Keutamaan Shalat Berjama‘ah – Rahasia Shalat al-Ghazali

Rahasia Shalat
(Percikan Iḥyā’u ‘Ulūm-ud-Dīn)
Diterjemahkan dari: Asrār-ush-Shalāti wa Muhimmatuhā
Karya: Al-Ghazālī
 
Dialihbahasakan oleh: Muḥammad al-Bāqir
Diterbitkan oleh: Penerbit Mizan.

Keutamaan Shalat Berjamā‘ah.

Sabda Nabi s.a.w.: “Shalat jamā‘ah lebih utama daripada shalat sendirian, sebanyak dua puluh tujuh derajat (tingkatan).” (261).

Abū Hurairah meriwayatkan bahwa Nabi s.a.w. pernah menanyakan tentang beberapa orang yang sering tidak menghadiri shalat jamā‘ah bersama beliau, dan beliau bersabda: “Hampir-hampir aku memerintahkan seseorang untuk mengimami shalat, agar aku dapat pergi ke tempat orang-orang yang sering tidak menghadiri shalat jamā‘ah itu, untuk membakar rumah-rumah mereka.”

Dalam riwayat lain disebutkan:

“….agar aku dapat pergi ke tempat orang-orang yang sering tidak menghadiri shalat jamā‘ah, lalu memerintahkan agar rumah-rumah mereka dibakar dengan kayu bakar. Seandainya seseorang dari mereka mengetahui akan mendapat sepotong daging berlemak atau dua anak panah (sebagai hadiah) untuk para pengunjung shalat jamā‘ah (di masjid Nabi s.a.w.), niscaya dia akan datang menghadiri shalat ‘Isyā’ di masjid.”

Utsmān meriwayatkan secara marfū‘ (yakni, dia menisbahkan ucapan ini kepada Nabi s.a.w.): “Barang siapa menghadiri shalat jamā‘ah ‘Isyā’ (di masjid), seakan-akan dia bertahajjud setengah malam, dan barang siapa menghadiri shalat jamā‘ah Shubuḥ, seakan-akan dia bertahajjud semalam suntuk.” (272).

Sabda Nabi s.a.w.:

Barang siapa mengerjakan shalat berjama‘ah, maka dia telah mengisi penuh tubuhnya dengan ibadah.” (283).

Berkata Sa‘īd bin Musayyab: “Selama dua puluh tahun, saya selalu berada di masjid, ketika mu’adzdzin menyerukan adzannya.”

Berkata Muḥammad bin Wāsi‘: “Tidak ada lagi yang kuinginkan dari dunia, kecuali tiga hal, yaitu pertama seorang saudara yang bila aku menyeleweng, segera meluruskanku. Kedua rezeki sekadarnya yang datang tanpa susah payah dan tanpa memberatkan tanggung-jawab. Ketiga shalat berjamā‘ah, yang diampuni bagiku kekurangan di dalamnya, sementara dicatat bagiku pahalanya.” (294).

Diriwayatkan bahwa Abū ‘Ubaidah bin Jarrah sekali waktu mengimani shalat, dan ketika selesai dia berkata: “Syaithan terus-menerus menggangguku tadi sehingga akhirnya berhasil membuatku mengira diriku lebih utama dari orang-orang lain. Sejak saat ini, aku tidak akan lagi mau menjadi imam untuk selama-lamanya.”

Berkata Ḥasan al-Bashrī: “Jangan kalian shalat di belakang seseorang yang tidak sering-sering mendatangi para ‘ulamā’.” (305).

Berkata an-Nakha‘ī: “Perumpamaan seorang yang mengimani shalat tanpa ilmu yang dimilikinya adalah seperti seseorang yang menakar air dalam lautan. Dia tidak akan mengetahui lebih atau kurangnya.”

