(خَاتِمَةٌ) الْإِيْمَانُ لُغَةً مُطْلَقُ التَّصْدِيْقِ وَ مِنْهُ قَوْلُهُ تَعَالَى حِكَايَةً عَنْ أَوْلَادِ يَعْقُوْبَ وَ مَا أَنْتَ بِمُؤْمِنٍ لَنَا وَ شَرْعًا التَّصْدِيْقُ بِجَمِيْعِ مَا جَاءَ بِهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ.
“(PENUTUP): Iman menurut bahasa adalah semata-mata membenarkan atau percaya. Dan di antara ma‘na iman yang seperti ini adalah firman Allah s.w.t. sebagai hikayat perihal anak-anak Ya‘qūb: Dan kamu sekali-kali tidak akan percaya kepada kami (وَ مَا أَنْتَ بِمُؤْمِنٍ لَنَا). Dan menurut Syara‘: Iman adalah membenarkan terhadap semua apa yang telah dibawa oleh Nabi s.a.w.”
وَ اخْتُلِفَ فِيْ مَعْنَى التَّصْدِيْقِ بذلِكَ فَقَالَ بَعْضُهُمْ هُوَ الْمَعْرِفَةُ فَكُلَّ مَنْ عَرَفَ مَا جَاءَ بِهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَ يُرَدُّ عَلَى هذَا التَّفْسِيْرِ أَنَّ الْكَافِرَ عَارِفٌ وَ لَيْسَ بِمُؤْمِنٍ.
“Dan diperselisihkan pada ma‘na: “membenarkan dengan yang demikian itu” maka sebagian mereka berkata: “Dia adalah ma‘rifat atau mengetahui. Maka setiap orang yang mengetahui apa-apa yang telah dibawa oleh Nabi s.a.w. maka dia adalah mu’min”. Dan tafsiran ini dibantah bahwa orang kafirpun mengetahui sedangkan dia bukanlah mu’min.”
فَالتَّحْقِيْقُ تَفْسِيْرُ التَّصْدِيْقِ بِأَنَّهُ حَدِيْثُ النَّفْسِ التَّابِعُ لِلْجُزْمِ سَوَاءٌ كَانَ يَجْزِمُ عَنْ دَلِيْلٍ وَ يُسَمَّى مَعْرِفَةً أَوْ عَنِ التَّقْلِيْدِ.
“Maka yang benar adalah: Menafsirkan tashdīq (membenarkan) itu dengan bahwa dia adalah bisikan jiwa yang mengikuti pada perasaan mantap, baik dia mantap berdasarkan dalīl dan dialah yang dinamakan dengan ma‘rifat atau (dia mantap) berdasarkan taqlīd.”
فَيَخْرُجُ الْكَافِرُ لِأَنَّهُ لَمْ يَكُوْ عِنْدَهُ حَدِيْثُ النَّفْسِ لِأَنَّ مَعْنَى حَدِيْثِ النَّفْسِ أَنْ تَقُوْلَ رَضِيْتُ بِمَا جَاءَ بِهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ وَ نَفْسُ الْكَافِرِ لَا تَقُوْلُ ذِلِكَ وَ دَخَلَ الْمُقَلِّدُ فَإِنَّهُ عِنْدَهُ حَدِيْثُ نَفْسٍ تَابِعٌ لِلْجَزْمِ وَ إِنْ لَمْ يَكُنْ جَزْمُهُ عَنْ دَلِيْلٍ.
“Maka keluarlah orang kafir karena dia tidak mempunyai bisikan jiwa karena ma‘na bisikan jiwa adalah bahwa jiwa itu berkata: “Aku rela dengan apa yang telah dibawa oleh Nabi s.a.w.” dan jiwanya orang kafir tidak mengucapkan yang demikian itu. Dan masuklah orang yang taqlid karena dia mempunyai bisikan jiwa yang mengikuti pada perasaan mantap meski kemantapannya itu tidak berdasarkan dalīl.”
Dalam hal iman ini telah dikutip dari Ibn-ul-Qayyim bahwa ditinjau dari segi bertambah dan berkurangnya, iman itu ada tiga bagian:
Dan tinggal bagian yang keempat yaitu iman yang selalu berkurang dan tidak bertambah dan sebagian ‘ulamā’ ada yang memberikan contoh untuk bagian ini dengan imannya orang-orang fāsiq.
وَ مِمَّا يَجِبُ الْإِيْمَانُ بِهِ أَيْضًا مَعْرِفَةُ نَسَبِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ مِنْ جِهَةِ أَبِيْهِ وَ مِنْ جِهَةِ أُمِّهِ.
