnya sudah di ambang pintu, bahwa kenabian Muḥammad s.a.w. sudah dekat dan bahwa dari tanah ‘Arab pagan yang beraneka ragam itu cahaya Tauḥīd dan sinar kebenaran akan memancar ke seluruh dunia.

‘Abdullāh bin ‘Abd-ul-Muththalib sebenarnya adalah pemuda yang berwajah tampan dan menarik. Menarik perhatian gadis-gadis dan wanita-wanita Makkah. Lebih-lebih lagi yang menarik perhatian mereka ialah kisah penebusan, dan kisah seratus ekor unta yang tidak mau diterima oleh Hubal kurang dari itu. Tetapi takdir sudah menentukan ‘Abdullāh akan menjadi seorang ayah yang paling mulia yang pernah dikenal sejarah. Demikian juga Āminah bint Wahb akan menjadi ibu bagi anak ‘Abdullāh itu. Ia kawin dengan wanita itu dan selang beberapa bulan kemudian iapun meninggal. Tak ada lagi penebusan berupa apapun yang akan melepaskan dia dari maut. Tinggal lagi Āminah kemudian akan melahirkan Muḥammad dan akan mati semasa yang dilahirkan itu masih bayi.

Pada gambar berikut ini silsilah keturunan Nabi yang menerangkan perkiraan tahun-tahun kelahiran mereka masing-masing.

Silsilah Keturunan Nabi - Sejarah Hidup Muhammad - Haekal

Alamat Kami
Jl. Zawiyah, No. 121, Rumah Botol Majlis Dzikir Hati Senang,
RT 06 RW 04, Kp. Tajur, Desa Pamegarsari, Parung, Jawa Barat. 16330.