Berkata Ḥātim al-‘Ashamm: “Pernah, aku ketinggalan shalat berjamā‘ah dan tidak seorang pun mengucapkan ta‘ziyah (bela sungkawa) kepadaku, selain Abū Isḥāq al-Bukhārī. Sekiranya seorang anakku meninggal dunia, niscaya lebih dari sepuluh ribu orang mengucapkan ta‘ziyah. Sebabnya, musibah agama, bagi kebanyakan orang, jauh lebih ringan daripada musibah dunia.”

Berkata ‘Abdullāh bin ‘Abbās: “Barang siapa sampai kepadanya suara mu’adzdzin, dan dia tidak memenuhi panggilannya (tidak datang ke masjid untuk shalat berjamā‘ah), orang itu tidak menginginkan kebaikan dan tidak pula diinginkan kebaikan baginya.”

Berkata Abū Hurairah: “Seandainya dituangkan cairan timah panas ke telinga, hal itu masih lebih baik daripada mendengar seruan adzan dan tidak memenuhinya.”

Diriwayatkan, Maimūn bin Muḥram datang ke masjid, lalu dikatakan kepadanya: “Orang-orang telah selesai shalat.” Maimūn mengeluh: “Innā lillāhi wa innā ilaihi rāju‘ūn. Sungguh, shalat itu lebih kusukai daripada memperoleh jabatan sebagai wali negeri ‘Irāq.”

Sabda Nabi s.a.w.:

Barang siapa mengerjakan shalat-shalatnya selama empat puluh hari dalam jamā‘ah, tidak ketinggalan satu takbīrat-ul-iḥrām pun, Allah s.w.t. akan menuliskan baginya dua kebebasan: kebebasan dari ke-munāfiq-an dan kebebasan dari api neraka.” (316).

Dikatakan, kelak pada Hari Kiamat, ada sekelompok orang yang dibangkitkan dalam keadaan wajah-wajah mereka laksana bintang gemerlapan. Malaikat akan bertanya kepada mereka: “Apa gerangan ‘amal-‘amal kalian?” Mereka pun menjawab: “Kami dahulu, apabila mendengar adzan, segera bangkit untuk berwudhu’, tak suatu pun menyibukkan kami darinya.”

Kemudian, akan dibangkitkan sekelompok lainnya, wajah-wajah mereka laksana bulan purnama, dan setelah ditanya mereka: “Kami selalu berwudhu’ sebelum masuk waktu shalat.”

Kemudian, dibangkitkan pula sekelompok lainnya, wajah-wajah mereka laksana matahari, dan mereka akan berkata: “Kami selalu mendengar adzan di dalam masjid.”

Diriwayatkan, para salaf (orang-orang terdahulu) biasa ber-ta‘ziyah (berbela-sungkawa) kepada diri mereka sendiri selama tiga hari, setiap kali mereka ketinggalan takbīr pertama, dan ber-ta‘ziyah selama tujuh hari, apabila ketinggalan shalat jamā‘ah.

Catatan:

  1. 26). HR. Mālik, Aḥmad, Bukhārī, Muslim, Tirmidzī, dan Nasā’ī.
  2. 27). HR. Muslim dan Tirmidzī.
  3. 28). Berkata al-Ḥāfizh al-‘Irāqī: “Hadits tersebut sebenarnya adalah ucapan Sa‘īd bin Musayyab.”
  4. 29). Berkata az-Zabīdī: “Tidak tercantum dalam biografi Muḥammad bin Wāsi‘ pada buku al-Ḥilyah. Yakni, orang yang tidak mendatangi para ‘ulamā’ untuk menanyakan tentang agamanya serta segala sesuatu yang berkaitan dengan sah atau rusaknya shalat.”
  5. 30). Yakni, orang yang tidak mendatangi para ‘ulamā’ untuk menanyakan tentang agamanya serta segala sesuatu yang berkaitan dengan sah atau rusaknya shalat.
  6. 31). HR. Tirmidzī dan Aḥmad.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *