Firman Allah s.w.t.: “Dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.” (QS. Thāhā [20]: 14). “Janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.” (QS. al-A‘rāf [7]: 205), “Hai orang-orang beriman, janganlah kamu shalat sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti (menyadari) apa yang kamu ucapkan.” (QS. an-Nisā’ [4]: 43).
Ada yang menafsirkan kalimat “dalam keadaan mabuk”, sebagai hilangnya pikiran akibat tekanan perasaan resah dan sumpek yang sangat. Ada pula yang menafsirkannya mabuk karena kecintaan pada dunia.
Berkata Wahb bin Munabbih: “Yang dimaksud ialah kemabukan dari apa saja, di dalamnya terkandung pula peringatan bagi orang yang mabuk karena kecintaan pada dunia, mengingat alasan yang dikemukakan: “sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan”. Betapa banyak orang shalat tidak mengerti apa yang diucapkannya, kendatipun dia tidak minum khamar.”
“Tak satu pun perangai manusia lebih disukai Allah daripada seseorang yang sangat ingin berjumpa dengan-Nya, dan tak ada saat bagi seseorang untuk lebih dekat kepada Allah daripada ketika dia bergerak menuju sujud.”‘Uqbah bin Muslim
Bersabda Nabi s.a.w.: “Barang siapa shalat dua rakaat, di dalamnya dia tak berbicara sedikit pun dengan hatinya tentang soal-soal dunia, niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (401).
“Shalat itu tidak lain menunjukkan kemiskinan, kerendah-hatian (tawadhu‘), kerawanan qalbu (tadharru‘), keluhan jiwa dan penyesalan mendalam, seraya meletakkan kedua tangan (maksudnya bersujud) dan membisikkan: “Ya Allah, Ya Allah”. Maka, barang siapa tidak melakukannya, shalatnya itu tidak sempurna.” (412).
Diriwayatkan, Allah s.w.t. berfirman dalam kitab-kitab suci yang diturunkan kepada beberapa nabi-Nya yang terdahulu: “Tidaklah Aku akan menerima setiap shalat yang dilakukan oleh setiap orang yang bershalat. Aku hanya menerima shalat orang yang ber-tawadhu‘ demi keagungan-Ku, tidak berlaku sombong terhadap hamba-hambaKu, dan memberi makan orang miskin yang lapar demi mencari keridhaan-Ku.” (423).
Sabda Nabi s.a.w.: “Difardhukannya shalat, diperintahkannya haji dan thawaf, serta disyiarkannya beberapa manasik ialah semata-mata untuk menegakkan dzikir kepada Allah s.w.t.” (434).
Oleh sebab itu, jika tak ada perasaan pengagungan dan penghormatan, dalam hatimu, kepada Dia yang kau dzikir (sebut) nama-Nya dan yang, pada hakikatnya, hanya Dia-lah yang kau tuju dan kau cari, kiranya apalagi yang masih tertinggal dari nilai dzikirmu itu?
Sabda Nabi s.a.w. dalam salah satu pesannya: “Bila kamu shalat, jadikanlah itu seolah-olah shalat orang yang mengucapkan selamat tinggal.” (445).
Yakni, selamat tinggal kepada dirinya sendiri, kepada hawa-nafsunya dan kepada usianya, karena dia kini sedang berjalan menuju Tuhannya. Seperti tersebut dalam firman Allah s.w.t.: “Hai manusia, sesungguhnya kamu bekerja keras menuju Tuhanmu, dan kamu pasti akan menjumpai-Nya.” (QS. al-Insyiqāq [84]: 6).
Firman-Nya pula: “Bertaqwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya.” (QS. al-Baqarah [2]: 223).
Sabda Nabi s.a.w.: “Barang siapa shalatnya tidak mencegahnya dari perbuatan keji dan mungkar, niscaya akan bertambah jauh dari Allah.” (456).
Shalat adalah munajat, jadi bagaimana hal itu dapat terjadi dengan hati yang lalai?
Berkata Bakr bin ‘Abdullāh: “Hai anak Ādam, jika kau ingin menghadap Tuhanmu, kau dapat melakukannya tanpa meminta idzin terlebih dahulu dan tanpa perantara siapa pun!” “Bagaimana caranya?” tanya seseorang. Bakr menjawab: “Dengan menyempurnakan wudhu’mu dan memasuki miḥrāb-mu. Saat itu, engkau telah berhadapan dengan Tuhanmu tanpa permintaan idzin apa pun, dan engkau dapat berbicara kepada-Nya tanpa perantara siapa pun.”
Berkata ‘Ā’isyah r.a.: “Sering kali Rasūlullāh s.a.w. bercakap-cakap dengan kami, tetapi bila waktu shalat telah tiba, seakan-akan dia tidak mengenal kami, dan kami pun tak mengenalnya, disebabkan seluruh perhatiannya tertuju pada keagungan Allah s.w.t.” (467).
Sabda Nabi s.a.w.: “Allah tidak akan menujukan pandangan-Nya pada shalat yang dikerjakan oleh seseorang yang hatinya tidak hadir di dalamnya bersama-sama tubuhnya.” (478).
Setiap kali Nabi Ibrāhīm al-Khalīl memulai shalatnya terdengarlah detak jantungnya dari jarak dua mil. Apabila sedang shalat, air mata Sa‘īd at-Tannukhī tak henti-hentinya bercucuran di atas pipi dan janggutnya. Pernah, Rasūlullāh s.a.w. melihat seorang laki-laki mempermainkan janggutnya ketika sedang shalat. Beliau pun bersabda: “Sekiranya hati orang ini khusyū‘, niscaya khusyū‘ pulalah tubuhnya.” (489).
Diriwayatkan, Ḥasan al-Bashrī pernah melihat seorang laki-laki mempermainkan batu kerikil seraya berkata: “Ya Allah, kawinkanlah aku dengan ḥūr-uil-‘īn (istri yang cantik jelita di surga – bidadari).” Lalu, berkatalah Ḥasan al-Bashrī: “Sungguh, anda seorang peminang yang buruk. Bagaimana anda meminang ḥūr-ul-‘īn, sementara anda bermain-main dengan batu kerikil?”
Seseorang bertanya kepada Khalaf bin Ayyūb: “Mengapa tidak anda usir lalat-lalat itu? Tidakkah mereka mengganggu shalatmu?”
“Aku tidak hendak membiasakan pada diriku sesuatu yang akan merusak shalatku,” jawab Khalaf.
“Bagaimana anda dapat bersabar atas hal itu?”
“Aku pernah mendengar bahwa orang-orang fasiq menunjukkan ketabahan ketika didera cambuk-cambuk para raja, agar mereka disebut sebagai orang yang tabah, dan mereka pun bangga dengan ucapan seperti itu. Sedangkan aku berdiri di hadapan Tuhanku. Patutkah aku bergerak hanya karena seekor lalat?”
Diriwayatkan bahwa Muslim bin Yasār apabila hendak shalat berkata kepada keluarganya: “Silakan berbicara antara kalian. Saya tidak mendengar apa pun yang kalian bicarakan.” Diriwayatkan pula tentangnya, pada suatu hari dia sedang shalat di Masjid Jāmi‘ di Kota Bashrah. Ketika sebagian bangunan masjid itu roboh, khalayak berdatangan untuk menyaksikan peristiwa itu. Namun, Muslim tidak tahu apa-apa mengenai hal tersebut, sampai dia selesai dari shalatnya.
Diriwayatkan bahwa ‘Alī bin Abī Thālib r.a. ketika tiba saat shalat, tubuhnya gemetaran dan wajahnya berubah. Ketika ditanyakan mengenai hal itu, dia menjawab: “Telah tiba waktu untuk pelaksanaan amanat yang ditawarkan oleh Allah pada langit, bumi, dan gunung-gunung. Mereka semua menolaknya karena khawatir tidak dapat memikulnya, tetapi aku kini memikulnya.” (4910).
Diriwayatkan bahwa ‘Alī Zain-ul-‘Ābidīn bin Ḥusain bin ‘Alī r.a., apabila selesai berwudhu’ wajahnya berubah pucat pasi. Pernah, keluarganya menanyakan hal itu kepadanya: “Mengapa anda seperti itu apabila selesai berwudhu’?” Jawabnya: “Tidakkah kalian tahu, di hadapan siapa aku akan berdiri?”
Diriwayatkan, ‘Abdullāh bin ‘Abbās berkata bahwa Nabi Dāūd a.s., dalam munajatnya, bertanya-tanya: “Tuhanku, siapakah yang dapat menghuni rumah-Mu, dan shalat siapakah yang Kau terima?” Allah s.w.t. pun menurunkan wahyu kepadanya: “Hai Dāūd, orang yang menghuni rumah-Ku dan Kuterima shalatnya ialah yang merendahkan hatinya demi keagungan-Ku, melewatkan harinya dalam berdzikir kepada-Ku, mencegah dirinya dari nafsu syahwat demi menghormati-Ku, memberi makan orang yang lapar, menjamu perantau, dan mengasihani penderita. Orang seperti dialah yang cahayanya bersinar di langit dan bumi. Bila dia berdoa kepada-Ku, niscaya Aku mengabulkan doanya, dan bila dia memohon dari-Ku, niscaya Aku memenuhinya. Aku akan menjadikan kebijakan dalam kejahilannya, ingat kepada-Ku dalam kelalaiannya, dan cahaya dalam kegelapannya. Perumpamaan orang itu, di antara manusia lainnya adala seperti Taman Firdaus di puncak surga, yang takkan kering sungainya dan takkan membusuk bebuahannya.”
Ḥātim al-Ashamm, ketika diminta untuk melukiskan shalatnya berkata: “Bila datang waktu shalat, aku berwudhu’ dengan sesempurna mungkin, pergi ke tempat shalatku, dan duduk di situ sampai tenang seluruh anggota tubuhku. Setelah itu, aku bangkit dan memulai shalatku. Kujadikan Ka‘bah di antara kedua mataku, shirath di bawah telapak kakiku, surga di sisi kananku, neraka di sisi kiriku, dan malaikat-ul-maut di belakangku. Kuperkirakan ini sebagai shalatku yang terakhir dan aku pun berdiri di antara harapan dan kecemasan. Aku bertakbir dengan hati mantap, dan membaca ayat-ayat al-Qur’ān dengan tartil, kemudian aku mulai rukū‘ dengan hati merunduk, dan bersujud dengan penuh khusyū‘, duduk di atas bagian tubuhku sebelah kiri, menjadikan punggung kakiku sebagai alas, sambil menegakkan kaki kananku di atas ibu jarinya. Kuikuti semuanya itu dengan penuh keikhalasan dan setelah itu aku pun tak tahu apakah shalatku itu diterima atau tidak?”
Berkata ‘Abdullāh bin ‘Abbās: “Dua rakaat yang sedang-sedang saja panjangnya, dengan diiringi tafakkur, adalah lebih utama daripada tahajjud semalam suntuk, sementara hati dibiarkan lalai.”