(وَ الْكُفَّارُ مُخَاطَبُوْنَ بِفُرُوْعِ الشَّرَائِعِ وَ بِمَا لَا تَصِحُّ إلَّا بِهِ وَ هُوَ الْإِسْلَامُ لِقَوْلِهِ تَعَالَى مَا سَلَكَكُمْ فِيْ سَقَرَ، قَالُوْا: لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّيْنَ.)
Orang-orang kafir ter-khithāb-i menjalankan masalah-masalah syarī‘at sekaligus hal yang menjadi pengantar keabsahannya, yaitu Islam. Berdasarkan firman Allah s.w.t. QS. al-Muddatstsir: 42-43: “Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?” Mereka menjawab: “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat.”
‘Ulamā’ berbeda pendapat tentang syarat syar‘ī, apakah keberadaannya menjadi syarat keabsahan sebuah taklīf (tuntutan) ataukah tidak. Menurut pendapat shaḥīḥ, tidak menjadi syarat. Hukumnya sah menuntut sesuatu yang disyarati (الْمَشْرُوْطُ) ketika syaratnya tidak ada, karena syarat mungkin dilakukan sebelum (الْمَشْرُوْطُ). Sehingga sah menuntut orang kafir atas furū‘-usy-syarī‘ah (masalah-masalah syarī‘at), meskipun syarat berupa īmān tidak ada. Hal ini dikarenakan sebagian besar (فِي الْجُمْلَةِ) furū‘-usy-syarī‘ah membutuhkan niat yang dinilai tidak sah dari orang kafir.
Apa yang dimaksud syarī‘at dalam keterangan di atas?
Jawab:
Adalah ushūl-ud-dīn dan furū‘ (cabang-cabang). Ushūl berupa tauḥīd dan hal-hal yang terkait, maka ‘ulamā’ sepakat orang-orang kafir terkena khithāb. Sedangkan furū‘ adalah hukum-hukum taklīfī, berupa wājib, ḥarām dan selain keduanya, serta hukum wadh‘ī.
Syarī‘at yang dimaksud di atas adalah syarī‘at nabi-nabi. Artinya orang-orang kafir dari setiap rasūl terkena khithāb menjalankan furū‘-usy-syarī‘ah (masalah-masalah syarī‘at) nabi-nabinya.
Referensi:
اِعْلَمْ أَنَّ الشَّرَائِعَ أُصُوْلٌ وَ فُرُوْعٌ فَأَمَّا الْأُصُوْلُ فَالتَّوْحِيْدُ وَ مَا يَتَعَلَّقُ بِهِ فَهُمْ مُخَاطَبُوْنَ بِهَا اِتِّفَاقًا – إِلَى أَنْ قَالَ – وَ أَمَّا الْفُرُوْعُ فَالْأَحْكَامُ التَّكْلِيْفِيَّةُ إِيْجَابُهَا وَ تَحْرِيْمُهَا وَ غَيْرُهُمَا وَ الْوَضْعِيَّةُ (النَّفَحَاتُ صـــ 62).
“Ketahuilah bahwa sesungguhnya beberapa syarī‘at adalah ushūl-ud-dīn dan furū‘ (cabang-cabang). Ushūl berupa tauḥīd dan hal-hal yang terkait, maka ‘ulamā’ sepakat orang-orang kafir terkena khithāb. Sedangkan furū‘ adalah hukum-hukum taklīfī, berupa wājib, ḥarām dan selain keduanya, serta hukum wadh‘ī”. (an-Nafaḥāt, hal. 62).
(قَوْلُهُ الشَّرَائِعُ) أَيْ شَرَائِعُ الْأَنْبِيَاءِ يَعْنِيْ أَنَّ كُفَّارَ أُمَّةِ كُلِّ رَسُوْلٍ مُخَاطَبُوْنَ بِفُرُوْعِ شَرِيْعَةِ نَبِيِّهِمْ (النَّفَحَاتُ صــــ 62).
“(Ucapan pengarang: beberapa syarī‘at) maksudnya syarī‘at nabi-nabi, yang artinya orang-orang kafir dari setiap rasūl terkena khithāb menjalankan furū‘-usy-syarī‘ah (masalah-masalah syarī‘at) nabi-nabinya.” (an-Nafaḥāt, hal. 62).
Bidang syarī‘at apa sajakah yang keabsahannya ditentukan dengan adanya niat?
Jawab:
Sebagian dari perintah-perintah (الْمَأْمُوْرَاتُ) seperti shalat dan yang sejenis. Sebagian perintah yang lain seperti memerdekakan hamba sahaya, jihad dan yang sejenis, serta larangan-larangan (الْمَنْهِيَاتُ) secara menyeluruh tidak membutuhkan niat.
Referensi:
إِنَّمَا قَالَ فِي الْجُمْلَةِ لِأَنَّ الْمُتَوَقِّفَ عَلَى النِّيَّةِ إِنَّمَا هُوَ بَعْضث الْمَأْمُوْرَتِ كَالصَّلَاةِ وَ نَحْوِهَا دُوْنَ الْبَعْضِ الْآخَرِ كَالْعِتْقِ وَ الْجِهَادِ وَ نَحْوِهِمَا وَ دُوْنَ الْمَنْهِيَّاتِ مُطْلَقًا (حاشِيَةُ الْبَنَانِيْ الْجُزْءُ الْأَوَّلُ صــــ 154).
“Sesungguhnya pengarang mengatakan “sebagian besar furū‘-usy-syarī‘ah, karena yang membutuhkan niat sesungguhnya adalah sebagian dari perintah-perintah seperti shalat dan yang sejenis. Dan tidak termasuk sebagian perintah yang lain seperti memerdekakan hamba sahaya, jihad dan yang sejenis, serta larangan-larangan secara menyeluruh.” (Ḥāsyiyat-ul-Banānī, juz 1, hal. 154).
وَ فَائِدَةٌ خِطَابِهِمْ بِهَا عِقَابُهُمْ عَلَيْهَا إِذْ لَا تَصِحُّ مِنْهُمْ فِيْ حَالِ الْكُفْرِ لِتَوَقُّفِهَا عَلَى النِّيَّةِ الْمُتَوَقِّفَةِ عَلَى الْإِسْلَامِ وَ لَا يُؤَاخَذُوْنَ بِهَا بَعْدَ الْإِسْلَامِ تَرْغِيْبًا فِيْهِ.
Faidah khithāb pada orang-orang kafir atas furū‘-usy-syarī‘ah adalah adanya siksaan bagi mereka sebab hal tersebut. Karena furū‘-usy-syarī‘ah tidak sah mereka lakukan saat berada dalam kekufuran, sebab furū‘-usy-syarī‘ah membutuhkan niat yang keabsahannya tergantung dengan syarat Islam. Mereka tidak dibebani dengan furū‘-usy-syarī‘ah setelah masuk Islam, untuk membuat mereka simpati pada Islam.
Khithāb pada orang-orang kafir memiliki faedah, ya‘ni diberlakukannya siksaan bagi mereka atas meninggalkan kewājiban dan melanggar larangan. Hal ini menepis pendapat muqābil-ul-ashaḥḥ, bahwa perbuatan yang keabsahannya tergantung dengan syarat Islam, maka khithāb pada orang kafir untuk menjalankannya tidak berfaedah. Karena tidak mungkin dilakukan dalam keadaan kafir.
Seandainya ada yang mengatakan, seharusnya ada kewājiban qadhā’ bagi orang kafir setelah masuk Islam, karena saat kafir mereka terkena khithāb. Ditanggapi bahwa hal itu memang benar, namun asy-Syāri‘ (pembuat syarī‘at) telah meringankan sekaligus membuat mereka simpati pada Islam.
Apa maksud siksaan bagi orang-orang kafir?
Jawab:
Maksudnya adalah siksaan yang diakibatkan selain kekafirannya. Ya‘ni persoalan furū‘ yang disepakati, bukan yang diperselisihkan ‘ulamā’.
Referensi:
وَ الْمُرَادُ الْعِقَابُ الزَّائِدُ عَلَى عِقَابِ الْكُفْرِ وَ لَعَلَّ الْكَلَامِ فِي الْمُتَّفَقِ عَلَيْهِ دُوْنَ الْمُخْتَلَفِ (النَّفَحَاتُ صــــ 63).
“Sungguh orang-orang kafir disiksa di akhirat padahal tidak memungkinkan melakukan perbuatan yang diperintahkan saat ada tuntutan, karena saat mereka memungkinkan untuk menghilangkan pencegah, berupa kekafiran, mereka teledor dengan tidak menghilangkannya padahal mampu dilakukan.” (an-Nafaḥāt, hal. 63).