“Dan di antara perkara yang wajib beriman dengannya adalah mengetahui nasabnya Nabi s.a.w. dari jihat (arah) bapaknya dan dari jihat (arah) ibunya.”
فَأَمَّا نَسَبُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ مِنْ جِهَةِ أَبِيْهِ فَهُوَ سَيِّدُنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ بْنِ هَاشِمٍ بْنِ مَنَافٍ بْنِ قَصَيٍّ بْنِ كِلَابٍ بْنِ مُرَّةٍ بْنِ كَعْبٍ ابْنِ لُؤَيٍّ بِالْهَمْزَةِ وَ تَرْكِهِ ابْنِ غَالِبٍ بْنِ فِهْرٍ بْنِ مَالِكٍ ابْنِ النَّضَرِ ابْنِ كِنَايَةَ بْنِ خُزَيْمَةَ بْنِ مُدْرِكَةَ بْنِ إِلْيَاسَ بْنِ مُضَرَ بْنِ نِزَارَ ابْنِ مُعَدِّ بْنِ عَدْنَانَ وَ الْاِجْمَاعُ مُنْعَقِدٌ عَلَى هذَا النَّسَبِ إِلَى عَدْنَانَ وَ لَيْسَ فِيْهَا بَعْدَهُ إِلَى آدَمَ طَرِيْقٌ صَحِيْحٌ فِيْمَا يُنْقَلُ.
“Adapun nasabnya Nabi s.a.w. dari jihat (arah) bapaknya, maka dia adalah junjungan kita Muḥammad anak ‘Abdullāh, anak ‘Abd-ul-Muththalib, anak Hāsyim, anak ‘Abdi Manāf, anak Qushayy, anak Kilāb, anak Murrah, anak Ka‘ab, anak Lu’ay – dengan hamzah dan tanpa hamzah – , anak Ghālib, anak Fihr, anak Mālik, anak Nadhar, anak Kinānah, anak Khuzaimah, anak Mudrikah, anak Ilyās, anak Mudhar, anak Nizār, anak Mu‘add, anak ‘Adnān.
Dan secara sepakat terhitung atas nasab ini hingga Adam dan tidak ada apa-apa setelahnya hingga Ādam satu jalan yang shahih pada apa-apa yang dikutip.”
وَ أَمَّا نَسَبُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ مِنْ جِهَةِ أُمِّهِ فَهِيَ آمِنَةُ بِنْتُ وَهْبٍ ابْنِ مَنَافِ ابْنِ زُهْرَةَ وَ عَبْدُ مَنَافٍ هذَا غَيْرُ عَبْدِ مَنَافٍ جَدِّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فَتَجْتَمِعُ مَعَهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ أُمُّهُ فِيْ جَدِّهِ كِلَابٌ.
“Adapun nasabnya Nabi s.a.w. dari jihat (arah) ibunya, maka dia adalah Āminah bintu Wahb, anak ‘Abdi Manāf dan ‘Abdi Manāf ini bukan ‘Abdi Manāf kakeknya Nabi s.a.w., anak Kilāb (salah seorang kakek Nabi s.a.w.) Maka berkumpullah ibunya itu bersama Nabi s.a.w. pada kakeknya Kilāb.”
وَ يَجِبُ أَنْ يُعْلَمَ أَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ أَبْيَضُ مُشَرَّبٌ بِحُمْرَةٍ عَلَى مَا قَالَهُ بَعْضُهُمْ.
“Dan wajib untuk diketahui bahwa Nabi s.a.w. adalah putih yang bercampur dengan merah berdasarkan apa yang telah dikatakan oleh sebagian mereka (para ‘ulamā’).”
وَ هذَا آخِرُ مَا يَسَّرَ اللهُ بِهِ مِنْ فَضْلِهِ وَ صَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِهِ وَ أَصْحَابِهِ وَ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ كُلَّمَا ذَكَرَهُ الذَّاكِرُوْنَ وَ غَفَلَ عَنْ ذِكْرِهِ الْغَافِلُوْنَ. وَ الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.
“Dan inilah Akhir dari apa-apa yang telah dimudahkan Allah dari keutamaannya dan semoga Allah memberi shalawat atas junjungan kita Muḥammad dan para keluarganya serta sahabatnya dan atas Ahl-ul-Baitnya setiap kali ingat padanya orang-orang yang ingat dan lalai dari mengingatnya orang-orang yang lalai serta segala puji bagi Allah, penguasa seluruh alam.”