Keutamaan Masjid dan Tempat Shalat – Rahasia Shalat al-Ghazali

Rahasia Shalat
(Percikan Iḥyā’u ‘Ulūm-ud-Dīn)
Diterjemahkan dari: Asrār-ush-Shalāti wa Muhimmatuhā
Karya: Al-Ghazālī
 
Dialihbahasakan oleh: Muḥammad al-Bāqir
Diterbitkan oleh: Penerbit Mizan.

Keutamaan Masjid dan Tempat Shalat.

 

Firman Allah s.w.t.: “Hanya orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir sajalah yang mema‘murkan masjid-masjid Allah.” (QS. at-Taubah [9]: 18).

Sabda Nabi s.a.w.: “Barang siapa demi keridhaan Allah membangun sebuah masjid, walaupun seluas sarang burung merpati, niscaya Allah akan membangunkan baginya istana di surga.” (501).

Barang siapa membiasakan dirinya betah tinggal di mesjid, niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam pelindungan-Nya.” (512).

Apabila seseorang dari kamu memasuki masjid, hendaknya dia shalat dua rakaat sebelum duduk.” (523).

Tiada shalat (sempurna) bahwa seorang tetangga masjid, kecuali di masjid.” (534).

Malaikat bershalawat (memohonkan rahmat dan ampunan) bagi setiap orang dari kamu, selama dia, seusai shalat, masih di tempat shalatnya itu. Para malaikat itu berdoa: “Ya Allah, limpahkan kepadanya rahmat dan ampunan-Mu.” Demikian itu terus-menerus, selama dia belum batal wudhu’nya, ataupun keluar meninggalkan masjid.” (545).

Akan datang suatu masa, ketika sebagian manusia mengisi pembicaraan mereka di masjid-masjid mereka dengan urusan-urusan dunia mereka. Oleh karena itu, janganlah kalian ikut duduk-duduk bersama mereka, sebab Allah s.w.t. tak merasa perlu memandang ke arah mereka.” (556).

Allah s.w.t. berfirman dalam sebagian kitāb suci-Nya. Rumah-rumahKu di bumi ialah masjid-masjid. Orang-orang yang mengunjungi-Ku ialah mereka yang memakmurkannya. Alangkah bahagianya seorang hamba yang bersuci di rumahnya. Lalu mengunjungi-Ku di rumah-Ku. Sungguh, wajib atas siapa yang dikunjungi untuk memuliakan yang mengunjunginya.” (567).

Bila kamu melihat seseorang yang biasa duduk dan mengunjungi masjid-masjid, saksikanlah dia sebagai orang yang beriman.” (578).

Berkata Sa‘īd bin Musayyab: “Barang siapa duduk di masjid, seolah-olah duduk bersama Tuhannya. Oleh karena itu, tidaklah sepatutnya dia mengucapkan sesuatu selain yang baik.”

Diriwayatkan dalam suatu atsar atau khabar: “Berbicara di masjid, melahap pahala perbuatan-perbuatan baik, seperti hewan-hewan ternak melahap rerumputan.” (589).

Berkata Nakha‘ī: “Orang-orang baik-baik terdahulu berpendapat, berjalan pada malam hari yang gelap menuju masjid, pasti mendatangkan pahala surga.”

Berkata Anas bin Mālik: “Barang siapa menerangi masjid dengan sebuah lampu, malaikat dan para pemikul ‘Arsy akan memohonkan ampunan baginya selama lampu itu masih menerangi masjid.”

Berkata ‘Alī bin Abī Thālib r.a.: “Apabila seorang hamba Allah meninggal dunia, dia akan ditangisi oleh tempat shalatnya di bumi, serta tempat pendakian ‘amalnya di langit.” {Kemudian ‘Alī r.a. membaca firman Allah: “Maka langit dan bumi tidak menangisi mereka, yakni orang-orang durhaka, dan mereka pun tidak diberi tangguhan.” (QS. ad-Dukhān [44]: 29)}.

Berkata Ibn ‘Abbās: “Bumi akan menangisinya selama empat puluh hari.”

Berkata ‘Athā’ al-Khurasānī: “Tidak seorang pun manusia bersujud kepada Allah satu kali sujud di atas suatu tempat di bumi ini, kecuali tempat itu akan bersaksi untuknya pada Hari Kiamat, dan menangisinya pada hari dia wafat.”

Berkata Anas bin Mālik: “Tidak sepotong tanah pun yang seseorang mengingat Allah dengan dzikir atau shalat di atasnya, kecuali tanah itu akan membanggakan dirinya atas bagian-bagian lain dari bumi sekitarnya. Ia akan merasa senang dengan dzikir kepada Allah yang dilakukan di atasnya sampai ketujuh lapis bumi. Dan, tidak seorang manusia pun berdiri untuk shalat, kecuali tanah di bawahnya akan menghias diri baginya.”

Dikatakan pula, tidak ada suatu tempat pun yang dihuni orang-orang, kecuali tempat itu memohonkan ampunan bagi para penghuninya ataupun melaknat mereka. (5910).

Catatan:

  1. 50). HR. Ibnu Mājah dan Ibnu Ḥibbān. Juga diriwayatkan oleh Bukhārī-Muslim dan Tirmidzī dari ‘Ubaidullāh bin Aswad.
  2. 51). HR. Thabrānī dalam al-Ausath dengan sanad lemah, menurut al-‘Irāqī.
  3. 52). HR. Aḥmad, Bukhārī, Muslim, Tirmidzī, Abū Dāūd, dan Nasā’ī dari Abū Qatādah.
  4. 53). HR. Dāruquthnī dengan dua jalan.
  5. 54). HR. Bukhārī dari al-A‘masy.
  6. 55). HR. Ibnu Ḥibbān dari Ibnu Mas‘ūd dan al-Ḥākim dari Anas.
  7. 56). HR. Abū Nu‘aim dalam buku al-Ḥilyah, dari Hadits Abū Sa‘īd dengan sanad lemah.
  8. 57). HR. Tirmidzī, Ibnu Mājah, dan al-Ḥākim, dari hadits Abū Sa‘īd.
  9. 58). Berkata al-‘Irāqī: “Tidak kujumpai sumber hadits tersebut.”
  10. 59). Yakni, bergantung pada amalan mereka, apakah mereka taat kepada Allah atau bermaksiat terhadap-Nya.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *