Keutamaan Imam Madzhab & Kewajiban Taqlid pada Salah Satu Madzhab – Terjemah Tauhid Sabilul Abid KH. Sholeh Darat

TERJEMAH TAUHID

سَبِيْلُ الْعَبِيْدِ عَلَى جَوْهَرَةِ التَّوْحِيْدِ
Oleh: Kiyai Haji Sholeh Darat
Mahaguru Para Ulama Besar Nusantara
(1820-1903 M.)

Penerjemah: Miftahul Ulum, Agustin Mufrohah
Penerbit: Sahifa Publishing

Rangkaian Pos: 003 Tentang Kenabian (Nabawiyyat) - Terjemah Tauhid Sabilul Abid

Keutamaan Imām Madzhab

Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī meneruskan pembahasan tentang keutamaan empat Imām Madzhab. Beliau berkata:

وَ مَالِكٌ وَ سَائِرُ الْأَئِمَّهْ كَذَا أَبُو الْقَاسِمْ هُدَاةُ الْأُمَّهْ.

Imām Mālik beserta imam-imam lainnya begitu juga Abul-Qāsim adalah para penunjuk umat..”

Adapun Imām Mālik, Imām Abū Ḥanīfah, Imām Aḥmad bin Ḥanbal, Imām Muḥammad bin Idrīs asy-Syāfi‘ī, Imām al-Laitsī bin Sa‘ad, Imām Dāwūd azh-Zhāhirī dan lainnya adalah petunjuk bagi semua umat Muḥammad.

Begitu pula Imām para ‘ulamā’ Shūfī, seperti Imām Abū Qāsim Muḥammad al-Junaid al-Baghdādī, pemimpin madzhab di kalangan shūfī, beliau juga menjadi petunjuk umat manusia.

Penjelasan.

Semua orang mu’min wajib meyakini bahwa semua ‘ulamā’ madzhab selalu bertindak sesuai hidāyah atau petunjuk dari Allah s.w.t. Tidak boleh berprasangka dan mengatakan bahwa ‘ulamā’ madzhab salah dalam perbuatan dan pemikirannya. Mereka adalah orang-orang yang menjadi petunjuk bagi umat Nabi Muḥammad, sebagaimana madzhab Abū Ḥanīfah Nu‘mān bin Tsābit, madzhab Imām Muḥammad bin Idrīs asy-Syāfi‘ī, Imām Mālik, Imām Aḥmad bin Ḥanbal dan lainnya. Akan tetapi, yang boleh diikuti hanyalah empat imam madzhab yang sudah termasyhur ini, tidak boleh mengikuti madzhab lainnya. Sebab, selain keempat madzhab ini kitabnya tidak mudawwan, yaitu kitab-kitabnya tidak ada yang dibatasi dengan dalil-dalil seperti kitab-kitab karangan Imām Madzhab empat. Adapun mengenai kepribadian diri imam, bisa dipastikan kebenarannya, karena mereka memahami al-Qur’ān dan Hadits secara mendalam. Hal ini in syā’ Allāh akan dibahas tersendiri.

Kewajiban Taqlid pada Salah Satu Madzhab

Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī berkata:

فَوَاجِبُ تَقْلِيْدُ حَبْرٍ مِنْهُمُ كَذَا حَكَا الْقَوْمُ بِلَفْظٍ يُفْهَمُ.

Maka wajiblah taqlid kepada salah seorang di antara mereka yang ‘ālim serta cerdas. Seperti inilah dihikayatkan oleh sekelompok ‘ulamā’ dengan kata yang dapat dipahami.”

Ketika seseorang tidak sanggup berijtihad secara mutlak, ia wajib taqlid kepada salah satu dari empat imām madzhab yang sudah disebutkan. Tidak boleh bertaqlid kepada selain empat madzhab tadi, walaupun kepada sahabat yang paling mulia ataupun sahabat yang paling ‘ālim, tetap tidak boleh. Sebagaimana diterangkan oleh para ‘ulamā’ dengan kata-kata yang sudah ma‘lum dan bisa dipahami.

Penjelasan.

Wajib bagi selain mujtahid mutlak sebagaimana orang-orang mu’min yang awam dan ‘ulamā’ Muqallidīn (1371) untuk mengikuti salah satu dari 4 imam madzhab, ya‘ni mengikuti perbuatan dan ihwal beliau, seperti mayoritas orang awam di tanah Jawa dan negara Ḥadhramaut (Yaman) yang mengikuti madzhab Imām Syāfi‘ī.

Seorang mukallaf wajib mengetahui semua tatacara ibadah dalam masalah hukum-hukum furū‘ (cabang) dengan mengikuti madzhab Syāfi‘ī atau Ḥanafī, tidak diperbolehkan melakukan suatu ‘amal tanpa mengetahui madzhab atau imām yang diikuti.

Tidak diperbolehkan taqlid pada selain 4 imam madzhab yang sudah masyhur, seperti madzhab Dāwūd azh-Zhāhirī, madzhab Imām ats-Tsaurī, Imām an-Nakha‘ī, dan lainnya. Juga tidak diperbolehkan mengikuti madzhab salah satu sahabat Nabi, walaupun beliau adalah sahabat yang paling mulia, seperti meyakini bahwa wudhū’ tidak batal sebab menyentuh perempuan karena mengikuti pendapat sahabat Ibnu ‘Abbās, pendapat Sayyidah ‘Ā’isyah r.a. atau yang lainnya, tetapi ikutilah madzhab Ḥanafī yang mengatakan wudhū’ tidak batal karena menyentuh perempuan.

Orang yang tidak tahu asal hadits dan tidak memahami nash al-Qur’ān tidak diperbolehkan berpindah-pindah madzhab atau menyimpang dari madzhab empat. Orang yang mengikuti madzhab Syāfi‘ī tidak boleh bertaqlid kepada madzhab Ḥanafī dalam satu ‘amalan ibadah tanpa mengetahui syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam madzhab Ḥanafī. Orang yang bertaqlid kepada madzhab Ḥanafī dalam masalah menyentuh perempuan tidak membatalkan wudhū’ juga harus mengetahui tata cara dan fardhu wudhū’ menurut madzhab Ḥanafī.

Kesimpulannya, Orang yang bodoh tidak boleh bertaqlid kepada selain madzhab yang diikuti, tidak boleh meninggalkan ajaran madzhabnya dan tidak boleh mengikuti selain empat imam madzhab. Misal, seseorang menikah tanpa mahar, wali, dan saksi karena bertaqlid kepada madzhabnya Dāwūd azh-Zhāhirī, maka dia harus dirajam jika melakukan jima‘. Sebab, ia dihukumi berzina menurut madzhab empat karena pernikahan seperti itu tidak sah. Tidak boleh menikahi anak tiri yang tidak mahjurah ‘indahu, walaupun taqlid pada Sayyidinā ‘Alī dan Imām Dāwūd, karena menurut Ijma‘ tidak sah dan harus dirajam ketika melakukan senggama.

Catatan:

  1. 137). Adalah ‘ulamā’ yang belum sampai pada tingkatan mujtahid mutlak (Syaikh Ibrāhīm al-Bajūrī, Tuḥfat al-Murīdi ‘ala Jauharat-it-Tauhid, tahqiq: Dr. ‘Alī Jum‘ah, Kairo – Mesir, Darussalam, 2002, hal. 251.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *